Oleh : Ahmad Najmi R, Siswa SMAN 3 Sidoarjo
“Father Hunger” is the emptiness experienced by children whose fathers were physically or emotionally absent (Margo Maine Ph.D.) Dewasa ini, fenomena Father Hunger atau Lapar Ayah menjadi salah satu isu utama akan terjadinya dekadensi moral. Di Jepang, sebagian orang mencemaskan pertumbuhan anak-anak kota besar yang timpang akibat absennya ayah dalam proses tumbuh kembang generasi kristal itu. Mereka hidup serumah, tetapi pagi-pagi sekali ketika ayah belum bangun anak sudah berangkat sekolah. Malam hari ketika anak sudah tidur, sang ayah baru pulang. Apa sentuhan seorang ayah pada tumbuh kembang seorang anak? Apakah tanggung jawab itu tuntas ketika seorang ayah hanya menafkahi? Itu moril, lalu moral nya?
Akibatnya, munculah prilaku generasi muda seperti pembiasaan merokok bagi anak-anak yang masih duduk dibangku sekolah, khususnya tingkat SD, SMP, dan SMA, penggunaan narkoba, miras, pelecehan seksual, pemerkosaan, hamil diluar nikah, khalwat dan lain-lain. Apakah anda tahu kenpa saat ini banyak sekali laki-laki bersikap seperti perempuan (baca: banci)? Itu karena mereka kurang sentuhan maskulinitas dari seorang ayah, mereka terlalu sering bersama ibunya. Sekarang coba kita lihat di kebanyakan TK, tak banyak seorang ayah mengantarkan anaknya, tak banyak pengajar di TK berjenis kelamin laki-laki. Jelas ini karena kurangnya, sentuhan seorang ayah, dan dialog ayah kepada anaknya.
Mahasiswa pasca sarjana Umm Al-Qura Mekkah, Saudi Arabia, dalam penelitiannya ditemukan terdapat 17 ayat di dalam 9 surah di Al-Qur’an yang berisi dialog orang tua terhadap anaknya. 14 diantaranya adalah dialog antara ayah dan anak, 2 dialog antara ibu dan anak, dan 1 lagi dialog antara seorang ayah dan anak tanpa nama. 14 banding 2. Ya, sangat jauh sekali perbandingan dialog antara ayah dan anak dengan ibu dan anak. Ini kontras sekali apabila kita lihat saat ini banyak ayah yang seperti tak punya bahan dialog lain, atau bahkan ucapan lain selain “Belajar!” atau “Ayo ngaji!” kepada anaknya. Otomatis banyak anak yang saat ayahnya pulang kerja ia malah bersembunyi karena sudah terlalu hafal dengan apa yang akan dikatakan ayahnya, ia benci bertemu ayahnya.
Coba perhatikan sosok ayah teladan ini, ialah Nabi Ya’kub a.s.. Saat ia menghadapi sakaratul maut ia bertanya kepada anak–anaknya,”Wahai anak-anakku, siapakah yang kalian sembah selepas kematian ayah?” “Kami akan menyembah Tuhan ayah, selepas kematian ayah.” Menarik, mengapa disini tidak dikatakan “Kami akan menyembah Allah”? Tidak lain karena anak-anak Nabi Ya’kub menghargai ayahnya. Karena ayahnya yang mengenalkan kepada mereka Allah Swt., karena ayahnya pula yang mendidik mereka untuk konsisten cinta kepada Allah Swt.. Subhanallah, sepatutnya para ayah berintrospeksi apa saja yang telah ia lakukan untuk anaknya. Untuk akidah dan akhlak anaknya. Sudahkah itu semua, wahai para ayah?
Banyak anak laki-laki yang tak ingin seperti ayahnya saat ia besar nanti. Banyak anak perempuan atas dendamnya pada ayahnya yang jarang terlihat, ia tak ingin mempunyai suami seperti ayahnya nanti. Sungguh, bahaya posisi mu wahai para ayah. Saat engkau pulang malam nanti, peluklah anakmu, mungkin ia kan menangis karena ia telah menemukan ayahnya yang telah lama hilang. Di akhir tulisan ini untuk kalian para anak jangan jadikan ini semua untuk menghujat atas kelalaian ayah kalian, tetap hormati mereka sebagaimana Islam mengajarkan untuk menghormati orang tua. Saya akan menutup tulisan ini dengan sepenggal puisi Doa Seorang Ayah pada Anaknya oleh Arthur Mc Douglas.
Berikanlah padanya kerendahan hati
Kesederhanaan dari keagungan hatiku
Keterbukaan pikiran bagi sumber kearifan
Dan kelembutan dari kekuatan sebenarnya
Setelah semua tercapai,
Aku ayahnya berani berbisik,
“HIDUPKU TIDAKLAH SIA-SIA”