Bahwa Ramadhan datang dengan banyak keutamaannya, sudah menjadi hal yang biasa kita dengar. Sebelum Ramadhan datang, toko buku bahkan amat gencar memajang deretan buku dengan tema Ramadhan. Pusat perbelanjaanpun sudah mulai dengan Ramadhan Sale-nya. Bahwa bulan Ramadhan menjadi bulan khusus, tentu sudah tak asing bagi kita. Ia menjadi khusus tak saja dari sisi hubungan spiritual kita dengan Sang Maha Pencipta.
Sedemikian khususnya sehingga banyak aspek kehidupan kita yang tersentuh oleh gaung dan suasana Ramadhan. Ia kadang ikut merubah gaya, kualitas dan kuantitas makan kita. Kalau pola makan jelas berubah, dari yang biasa 3 kali sehari, kini hanya boleh dilakukan saat berbuka hingga sahur tiba. Nah terkait dengan makanan, apa makanan favorit Anda di bulan Ramadhan? Minuman apa yang biasanya jadi santapan pertama Anda saat Ramadhan?
Setiap kita biasanya punya data tentang jenis dan rupa makanan atau minuman favorit yang paling ditunggu saat Ramadhan tiba. Kolak singkong campur kolang kaling serta tape, atau es blewah dengan sirup segarnya menjadi salah satu yang sering muncul di bulan Ramadhan. Sementara korma seakan menjadi hidangan wajib di setiap rumah
Nah, aku sendiri amat menyukai asinan buah maupun sayuran. Bagi penikmat asinan, asinan Bogor tentu menjadi favorit. Isteriku tampaknya sangat mengerti hal ini, karenanya ia tak pernah lupa menawariku jenis makanan ringan yang satu ini. Seperti juga kemarin, satu hari sebelum kami mulai berpuasa.
” Mas, mau pesan apa?”, tanyanya melalui hand phone.
” Emangnya lagi di mana? Apa saja deh ”, jawabku pendek
” Ini ada asinan buah”, katanya dari seberang sana. Rupanya, saat jam makan siang isteriku tengan ke pusat perbelanjaan. ” Asinan buah boleh juga tuh”, kataku semangat
”Atau mau asinan sayurannya?”, tanyanya lagi, menawari jenis yang lain. ”Hmmm, kalau begitu dua-duanya aja sekalian”, jawabku ringan, sambil menyungging senyum, membayangkan asyiknya asinan itu
Setelah perbincangan singkat itu, kami sibuk lagi dengan aktivitas masing-masing. Aku masih tegang mengerjakan laporan yang sudah lama ditunggu kawanku. ” Mas Adjie, laporannya ditunggu Mas Doly hari ini”, suara telepon di ujung sana mengingatkanku.
Tak sekedar mengingatkan, kabar itu sungguh sempat membuatku senewen. Malam sebelumnya aku sudah begadang, kurang tidur untuk menyelesaikan laporan yang diminta. Tak hanya kurang tidur, aku terpaksa mengorbankan kesenanganku bermain dengan anak-anak di rumah. Ketika anak-anak mulai menyerbu mengajak bermain, aku sibuk menjauh agar bisa konsentrasi mengerjakan tugas yang menumpuk itu.
Aku makin stress, karena aku juga harus membantu memeriksa laporan yang dibuat oleh isteriku. Terbayang bukan? Aku tegang mengejar batas waktu, sambil sempat pasrah, khawatir tak bisa memenuhi janji.
” Ditunggu jam berapa laporannya?”, tanyaku sok tenang.
” Tadi pesan Mas Doly, yang penting dikirim hari ini Mas?”
”Aku sebenarnya sudah selesai Mas. Sebentar lagi ya ”, jawabku. Ini mungkin cukup untuk menghiburnya, sambil tentu membantuku menenangkan diri sendiri.
Seakan mengerti keteganganku itu, tawaran isteriku untuk membelikan asinan itu sedikit menyegarkan otakku yang mulai hang, tersendat harus mengolah bertumpuk data dengan kondisi fisik yang terseok.
