Malaikat ada di mana-mana, ribuan atau jutaan. Bahkan di kanan kiri kita. Namun tak banyak yang mampu melihatnya, tentu saja bukan melihat dengan mata, namun dengan batin. Karena malaikat adalah makhluk ghaib, seperti juga setan, jin dan bilangan imajiner akar min satu. Kemampuan kita melihat hal-hal ini bergantung pada kualitas kita mengenal mereka sebagai bentuk yang utuh dan hidup, dan ini berhubungan dengan sejauh mana iman ada dalam diri kita.
Dari mana kita bisa mengenal malaikat sebagai suatu sosok yang hidup? Jika kita berpikir sekuler liberal dengan dalih pembuktian empiris dan ilmiah logika, maka mungkin malaikat menjadi suatu sosok yang tidak pernah ada. Dan nyatanya, dengan pandangan ini, malaikat dianggap satu paket dengan ajaran agama dan candu spiritual yang mengajarkan surga, neraka, dan kehidupan tak jelas setelah kematian somatis manusia, yang seluruhnya terlihat ‘aneh’ atau ‘hanya produk budaya’ dari sudut pandang liberal. Sementara dengan menggunakan iman, seorang akan mengenal dan meyakini keberadaan malaikat dengan kuat, sebagai bagian dari sistem yang dijalankan Allah di dunia. Ia bahkan membawa malaikat dalam tiap sudut hidupnya sehingga seakan merasa terus diawasi oleh malaikat pencatat, seperti adanya seorang di ruang ATM merasa diawasi kemera.
Malaikat mucul dalam benak manusia karena adanya iman. Jadi, kemampuan melihat malaikat sebagai sosok yang hidup dan memberikan peran dalam kehidupan ini bergantung pada dasar kepercayaan seseorang, belief system. Malaikat ada atau tidak bukan urusan rasio, tapi urusan hati, urusan kepercayaan. Ini juga berhubungan dengan urusan ghaib. Sesuatu yang ghaib itu benar-benar ada atau tidak, menurut pandangan seseorang, maka disinilah iman bekerja. Orang dapat dikatakan beriman atau tidak tergantung sejauh mana ia menganggap hal yang ghaib ini benar. Alladziina yukminuuna bil ghaibi… (Al Baqarah:3)
Ah. terlalu naif! Bukankah seseorang dapat menganggap seekor harimau ada di hutan, dan langsung ketakutan saat mendengar suaranya? Bahkan tanpa melihatnya! Bukankah kita selalu menganggap matahari itu ada, dengan hanya merasakan hangat sinarnya setiap pagi, tanpa harus mendatangi dan melihatnya di depan mata? Atau bahkan menyentuhnya! Begitu pula malaikat, Allah dan surga, neraka, serta hal-hal ghaib yang semuanya kita pahami dari Qur’an.
Jikalau manusia dapat mengakses kehidupan ghaib secara kasat mata dan telinga, atau mungkin juga raba, maka mungkin tak ada kedurhakaan di dunia ini. Pencuri tak mau mencuri karena ia takut dihakimi Allah dan dimasukkan neraka. Pejabat korup tak mau memotong uang anggaran karena ia melihat Malaikat di sampingnya yang mencatat sehingga ia bisa dituntut tanpa ampun di pengadilan Allah. Si tukang serong malu berbuat serong karena Malaikat merekam perbuatannya dan dapat ditunjukkan pada istri dan anak-anaknya. Maka disinilah kita melihat Islam sebagai rahmatan lil alamin. Dengannya hidup menjadi damai dan benar.
Maka, alangakah indahnya hidup jika kita memahami ini dengan benar. Kita mengambil, memahami dan memaknai hal-hal ghaib itu dari tuntunan Islam yang asli: Qur’an dan Sunnah Muhammad yang shahih. Dengan itu, dengan memahami hal ghaib itu, maka kehidupan dunia ini jadi sempurna, paripurna, dan di akhirat jadi bahagia. Manusia tak dapat mengakses hal ghaib secara langsung, namun dengan akal dan hati ditambah tuntunan Islam itu mereka akan menemukannya, memahami secara benar, mengamalkan dengan baik.
Demikianlah perandaian itu bekerja. Namun kenyataannya dalam hidup ini ada saja yang lupa dan abai. Dunia ini ujian; yang ghaib ada agar manusia memahami kitab dan sadar yang nyata tak sempurna. Yang fana ada agar manusia memahami sunnah dan sadar dengan yang kekal. Kehidupan dunia ini fana, sementara, dan serba singkat namun banyak yang berlomba-lomba menggapainya. Sementara yang kekal, yang selamanya, di akhirat kelak, itulah yang ghaib, tak tampak, seperti malaikat, tapi tidak semua percaya, atau menjaga diri dengannya. Ada yang tidak percaya dan bahkan memepertanyakan kebenaran itu, mendebatnya, dan meragukannya.
Ah. Amat miris! Lebih baik kita tanya diri sendiri, tanpa menghakimi, dan jadi baik, jadi petunjuk dan bukti bagi orang lain, bahwa dengan keimanan kita, manusia dapat maju dan paripurna –lebih dari itu: bahagia! Seperti bahagianya orang-orang yang berjuang di jalan Allah –para seniman, ilmuwan, sastrawan, juga saudagar dan pemimpin yang tunduk pada aturan Allah dan mengimani hal ghaib. Kenapa kita tidak?
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal” (Ali Imran:190)
Jogja