Atas Nama Lebaran

Lebaran telah tiba.  Lebaran ‘Idul Fithri sebagai sebuah hadiah yang diberikan untuk orang-orang yang telah berusaha sekuat daya upaya untuk menjalani ramadhan dengan sebaik-baiknya. Jadi lebaran yang bermakna sebuah hari yang istimewa bagi orang-orang yang mampu mengisi setiap waktunya disaat ramadhan, dengan ibadah yang maksimal kepada Allah Swt dan mampu pula menambah jiwa kepedulian sosialnya dengan banyak bersedekah di bulan tersebut.

Puasa memang sebuah ibadah yang tidak bisa dinilai oleh manusia. Karena puasa tidak bisa dilihat secara lahiriah, semisal ibadah sholat. Oleh karena itulah, hanya Allah yang berkuasa untuk menilai puasa yang dijalani hamba-Nya. Puasa yang ikhlas karena Allah ini, memang sangat berat tantangannya. Karena dengan berpuasa maka berbagai segi akhlak kita yang minus, semisal suka meninggikan suara terhadap anak-anak di rumah, ternyata harus bisa kita tahan. Padahal anak-anak tidak mengenal hari istimewa untuk menuruti kemauan kita. Hingga akhirnya anak-anak adalah sebuah ujian terberat bagi kita yang shaum, khusunya bagi seorang ibu yang kariernya di rumah.

Kembali ke masa lebaran, sesungguhnya lebaran ini adalah masa terindah yang saya rasakan. Karena bertepatan dengan hari lebaran, bertepatan pula dengan hari ulang tahunku. Walaupun memang dari jaman dulu tidak pernah ada perayaan ulang tahun untukku, namun kadang juga terbersit di hati untuk merayakannya.

Lebaran istimewa ini, hanya saya yang tahu. Kebetulan tahun ini, saya dan keluarga ke kampung halaman untuk bersilaturahmi dengan keluarga. Silaturahmi kepada keluarga dan orang-orang yang bersahabat dengan orang-tuaku, bertujuan untuk memuliakan kedua orangtuaku yang telah meninggal. Ikatan persahabatan yang telah di jalin orangtuaku harus tetap di jaga, sebagai bentuk penghormatan terhadap orangtua yang telah berjasa besar pada kami, anak-anaknya.

Lebaran yang istimewa ini pula, membuatku banyak bertemu dengan tetanggaku disaat masa kecil. Banyak pula yang telah beranak-pinak, dan banyak pula orang yang seumuran ibuku telah meninggal dunia. Banyak wajah baru yang tidak saya kenal, karena lamanya kami tidak bersilaturahim pada mereka. Hingga ada beberapa keluarga yang telah kami singgahi, orangtuanya sudah berpulang. Tinggallah hanya anak-anak dan cucu mereka yang dapat kami temui. Sebuah kesedihan dan penyesalan karena seringkali kami pulang kampung, ternyata tidak sempat menampakkan muka pada beberapa keluarga yang sangat dekat persahabatannya dengan orangtua kami. Tapi memang penyesalan selalu ada di belakang, namun dengan kunjungan kali ini, membuat  saya sedikit berlega hati, karena mereka masih menerima kedatangan kami dengan tangan terbuka dan tentu saja dengan beberapa hidangan yang mengundang selera.

Untuk hidangan lebaran, ternyata di setiap rumah yang di singgahi, selalu tersedia makanan pembuka hingga makanan penutup. Ada es buah, buras (makanan khas suku Bugis ) beserta lauknya, ada bakso hingga puding dan banyak lagi yang lainnya. Makanan pada saat lebaran ini, memang melimpah. Seakan-akan setiap rumah, adalah orang yang mampu. Mereka dengan sangat ramah, dan wajah sumringah menerima setiap kunjungan. Dan memersilahkan untuk mencicipi makanan yang telah tersaji secara prasmanan. Padahal saya tahu beberapa orang dari mereka adalah orang yang serba kekurangan. Tapi saat lebaran, sepertinya mereka tidak ingin ketinggalan. Maka, sajian yang terhidang pun tidak mencerminkan kelas ekonomi mereka yang rendah.

