Beberapa hari terakhir ini hati saya merasa galau setelah membaca beberapa artikel tentang 63 tahun kemerdekaan tanah air diwarnai realitas rakyat kecil yang semakin memprihatinkan. Bayangan beberapa wajah bocah yang pernah merajut hari bersama saya dalam rentang waktu tertentu berkelebatan tak mampu saya tepis. Bahkan membuat bulir-bulir kristal di mata saya mengalir karena sebongkah rindu telah menyapa jiwa.
Bocah-bocah yang pernah menggelorakan semangat saya dan beberapa sahabat itu adalah sekumpulan anak-anak yang dikarenakan kondisi ekonomi keluarganya terpaksa tak dapat lagi mengenyam dunia pendidikan. Mereka harus rela berpisah dengan bangku sekolah dan mulai mengisi hari-harinya membantu orangtua mencari rejeki untuk bertahan hidup. Ada yang jadi pengojek payung, menawarkan jasa membawakan belanjaan para pembeli di pasar, dan lain-lain.
Rata-rata orang tua mereka berprofesi sebagai pengayuh becak dan sebagian lagi menganggur akibat PHK besar-besaran saat krisis moneter terjadi. Sebagian besar dari mereka tinggal dalam rumah yang kondisinya cukup memprihatinkan untuk dihuni, apalagi umumnya mereka merupakan keluarga dengan jumlah anggota yang banyak.
Berawal dari rasa keprihatinan kami atas kondisi anak-anak tersebut yang tinggal di dekat lokasi tempat saya kos yang tak jauh dari tempat saya bekerja di kota Bogor. Dari sekedar obrolan tentang mereka akhirnya kami serius mencoba ingin memperjuangkan mereka agar bisa kembali menikmati pendidikan. Beberapa sahabat yang peduli ikut bergabung bersama kami.
Mulailah kami memikirkan dan mengeluarkan ide-ide, berkoordinasi dan berbagi tugas. Sebagian sahabat ada yang mendapat kepercayaan mengetuk satu per satu rumah anak-anak tersebut dan mendatanya, sebagian sahabat yang lain menyusun kurikulum pendidikan "sekolah kehidupan" untuk mereka, sebagian lagi menyusun proposal dan melobi sekaligus melakukan rekruitmen yang bersedia menjadi guru sukarelawan tanpa imbalan apa-apa.
Saya termasuk dalam tim pembuat proposal dan pelobi calon-calon sukarelawan. Saat membuat proposal itulah tercetus nama "Aulad Tsabita." Nama tersebut merupakan doa kami agar mereka menjadi anak-anak yang tegar di tengah kerasnya kehidupan yang mereka jalani.
Puji syukur tak terkira ke hadiratNya, rekan-rekan di tempat saya kerja mendukung rencana kegiatan tersebut dan bersedia menjadi guru. Saya salut terhadap semangat rekan-rekan yang rata-rata lulusan master dari luar negeri dan beberapa universitas dalam negeri ternama, telah bersedia meluangkan waktu di antara kesibukan mereka bekerja untuk kegiatan sosial ini.
Alhamdulillah, mungkin ini yang dinamakan pertolongan Allah. Semua rencana kami berjalan lancar. Atasan saya yang baik hati menjadi salah seorang penyandang dana. Kurikulum pun sudah terancang dan para guru sukarelawan telah siap bertugas. Pendidikan yang akan diberikan pada Aulad Tsabita tidak jauh beda dengan anak-anak yang mengenyam di sekolah resmi. Materi-materi pelajaran ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, pendidikan moral terlebih tentang agama, matematika, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris proporsinya telah diperitungkan. Di samping itu ada pelajaran ekstrakulikuler berupa keterampilan yang bisa dijadikan untuk bekal mandiri mereka.
Lokasi sekolah Aulad Tsabita selalu berpindah-pindah dari hari ke hari tergantung siapa yang mengajar. Terkadang mereka belajar di garasi atau di teras rumah sahabat kami yang menjadi guru dan merupakan penduduk setempat. Sesekali saat pelajaran agama, meminta izin masjid di sekitar rumah anak-anak dipakai sebagian ruangannya untuk proses belajar- mengajar.
Sementara itu tempat favorit saya dan beberapa rekan dari kantor adalah di teras masjid kantor atau di tamannya. Sesekali saat kami ada kerjaan lembur, anak-anak di ajak melihat-lihat beberapa proses pekerjaan kami di laboratorium seperti melihat botol-botol berisi media agar yang di atasnya tumbuh berbagai macam tanaman hasil kutur jaringan, atau proses ekstraksi DNA tanaman mulai dari penggerusan daun dengan nitrogen cair yang mengeluarkan asap dingin yang pada akhirnya menghasilkan gumpalan putih bening dalam tabung reaksi sampai pada proses penggandaan DNA tersebut dalam suatu mesin khusus yang berakhir dengan diperoleh gambaran DNA dalam layar monitor atau lembar polaroid. Tampak sekali raut kagum di wajah mereka bila kami tunjukan sesuatu yang belum pernah dilihat sebelumnya.
