Suatu hari, saya dan teman-teman mengikuti training untuk organisasi da’wah kami. Kami berangkat tidak secara bersamaan, karena peserta lain mengendarai sepeda motor. Saya beserta 3 orang teman menaiki mobil kijang tua yang isinya perlengkapan.
Sepanjang perjalanan kami isi dengan canda dan obrolan ringan yang tidak ada kaitannya dengan acara yang akan kami ikuti. Di tengah perjalanan, beberapa orang menyetop mobil yang kami tumpangi. Mereka kehabisan bus umum, karenanya, untuk bisa pulang harus dengan tanpa malu menyetop mobil yang lewat. Itulah budaya Jawa yang sampai kini masih subur di pedesaan, budaya tolong menolong tanpa pilah-pilih.
Dalam perjalanan, kami yang berada dalam mobil ngobrol bersama, walaupun kami tak pernah kenal sebelumnya. Akhirnya mereka bertiga turun setelah menempuh perjalanan lebih dari 15 menit dengan kecepatan 60-80 KM/Jam. Ucapan "matur nuwun" berkali-kali dari mereka mengakhiri pertemuan singkat kami dengan mereka.
Kami kembali meneruskan perjalanan dan obrolan yang sempat terputus tadi. Dalam tawa canda kami, tiba-tiba mobil tak seimbang, teman saya yang mengemudikan terus berupaya agar mobil kembali normal berjalan. Namun mobil tidak dapat dikendalikan, masuklah kami ke ladang jagung yang ada di sisi kanan jalan. Untungnya pada saat itu tidak ada kendaraan dari arah yang berlawanan.
Kami keluar dari mobil dengan rasa yang agak panik. Warga yang berada di sekitar mendekati lokasi kejadian. Mereka dengan ringan tangan membantu kami yang memang butuh pertolongan. Dengan berbagai cara mereka mendorong mobil agar bisa kembali ke atas jalan.
Waktu makin mendekati maghrib. Lalu lalang yang menyaksikan peristiwa itu berhenti sejenak untuk sekadar melihat atau mengucapkan kata simpati pada kami. Warga yang menolong kami sedikit demi sedikit berangsur pulang, yang tinggal hanya beberapa anak muda yang berperawakan kecil dan kurus.
Dengan pertolongan Allah, mobil berhasil diangkat. Kami keheranan, kenapa tubuh kami yang kurus kecil bisa mengangkat mobil yang sebegitu berat? Mereka puas karena telah berhasil membantu kami. Pemilik ladang pun memaklumi kejadian ini sebagai musibah dan tidak menuntut ganti rugi atas rusaknya beberapa pohon mereka.
Rupanya, ada cinta dari Allah disetiap ketentuan-Nya. Campur tangan-Nya selalu datang tanpa diminta. Usaha kita akan selalu dinilai-Nya sebagai pelengkap atas do’a yang kita panjatkan. Kalau saja Allah berkenan, dan secara logika, mungkin kita sudah menghadap-Nya karena kejadian itu.
Ujian Allah memang sebuah keniscayaan, semua pun meyakini. Setiap orang yang tertimpa musibah, sholat atau tidakkah ia, pasti sadar bahwa hal itu adalah ujian dari Allah. Dan mereka akan lebih dekat dengan-Nya ketika ujian menghampiri. Dan kembali melalaikan-Nya ketika kebahagiaan dan kemenangan sudah datang.
Kita tidak begitu senang dengan orang yang selalu meminta. Begitupun Allah. Namun, ‘sepelit-pelitnya’ Allah, Dia masih berkenan memelihara kita dengan membiarkan kita berumur panjang dengan oksigen dan rizki yang melimpah. Sangat curanglah kita selaku manusia jika tidak pernah bisa membayar ongkos kehidupan dengan cara beribadah kepada-Nya. Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iin, kepada-Mu kami menyembah dan kepada-Mu kami meminta.
Yang juga menjadi sifat umum manusia kini adalah rasa aman dari ujian Allah, karena kita hanya kenal istilah ujian setara dengan musibah. Ujian bukan hanya akan menimpa orang yang miskin atau lalai dari aktivitas penghambaan. Tapi ujian juga milik orang yang dikehendaki-Nya, beriman atau tidakkah ia.
Rasa aman dari ujian Allah adalah rasa yang hanya dimiliki orang yang tidak meyakini akan ketentuan Allah. Bila kita memiliki rasa ini, maka perilaku yang akan keluar adalah rasa sombong dan tinggi diri. Bisa jadi dalam hatinya akan berkata "Lihatlah aku, tak pernah diuji Allah, berarti Allah memang sayang sama aku!!."
Allah memang tidak butuh dengan Ibadah kita. Allah juga tak pernah marah ketika kita tinggali. Namun kesombongan adalah salah satu sifat yang dibenci Allah, karena yang berhak untuk sombong hanya Ia. Maka ketika kita merasa aman, kemudian sombong, tinggallah tunggu waktunya menerima ujian yang menyakitkan…