Saat lebaran, memang sebuah saat yang penuh gelak tawa. Banyak bersilaturahmi dan saling meminta maaf di antara sesama, seakan-akan dunia penuh dengan bunga-bunga yang baru saja bermekaran. Lebaran yang penuh kunjungan dari orang-orang terdekat maupun handai taulan, ternyata membuat diri kita menjadi lebih dekat pada mereka, karena kita merayakan lebaran bersama.

Saat saya menolak untuk mencicipi makanan yang disediakan oleh tuan rumah, ternyata masih dipaksa untuk memakannya. Padahal beberapa rumah sudah kami singgahi. Perut rasanya sudah penuh sesak, tapi atas nama LEBARAN, maka kami pun tetap makan!? Ha?! Yah atas nama lebaran, maka kami pun sepertinya terseret arus syahwat perut, untuk melahap semua makanan yang menggiurkan, yang semuanya tentu saja gratis.

Lebaran yang pada awalnya sebuah hadiah istimewa bagiku, ternyata saya masuk pula dalam lingkaran orang-orang yang tidak bisa menahan diri dari sebuah perbuatan yang kurang baik. Padahal saat puasa di bulan Ramadhan, sudah terbiasa makan dengan porsi secukupnya dan merasakan sebuah nikmat saat melaksanakan ibadah,  karena makanan yang masuk di perut tidak penuh sesak.

Tapi saat lebaran ini, semuanya terbalik. Sepertinya latihan selama sebulan penuh, hampir-hampir tidak berbekas. Saat mengunjungi sebuah keluarga, kemudian adzan dzuhur berkumandang, tuan rumah beserta tamunya tak bergeming untuk menunaikan shalat. Sepertinya mereka tidak mengacuhkan seruan muadzin untuk menghadap Allah. Apakah karena atas nama lebaran, nilai-nilai yang tertanam saat puasa malah tersingkirkan? Mungkin saja ini berlaku, karena merasa bulan ramadhan hanyalah sebuah bulan untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya pahala, dan setelah selesai bulan tersebut, maka selesai pula semuanya.

 Atas nama lebaran, membuat banyak orang berlomba-lomba membeli sesuatu, Sesuatu yang semuanya serba baru. Baik pada pakaian yang di kenakan saat lebaran, perlengkapan rumah mapun lainnya, ternyata berlebaran pada tipe ini, adalah lebaran yang  identik dengan barang yang serba baru. Tentu saja ini tidak di larang, sepanjang tidak memberatkan. Hal dilarang adalah bila kita sampai memaksakan diri untuk mengikuti trend tersebut, misalnya dengan berutang. Karena hal-hal baru tersebut, bukanlah kebutuhan primer alias kebutuhan mendesak. Sungguh rugi rasanya, hanya karena atas nama lebaran kita menumpuk utang untuk bisa bersaing dengan tetangga, misalnya.

Begitulah kehidupan ini, disaat kita berada pada sebuah kondisi yang ketat dalam beribadah, seperti ramadhan membuat kita pula turut serta di dalamnya. Tapi begitu kondisi lingkungan kita “longgar” maka sedikit banyak akan bisa mempengaruhi kita, walau tanpa kita sadari. Oleh karena itulah, kita memerlukan sebuah kekuatan agar kita bisa dan mampu  menjalani kehidupan di luar ramadhan dengan sebaik-baiknya. Amin.

Atas nama lebaran pula, kami pulang kampung untuk dapat berjumpa kawan lama, handai taulan dan orang-orang yang pernah singgah dalam memori perjalanan hidup kami. Orang-orang yang turut mewarnai pola pikir kita dulunya. Orang-orang yang banyak menolong disaat kami dalam kesusahan, dan orang-orang yang banyak mendo’akan kami untuk kesuksesan dan kebahagiaan kami.

Sebagai penutup dari tulisan ini, maka atas nama lebaran, saya mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada seluruh keluarga atas semua bantuannya selama ini, baik moril dan materiil. Khususnya kepada kakakku  yang tersayang, yang bertugas di tanah Grogot, semoga semua petuahmu  di saat lebaran dan sekaligus ultahku ini, dapat saya jalankan dengan sebaik-baiknya. Allahumma amin.

Sengata, 21 September 200

Halimah Taslima

Forum Lingkar Pena ( FLP ) Cab. Sengata

[email protected]