Sudah bukan menjadi pertanyaan, bahwa problematika umat hari ini adalah jauhnya mereka dari al-Qur’an. Barangkali banyak pula yang telah menguraikannya menjadi suluh-suluh yang lebih halus, menjadi tautan ilmu yang bisa ditulis berbuku-buku. Namun marilah mencoba melihatnya dari sebuah analogi sederhana, tentang padi dan bagaimana menanamnya. Ya, sebuah gambaran yang lekat dengan dunia kita, negeri agraris Indonesia.
Menanam padi adalah menanam sebuah harapan. Ada banyak hal yang menyebabkan padi tumbuh di sawah mengalami kerusakan atau gagal panen. Tentunya faktor internal dan eksternal mencakup semuanya, baik itu musim, pupuk, petani yang malas, atau mungkin karena padi itu sendiri memang tidak tumbuh sewajarnya.
Bagaimana dengan umat? Saat ini umat memang sedang ditumbuhi kangker ganas, yang menyedot hampir seluruh kekuatannya. Hingga kini, tak kita dengar lagi kehebatan dan kearifan yang benar-benar muncul dari sebuah peradaban Islam. Jikalau ada, mungkin hanya dalam mode-mode terpisah dan terdiferensiasi dalam ruang-ruang berbeda. Bukan dalam bentuk integral menyeluruh, seperti sifat Islam itu sendiri. Kondisi inilah yang menyebabkan umat kita acuh pada keadaan mereka sendiri, satu sama lain. Bagaimana sebuah euforia dan kehidupan gemerlap dapat kita temukan di satu sisi wajah umat, sementara di lain sisi kita melihat kepedihan dan luka menyayat.
Sangat jauh dari tujuan hidup dan makna yang telah digariskan Islam itu sendiri.
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”(Ad-Dzariyat:56)
“Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.”(As-Shaff:4)
Sangat sulit mempercayai bahwa umat hari ini adalah sebuah bangunan yang kokoh. Bahkan untuk sekedar menyebutnya sebagai sebuah bangunan adalah sebuah persangkaan yang menuduh. Maka, seperti menanam padi di sawah, mengembalikan umat ini pada kondisi kesatuannya adalah harapan-harapan yang kita nanti buahnya, adalah panen raya yang dirindukan setiap petani dakwah. Seperti Hasan Al-Banna dalam Risalahnya, ila aina nad’un naas. Atau generasi-generasi penerusnya yang terus berjuang menempuh jalan dakwah yang terjal ini, Sayyid Quthb, Ahmad Yasin. Menanti hadirnya peradaban Islam adalah mimpi yang membakar setiap tidur yang tak pernah lelap, untuk menjadi kenyataan di hari esok.
Tentunya mengembalikan umat ini menjadi sebuah bangunan kokoh, menjadi ladang yang membuahkan panen raya adalah mengembalikan mereka pada hakikat hidup, sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an. Dan melakukannya adalah amanah setiap pendakwah, setiap pejuang dalam gerak dakwah ini. Pertarungan akan terus dihadapi, menghadapi sawah yang hampir remuk oleh hama, menghadapi iklim yang semakin tidak bersahabat, menghadapi padi yang jauh dari varietas unggul, seorang dai’ akan terus bergulat dengan tantangan itu, bahkan yang timbul dari dirinya sendiri. Hasan Al Banna menggambarkannya sebagai sebuah pertarungan melawan dendam kesumat terhadap kebenaran. Sungguh jelas, ini adalah pertarungan melawan kebathilan, tak ada lagi hujjah untuk menghindar darinya, atau menjauh dari amanah ini.
Bagaimana melakukannya? Ustadz Hasan Al-Banna menyebutkan beberapa hal yang sangat diperlukan dalam merintis sebuah kebangkitan. "Sesungguhnya setiap umat atau kelompok yang ingin membentuk dan membina dirinya, mewujudkan cita-citanya, dan membela prinsip-prinsipnya, sangat memerlukan kekuatan jiwa yang terjelma dalam beberapa perkara, yaitu : tekad yang tidak pernah lemah, kesetiaan yang teguh yang tidak disusupi oleh kemunafikan dan pengkhianatan, pengorbanan besar yang tidak dapat dihalangi oleh ketamakan dan kebakhilan, dan pengenalan, keimanan dan penghargaan kepada prinsip yang dapat menghindarkan dari kesalahan, penyimpangan, sikap tawar-menawar dalam masalah prinsip, serta tidak tertipu dengan prinsip lain.”
Tekad, kesetiaan, pengorbanan dan pengetahuan. Seperti tekad Sastro sang petani untuk menanam meski kelemahan terus mendera tubuhnya, kesetiaannya yang melahirkan pengorbanan dan pengetahuan untuk terus mengabdi. Hanya di atas rukun dasar inilah, sebuah fikrah ditegakkan, umat yang mulai bangkit dibimbing, bangsa yang kuat dibentuk dan kehidupan baru akan mengalir kepada umat yang sekian lama tidak mendapatkannya, yang sepenuhnya merupakan kekhususan jiwa dan hanya di atas kekuatan rohani yang besar. Bila suatu bangsa atau sekurang-kurangnya para pemimpin dan penyerunya tidak memiliki keempat sifat di atas, maka ia adalah bangsa yang rapuh dan miskin yang tidak akan mampu meraih kebaikan dan mewujudkan harapan. Ia akan selama-lamanya hidup dalam mimpi-mimpi dan prasangka-prasangka. ‘Sesungguhnya prasangka itu tidak berguna untuk mencapai kebenaran’.
Dan di ujungnya, akan selalu ada janji Allah, yang menghidupi bara api semangat para pendakwah. Seperti panen raya yang dinanti petani, setiap dai’ selalu percaya pada janji-Nya, selalu mengawali langkah dengan nama-Nya, selalu mencangkul dan membajak ladang dakwah mereka dengan tulus, tanpa menginginkan cabang-cabang setan yang menyeruak di setiap sudut sejarah manusia. Ia tetap teguh, mengharap ridho-Nya, dan memang itulah yang akan ia panen di hari akhir kelak (atau mungkin juga di dunia).
“Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah syurga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadanya. yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.” (al Bayyinah:8)