Saya sendiri mendapat tugas mengajari mereka keterampilan. Target yang saya tetapkan adalah tumbuhnya jiwa kreatif pada anak-anak dengan memanfaatkan barang-barang bekas serta segala sesuatu yang bisa mereka temukan dengan mudah di alam keudian diproses dengan cara sederhana hingga menghasilkan sesuatu karya yang bisa mereka jual.
Kebetulan jadwalnya setiap hari Minggu, biasanya kami sudah berkumpul sekitar jam 10 pagi di taman kantor lalu mereka dengan penuh semangat mengikuti instruksi saya. Seperti saat itu, saya meminta mereka mengumpulkan biji-bijian serta rumput kering di sekitar taman. Setelah terkumpul cukup banyak mulailah saya ajari mereka menempelkan biji-bijian dan rumput kering tersebut pada dus bekas susu bubuk yang sudah digunting dengan bentuk persegipanjang kecil dan dibungkus dengan kertas asturo berwarna-warni hasil pekerjaan mereka minggu sebelumnya.
Setelah terkumpul cukup banyak hasil karya mereka, saya mengajari mereka menempelkan sehelai kertas seukuran kartu berhiaskan biji-bijian itu. Kertas tersebut bergaris-garis dan telah saya tulisi di atasnya dengan nama dan nomor telpon. Jadilah sebuah buku telpon berlipat-lipat. Mereka terlihat senang dan tak menyangka bahwa dari bahan-bahan tersebut bisa terbentuk suatu karya yang cantik apalagi itu hasil tangan mereka sendiri.
Karya mereka itu kemudian saya tawarkan ke rekan-rekan di kantor untuk dibeli, sebagian lagi anak-anak menjualnya sendiri. Alhamdulillah, semuanya terjual habis dan anak-anak bahagia bisa mendapatkan uang dari hasil kreativitasnya. Uang yang diperoleh dari hasil berjualan tersebut sebagian dimasukkan ke dalam kas bergabung dengan perolehan uang dari donatur untuk digunakan dalam berbagai kegiatan lainnya seperti membeli alat tulis, perlengkapan shalat sampai bingkisan lebaran yang bisa dinikmati si anak dan keluarganya, juga digunakan untuk membeli makanan saat pelajaran berlangsung.
Kebijakan pengelolaan uang tersebut kami ambil mengacu pada realita yang ada. Sering kali terjadi di antara anak-anak tersebut ada yang belum makan seharian atau dari sehari sebelumnya disebabkan pekerjaan ayahnya belum membuahkan hasil. Pernah juga suatu ketika si anak menceritakan bahwa dirinya tak pernah shalat, lalu saat kami tanya apa penyebabnya, mereka katakan tak memiliki mukena. Mendengar tuturan anak-anak itu hati kami seringkali tersayat untuk kemudian segera berusaha mencari solusinya.
Sayangnya senyum penuh kebahagiaan Aulad Tsabita yang sukacita telah dapat mengenyam lagi dunia ilmu dan belajar tak dapat kami nikmati lebih lama. Setelah sekian waktu berjalan, mereka terpaksa meninggalkan kami dan menjadi buruh-buruh kasar beberapa pabrik di Bogor karena orangtuanya tak lagi mengizinkan 2 atau 3 jam waktu mereka untuk berkumpul dengan kami. Ada perasaan lara dalam hati kami saat tak berdaya membujuk orangtuanya bahwa apa yang kami perbuat kelak akan berguna untuk mereka.
Pada akhirnya uang yang masih terkumpul kami sepakati digunakan untuk keperluan membiayai sekolah adik-adik dari anggota Aulad Tsabita yang mulai menginjak usia sekolah. Tiap pembagian rapor kami lakukan evaluasi atas prestasinya dan terus mendorong para orangtuanya untuk mendukung supaya anak-anaknya berprestasi.
Ramadhan hampir menjelang, berbagai kenangan kembali melintas di pelupuk mata saat sebagian waktu pernah terisi bersama Aulad Tsabita. Wajah anak-anak yang gembira saat belajar bersama kami dan raut sedih saat berpisah karena keadaan, membuat bulir-bulir kristal itu terus menerus berjatuhan.
Pastilah mereka saat ini sudah beranjak remaja, semoga tetap tabah dan tegar menghadapai alur hidup yang dijalani serta dapat hidup "merdeka." Teriring pula doa untuk para sahabat yang telah bersusah payah mendirikan Aulad Tsabita, semoga semua upaya bernilai di hadapanNya.
Marhaban yaa Ramadhan…
Berlin, Agustus 2008