Dua hari telah berlalu saat Nasr City dibasahi gerimis. Menyapu bersih debu-debu yang menempel didinding rumah-rumah yang mirip kardus. Memberikan warna mengkilat pada jalan-jalan beraspal ketika tersorot lampu-lampu mobil. Ini hujan pertama di penghujung tahun ini. Hujan yang selalu membawa berkah bagi tumbuh-tumbuhan di tanah Para Nabi. Hujan yang selalu dinanti oleh para petani di lembah-lembah subur pinggir sungai Nil, karena memang hujan di Mesir—bisa dibilang—setahun sekali. Pun di puncak musim dingin, langit-langit Mesir hanya berawan gelap, teramat jarang mencurahkan hujan.
Hari sudah malam, ketika saya memaksakan diri keluar rumah. Ada yang harus dibeli untuk keperluan rumah. Dengan jaket dan penutup kepala saya berjalan cepat, di bawah pohon-pohon berdaun lebat untuk menghindari rintik hujan. Syukur mobil yang saya tunggu cepat datang. Jika tidak, mungkin saya akan menggigil kedinginan seorang diri.
Bus yang saya tumpangi penuh sesak. Sangat wajar dalam kondisi seperti ini mobil-mobil menjadi jarang. Dan orang berlomba-lomba untuk bergegas pulang, meminum teh hangat kemudian berselimut tebal. Tetapi tak ada satu pun yang memprotes keadaan ini, semua terdiam hanyut dalam lamunannya masing-masing. Tak terkecuali saya. Pikiran saya menerawang jauh tentang negeri nun jauh di sana, tempat saya dilahirkan. Negeri yang setiap hari dicurahi hujan.
Berita-berita besar tadi sore memenuhi pikiran saya. Sarana internet dalam rumah telah memberi saya kemudahan membaca berita dari seluruh dunia. Filipina saat ini negeri yang tengah berkabung, seribu lebih warganya meninggal akibat Badai Durian. Berita ini mengingat saya di bulan Desember 2004 saat Tsunami melanda Aceh. Tetapi berita Badai Durian di Filipina terasa begitu cepat mengalihkan pikiran saya ke berita nasional. Berita yang menghebohkan tanah air dan menjadi buah bibir semua lapisan masyarakat. Berita pertama tentang beredarnya video mesum anggota DPR dengan seorang penyanyi dangdut. Dan kedua, berita poligaminya dai kondang dari bandung, Aa Gym. Dua berita ini mengisi headline media-media di tanah air; cetak, elektronik mau pun internet. Dua-duanya menimbulkan gejolak di masyarakat; kecewa, sedih dan marah. Karena memang yang diberitakan adalah sama-sama tokoh publik. Yang satu adalah aktivis politik yang oleh sebagian orang disebut "dunia kotor." Dan yang satunya, penyeru kebaikan, dai yang mengajak masyarakat Indonesia memperbaiki hati sebagai titik tolak perbaikan disegala bidang.
Dua tokoh itu seakan-akan memperlihatkan kepada publik tentang peran dan kondisi di mana ia berada. Politik memang memberi seseorang ruang yang sangat luas untuk mendapatkan apa saja. Dengan frame kepentingan; harta, wanita dan kedudukan, terkadang tak perlu bersusah payah dicari. Asalkan lihai memainkan peran, niscaya dukungan berdatangan. Sementara tugas sang Dai tak kalah penting, ia dituntut menterjemahkan syariat dan wahyu Tuhan dalam kehidupannya sehari-hari. Baik dalam bentuk perkataan atau pun keteladanan, sebagaimana para nabi-nabi terdahulu melakukannya.
Zina dan poligami, dua "permasalahan" besar dalam kehidupan sosial. Reaksinya di masyarakat hampir sama besarnya, namun sangat jauh berbeda nilainya di hadapan Allah. Zina adalah dosa besar dan pelakunya dihukum dengan cambuk atau rajam. Al-Qur’an surat Al-Israa’ ayat 32 menyebutnya dengan kata "fâhisyah" (perbuatan keji), oleh karena itu Allah Swt mewanti-wanti dengan didahului perintah "lâ taqrabû" (jangan engkau dekati). Ini berarti segala perbuatan yang mengarah pada zina harus kita jauhi. Itulah mengapa Al-Musthafa Muhammad SAW mengatakan, "lebih baik ditusuk jarum besi daripada engkau menyentuh wanita yang bukan hakmu!"
Sementara itu poligami datang sebagai rahmat dari Allah kepada umat ini. Bukan sesuatu yang diwajibkan untuk semua orang, tetapi ia sebagai solusi dalam kehidupan bermasyarakat. Karena poligami sifatnya kondisional, maka ada banyak penafsiran yang muncul. Sebagian cenderung memberatkan dan sebagian lagi lebih condong untuk meringankan. Akan tetapi yang seharusnya kita ingat, tidak ada satu ulama pun yang berselisih tentang masalah zina. Semua sepakat perbuatan zina adalah haram. Sayangnya, poligami di masyarakat kita masih dianggap sesuatu yang buruk, bahkan aib. Sehingga banyak orang yang berani poligami di bawah tangan atau nikah diam-diam tanpa sepengetahuan publik. Permasalahannya terletak pada penerimaan sosial yang tidak kondusif. Ironisnya, perselingkuhan, hubungan bebas dan pelacuran seakan itu hal yang wajar dan banyak orang tidak merasa terganggu.
Poligami dan zina, menurut saya ibarat badai dan gerimis. Perzinahan yang merajalela dan liar, akan membawa kehancuran pada tatanan kehidupan sosial. Hilangnya akhlak, yang itu merupakan fondasi dasar pembentukan masyarakat yang utuh. Perzinahan laksana badai yang siap merusak apa saja yang berdekatan dengannya. Sedangkan poligami seakan ia gerimis, yang memberi kesejukan ketika hujan lama tak datang. Poligami memang masih menjadi perdebatan di tengah masyarakat Indonesia, namun telah memberi kesejukan di hati orang-orang yang mampu berpikir jernih. Orang-orang yang telah Allah bukakan hati-hatinya untuk mampu membedakan mana kebenaran dan mana kebatilan. Manusia-manusia yang merindukan gerimis di tengah tandusnya dunia dan takut akan badai yang merusak.
"Makram ‘Abid!" teriak kondektur dari pintu belakang bus. Mengagetkan saya yang tengah asyik merenung. Saya bergegas turun di tempat yang tadi kondektur sebutkan. Gerimis telah reda, menyisakan hawa dingin di mana-mana. Saya bergegas menuju tempat yang ingin dituju, diam-diam saya berharap Allah membukakan berkah kepada orang-orang yang menolong agamanya.
Kairo, Desember 2006.
[Abu Nahidh]