Dan hari itu laporan bisa aku selesaikan. Jangan ditanya kualitasnya, karena ada sebagian memang dikerjakan dengan tergesa-gesa. Dalam kondisi seperti di atas, target ku langsung jadi minimalis: yang penting selesai dan laporan bisa sampai di tangan kawanku yang pasti sudah panik menunggu. Dalam situasi macam itu, tak terpikir lagi memberikan kualitas terbaik. Kalau sudah begini, jadi malu aku!
Kembali ke soal asinan. Walau senang mendapatkan makanan favorit, namun sesampai di rumah, aku tak terlalu antusias untuk segera menyantapnya. Badanku yang sudah amat letih minta diperhatikan lebih dulu. Tempat tidur menjadi jauh lebih menarik di sore itu, bahkan dibandingkan dengan asinan bogor yang pasti amat segar itu. Pasti makin segar, kalau asinan itu sempat singgah di lemari pendingin. Wah pasti lebih mantabb!
Melewati meja makan, mataku sempat tertuju pada sepiring asinan sayur. Toge, kol, daun slada menjadi sebagian yang bertumpuk di atas piring. Belum lagi kerupuk warna-warninya yang ikut memanggil. Sementara bumbu kacangnya ada di piring yang lain. Sambil berjalan menuju ruang tidur, bau tajam bumbu asinan itu menyapa hidungku, makin menggoda mata dan langsung menekan tombol air liur di permukaan lidahku. Rongga mulutku pun jadi semakin basah.
Sempat tergoda, aku penasaran mencari asinan buahnya. Karena tak ada di meja makan, pasti ia ada di lemari pendingin. Sambil berjongkok ku buka pintu kulkas berwarna putih itu.
Wessss………….., bau tajam kuah asinan buah itu amat menyentak. Otomatis liurku berkumpul dalam rongga mulut. Kutelan sedikit, lalu tanganku menggapai ke dalam pendingin. Sepotong bengkuang setebal 50 mili itu langsung terbang dari atas piring. Saat ku kunyah, dinginnya langsung menyerang semua syarafku. Ketegangan di kantor siang tadi sesaat sirna dihantam nikmatnya potongan buah yang nyaris dilumuri warna merah muda. Bumbunya mungkin amat meresap, sehingga merubah warna putih bengkuang. Atau mungkin zat pewarna ikut bermain dan menyumbangkan penyakit di dalamnya. Aku tak tahu. Yang ku tahu, aku makin terperangkap dalam asyiknya makan asinan, masih dengan posisi jongkok di depan lemari es.
Sepotong nanas sepanjang sekitar 7 senti sempat juga aku lahap. Asam dan manisnya bercampur sempurna, nyaris membuatku lupa diri. Tak ingin terperangkap lama di depan pendingin, akupun berdiri, menuju ruang tengah dan bermain bersama anak-anak. Bosan bermain di depan televisi, kami bergerak ke ruang tidur anak-anak. Tak lama bermain, aku terlelap tidur. Aku tak tahu, mungkin sekali justru aku yang tertidur lebih dulu dibandingkan mereka. Yang pasti, aku terbangun saat jam menunjuk angka 2, dini hari.
” Sahuuuuurr………. Sahuuur…………. ”, begitu suara orang-orang berteriak mengingatkan waktu untuk bersahur. Imsak tentu masih lama, maka aku tak perlu tergesa. Usai sholat, aku membaca buku sambil sesekali menengok acara di televisi.
” Ahhhh, ada yang terlupa nih”, aku disadarkan bahwa asinan masih menunggu. Kali ini pasti lebih segar lagi, karena sudah cukup lama bermalam di lemari es. Dinginnya asinan pasti makin menusuk, karena dimakan di pagi buta, jadi hidangan pelengkap sahur.
Jadi saat Mbak di rumah sibuk memasak untuk makan sahur, aku mengendap menuju lemari es. Apalagi kalau bukan mengambil asinan dingin itu. Aku mengendap bukan karena takut. Toh yang aku ambil memang jatah kami. Jatah untuk Mbak-mbak yang ada di rumah biasanya sudah kami siapkan terpisah. Aku mengendap karena alasan malu. Mereka pasti heran, pagi buta koq aku nekat makan asinan pedas itu!
