Di persimpangan jalan, ketika siang hari yang terik, motor dan mobil berjajar di belakang garis putih. Lampu lalu lintas menyala merah, dan semua harus menunggu. Di atas aspal itu, dua orang bersebelahan dengan motornya masing masing bergulat dengan pikirannya.
“Aku pusing dengan hidupku. Kerja tak kunjung baik, gaji tak kunjung bertambah, siang ini pula, sebelum sampai di perempatan ini, tadi aku didamprat oleh atasan. Dipermalukan lantaran kerja tak pernah beres. Padahal aku sudah berusaha. Padahal aku sudah melaksanakan semua tugasnya.” Kata seorang pengendara sepeda motor di dalam hatinya.
Sementara seorang dengan sepeda motor di sampingnya, juga sedang membatin “Aku senang dengan hidupku. Kuliah tak kunjung selesai, skripsi tak lekas membaik, dosen memarahiku, ibu membayangiku, menyindir-nyindir dengan nyinyir. Kapan selesai kuliah? Kapan segera lulus? Namun Allah tetap di hati, aku tahu, di jalan-ini aku sedang melintas, di hidup ini aku sedang berjalan. Aku sedang menuju tempat kembali, dan tempat yang kutuju sangat indah.”
Kedua orang itu berada dalam kondisi paling rumit dari hidupnya. Begitu juga mungkin kita, Namun bagaimana kita menyikapinya? Itulah yang membedakan. Kita dapat saja menganggap bahwa kerumitan itu telah begitu mencekik, sehingga tak ada lagi jalan yang dapat kita tempuh dalam kehidupan ini selain mengumpat dan mengutuk. Padahal cara kita memaknai hidup inilah yang menentukan akan ke arah mana kita berujung.
Orang yang sadar bahwa jalan ini memiliki sebuah tujuan, bahwa hidup yang ia tempuh memiliki arah, yang berpegang pada sebuah petunjuk yang hakikat, maka ia tak akan limpung. Ia memilih berjalan di jalan yang jelas, sementara orang yang tidak memiliki arah dan tujuan seperti berjalan di padang pasir tanpa petunjuk apapun.
“Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku” Luqman:15
Mereka membaca petunjuk, melihat alam, dan lalu menyadari bahwa hidup ini adalah bagian dari perjalanan, Dan kondisi dimana mereka berada di dunia adalah titik dari lautan warna yang akan melukis keseluruhan hidup. Maka hatinya menjadi tenang mengingat itu, jiwanya menjadi tentram, dan tak ada kesulitan apapun yang ditempuh dalam hidup, karena ia selalu yakin bahwa ia sedang berjalan, dan menuju tempat kembali yang indah.
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya." Al Baqarah : 286
Indah… Begitulah cara kerja iman di dalam hati seorang muslim. Dengannya ia menjadi tenang, dengannya hidup menjadi damai. Tak ada kesulitan yang tak dapat diatasi, tak ada aral lintang tanpa ada sebuah arti. Dan pada arti itu, ia telah menggantungkan sesuatu yang hakiki. Allah. Ia mengganungkan seluruh logika, emosi, dan ikatan batin pada-Nya. Maka hanya kebaikan dan kebaikan yang ia peroleh.
“Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.” Al Ikhlash: 2
Pada perjalanan kehidupan selanjutnya, orang yang mengeluh hanya akan mendapatkan akibat dari keluhannya itu, yaitu gaung yang tajam dan dalam di sudut hati, lalu tempat kembali yang tiada arti. Sementara orang yang tersenyum mengingat-Nya, yang berserah diri, yang menghadapi rumitnya hidup dengan lembutnya dzikir dan doa, ia akan selalu mendapat untung, ia mendapat balasan dari apa yang ia ucapkan. Ia merajut senyuman abadi dan menuai kegembiraan. Betapa indah tempat itu… betapa elok surga itu… Ia hadapi kehidupan dunia dengan sahaja, dan di akhirat, ia temui kesenangan tiada tara. Subhanallah…