Keluar yang baru, ngebet ingin ganti. Tidak bisa beli cash, dibela-belain tukar tambah atau mencicil secara kredit. Inilah gambaran tentang handphone yang telah menjadi seperti mode. Berkat kecanggihan teknologi, handphone yang dulu hanya bisa untuk menelepon dan SMS mulai ditambahi feature lain seperti kamera, pemutar musik dan video, internet, serta lain-lain.
Banyak masyarakat kita yang menjadi korban mode dari HP. Dalam artian, handphone dianggap memiliki prestise. Dulu, tidak banyak orang memegang HP. Namun, sekarang HP jelas bukan barang yang mewah lagi. Tidak hanya para eksekutif yang bisa menikmati layanan berkomunikasi via telepon seluler. Tapi, anak SD hingga tukang ojek pun ke mana-mana bisa pegang benda tersebut.
Betapa HP terkadang bisa membuat orang terbius. Bahkan, orang bisa minder hanya karena HP-nya dirasa tidak up to date alias masih memakai HP jadul (lawas). Kini, bisa dijumpai pedagang sayur keliling bisa melayani pembeli sambil ber-HP atau pengamen di bus kota menenteng HP di pinggangnnya. Seakan, itu sudah biasa kita jumpai. Padahal, budget untuk membeli pulsa tidaklah sedikit, bahkan terkadang bisa setara dengan pengeluaran bensin sebulan.
Zaman sekarang HP begitu digilai. Gonta-ganti HP dianggap menjadi tren masa kini. Mengherankan sekali, orang bisa membeli HP di atas satu atau dua juta rupiah, tetapi mengeluarkan infak sebulan masih antara iya dan tidak. Kadang, orang mampu menganggarkan pulsa Rp 100 ribu atau lebih per bulan, namun anggaran untuk zakat enggan dilaksanakan. Masya Allah. Orang seolah telah melupakan esensi HP itu sendiri: yakni sebagai alat komunikasi.
Tanpa disadari, kepentingan yang baik untuk diutamakan lebih dulu terkadang kalah dengan kepentingan pribadi yang sebenarnya bisa ditunda. Banyak orang membeli sesuatu karena keinginan, bukan disebabkan kebutuhan. Akibatnya, konsumerisme nyaris jadi budaya. Gengsi memiliki HP mahal mengalahkan urgensi terhadap kebutuhan yang lain. Islam senantiasa menganjurkan agar manusia benar-benar memperhatikan masalah keseimbangan dan keadilan.
Suatu saat, saya pergi ke mal untuk mampir ke toko buku. Di sana, saya memperhatikan beberapa counter HP yang tak surut dari pengunjung yang bertransaksi atau sekadar melihat-lihat. Iseng, saya ikut melihat ke salah satu counter. Dua buah ponsel second di kisaran Rp 1, 4 juta yang dipajang telah dibeli pengunjung di situ. Saya sempat bengong dan termangu sejenak melihat ponsel yang saya pegang. Ponsel di genggaman ini bukan ponsel dengan fitur lengkap. Tak ada kamera atau pemutar musik. Harganya pun tak sampai Rp 400 ribu. Tapi, bukankah ponsel ini dibeli bukan untuk gaya-gayaan? Jadi, buat apa ikut-ikutan membeli barang yang sebetulnya tidak urgen untuk dibeli.
“Jangan selalu melihat orang di atasmu, tapi lihat juga orang di bawahmu, ” begitu pepatah bijak. Maksudnya, kita jangan mudah silau dengan orang yang memiliki kelebihan dan bisa beli ini itu. Tapi, kita juga perlu menatap orang-orang yang hidup berkekurangan.
Karena itu, syukur nikmat kepada Allah SWT adalah hal yang penting. Allah berfirman, “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara demikian.” (Al-Furqan: 67). Dengan ayat tersebut, jelas sudah bahwa hidup hemat adalah sesuatu yang mesti diterapkan dalam kehidupan. Hidup seimbang dan tak berlebih-lebihan serta tak alpa dalam berinfak. HP baru? Enggak dulu deh.. [email protected]