Di ruang tengah itupun aku mondar-mandir ke meja makan, menikmati asinan dingin menyegarkan. Masih ada 3 potong bengkuang, 2 potong nanas dan dua potong mangga. Sementara kuahnya masih banyak, nyaris menggenangi potongan buah yang tersisa.
Awalnya aku sempat ngeri, khawatir perutku akan jebol karena makan asinan saat perut kosong. Apalagi siangnya aku harus puasa. Kalau harus bolak-balik ke kamar kecil tentu akan menyengserakan dan bisa mengganggu puasaku.
Sayangnya, sentuhan pertama nanas ke dalam mulutku begitu melenakan. Aku teramat menikmati kesegarannya. Satu per satu buah itupun tandas, lumat digiling gigiku. 7 potong buah itu habis tuntas. Langsung aku terlupa konsekuensi sakit perut yang bisa menyerang nantinya. Aku amat tergoda, walau hanya oleh asinan!
Demikian parahnya, bahkan kuah asinan itupun tak luput dari kerakusanku. Sambil berdiri, aku angkat piring, lalu mulutku pun mulai basah oleh kuah pedasnya. Saat menikmati kuah itu, sama sekali tak ada rasa khawatir akan sakit perut. Kuah itu mengalir deras. Piringpun jadi licin, bersih. Mulutku perlahan jadi panas. Tapi ada kepuasan, yang mungkin menyesatkan.
Benar saja, saat imsak, mulai ada yang menggangu di perutku. Aku tahan, karena tak terlalu parah. Usai sholat subuh dan membuka beberapa halaman Al-Quran, aku tak bisa lagi menahan serangan dari perutku. Aku langsung berlari ke kamar mandi.
Sesudahnya, aku terkapar di atas tempat tidur. Ngantuk karena terjaga sejak jam 2 pagi bercampur perut yang terasa tak nyaman. Tidur memang pilihan terbaik.
Paginya, sedikit terkejut aku terbangun. Aku harus mengantar isteri. Kasihan kalau aku terlambat bersiap. Tak lama, perutku kembali tak nyaman. Dan perintah ke kamar mandi kembali menggaung.
Lemas juga tubuhku. Pasti tak lain, ini semua ada hubungannya dengan asinan itu. Tapi apakah asinan itu yang sungguh jadi penyebab? Sungguhkan sakit perutku itu semua gara-gara asinan itu?
Aku pikir sejenak, jawabannya bukan asinan. Asinan memang berhubungan dengan sakit perutku. Namun yang jadi penyebab bukan ia. Asinan memang bisa membuat sakit perut, kalau dimakan terlalu banyak. Namun bukan itu yang membuatku lemas, karena berkali ke kamar mandi.
Biang keroknya adalah diriku sendiri. Penyebab utamanya adalah ketidak mampuanku menahan nafsu, menahan godaan asinan. Kalau aku biarkan asinan itu, pastilah tak ada sakit perut. Kalaupun aku makan, namun masih dalam batas wajar tidak berlebihan, maka tentu aku tak perlu pula menderita seperti pagi itu.
Pengalaman hari pertama puasa yang seperti itu membuatku tertawa sendiri. Bukan sekedar geli karena lucu. Ini geli bercampur malu melihat kekonyolan diri sendiri. Ternyata gaung Ramadhan tak cukup mengingatkanku hari itu. Pelajaran menahan diri yang dikirim oleh Ramadhan ternyata belum cukup menyadarkanku, belum cukup membuatku merubah perilaku. Aku masih saja terbelenggu nafsu. Aku masih begitu mudah tergoda, bahkan hanya oleh asinan.
Kalau oleh asinan saja aku bisa lupa diri, aku jadi takut membayangkan godaan lain yang lebih menawan dan membutakan hati, yang kelak bisa datang menyerang. Kabar baiknya, untung itu baru hari pertama kuliahku di kampus Ramadhan. Dengan begitu semoga aku masih punya waktu untuk berubah dan memperbaiki diri. Menjadi lebih tabah dan tak mudah tergoda, bahkan oleh hal sekecil asinan, Semoga saja
Cimanggis – sep -07