Jatuh bangun jilbabku.. Tulisan Eva Khofiyana di Eramuslim itu mendadak menghantamku. Bukan sekedar karena tulisan dan kisahnya, melainkan tulisan itu mengingatkan kekonyolan yang pernah aku lakukan dalam satu episode kehidupanku. Karena satu hantaman yang begitu dahsyat aku pernah sesaat melepaskan jilbab yang belasan tahun aku kenakan. Sabar itu pada hantaman pertama, begitu nasihat Rasulullah.
Aku terlahir di keluarga yang akrab dengan balutan rohani katolik. Meski di rapor aku tertulis beragama Islam, tapi tidak pernah aku menjalankan satu pun dari kewajiban sebagai umat muslim. Ayahku yang terlahir dari seorang Ayah yang konon adalah pemeluk agama Islam yang taat bernama Mohammad Zein. Dari makam beliau di kota Yogyakarta, aku mengerti bahwa Eyang Buyut saya tak sekedar pemeluk Islam yang taat tapi karena ketaatannya pada agama, Eyang pun rela gugur saat melawan penjajah Belanda meski tertulis Eyang gugur sebagai prajurit. Perjalanan hidup mempertemukan Ayah dengan Ibu saya yang akhirnya mereka menikah dan lahirlah dua putra dan putri dari pernikahan tersebut.
Ibuku adalah penganut Katolik Roma yang taat. Sekolah Ibu pun tak tanggung-tanggung, SMP di SMP Mater Alma, Ambarawa lalu SMA di Stela Duce, Yogyakarta. Karena didikan dan menghayati segala ibadah Katolik, aku sempat bercita-cita ingin menjadi biarawati. Uniknya, meski akhirnya aku memutuskan memeluk Islam secara penuh, pernah dalam satu periode waktu, perjalanan hidup mengantarkanku menginap di Susteran Santa Maria, Ruteng, NTT. Saat itu aku begitu takjub karena Suster Kepala dengan gembira mempersilahkan aku untuk tidur di kamarnya padahal dengan busana yang aku kenakan jelas bahwa aku adalah seorang muslimah. Aku sempat menolak, cukuplah bagiku tidur di kamar lainnya. Tapi Suster kepala dengan senyum lembutnya berkata, “ Tidak Nak, kamarku itu kamarmu juga.. kelak, kau akan mengerti.. bahwa disinilah tempatmu..” katanya. Aku tercenung. Malam harinya aku begitu asik melihat jajaran buku-buku yang mayoritas berbahasa Italia dan ada sebuah gitar tersedia di kamar. Kamar itu sejuk karena ber-AC selain karena kesejukan Ruteng. Kamar mandinya pun ada di dalam kamar. Pendek kata kamar itu nyaman. Merasakan kedamaian dan ketenangan di susteran Santa Maria adalah satu kenangan tersendiri yang begitu membekas di dalam ingatan.
Ingatan dan perkataan Suster Kepala itulah yang akhirnya membuatku merasa memiliki “pelarian” saat ayah dari ketiga putri yang aku lahirkan kembali menceraikan aku. “Apa salahku Mas? kalau aku memiliki kekurangan, tolong beri tahu aku agar aku bisa memperbaikinya. Kasihan anak-anak. Jika mas menghendaki menikah lagi, menikahlah.., “ entah kalimat apalagi yang waktu itu aku ungkapkan kepada suamiku untuk mengurungkan niatnya untuk menceraikan aku. “Kamu pikir dia wanita apaan mau dipoligami!” bentaknya. Blaaaaaarr.. serasa langit rubuh tepat diatas kepala. “Aku sudah tidak mencintaimu! Aku sungguh-sungguh mencintai dia! Setiap orang bebas untuk tentukan arah hidupnya, aku telah yakin dengan keputusanku untuk cerai denganmu. Semua orang berhak untuk mengejar kebahagiaannya, termasuk aku. Jadi aku harap kamu jangan menghalang-halangi. Sudahlah..jangan buat hubungan jadi makin buruk. Kamu lakukan apa saja itu gak berpengaruh dengan keputusan aku. Kamu harus coba ikhlas lepas perpisahan ini. Terima saja kenyatan aku sudah tidak mencintaimu lagi. Kamu wanita dewasa dan berpendidikan, aku harap kamu bisa bersikap bijaksana.” Katanya. Entah apa yang lagi kalimat yang diucapkannya. Hanya yang teringat gelombang kesedihan dan kekecewaan menghantamku begitu dahsyat.
Tuh, kan benar.. gini deh nasib yang bakal kamu terima jika kamu memeluk agama Islam. Pertama ujung-ujungnya suami kamu minta poligami ketika kamu sudah tak lagi remaja dan mempesona. Eh, apesnya iya kalau wanita yang dicintai suamimu mau dipoligami.. kalau ga?? Mau tidak mau dicerai. Hanya dengan mengatakan talak, sudah jatuh talak. Apalagi jika tertulis. Mana keindahnya Islam yang kau percaya itu??
Tangis tak terbendung. Iba yang tak di dengar. Akhirnya aku berusaha mencari peneguhan. Di hadapan keluarga besar suami dengan berani kunyatakan bahwa aku ingin kembali ke katolik. Ketiga putri yang hadir didalam pernikahan kami serta merta menyatakan ingin ikut, kalau Mama ke gereja ya aku ke gereja. Kalau mami katolik, aku ya ikut, “ begitu kata salah satu puteriku. Aku kalap karena kekecewaan dan kesedihan yang luar biasa dahsyat menghantam. Mengetahui suami selingkuh dan memaafkan mungkin mudah bagi seorang istri tapi diceraikan karena perselingkuhan yang terjadi adalah satu hal yang sangat sulit diterima. Aku memang memiliki banyak kekurangan. Tapi yang teringat adalah saat aku memutuskan menerima lamaran suami waktu itu karena aku takjub dengan kalimat “kamu mau ngga jadi istriku?” sedang waktu itu aku belum tahu namanya. Pun aku berharap kedua orang tuanya yang sudah berhaji dan dibesarkan di lingkungan Islam murni mampu membawaku lebih memahami keindahan Islam. “Bukannya Mba suka membuat update status tentang Islam? Masa mau pindah dari Islam?” cetus Ibu mertuaku. Yang lain tatapan yang aku ingat hanya tatapan sinis atau mungkin aku salah menterjemahkan tatapan mereka. Aku tertawa kecut dalam hati. Islam… beginikah Islam? Memberikan kekuasaan penuh kepada seorang suami dengan mudah dapat menceraikan istrinya? Juga memberikan kewenangan untuk berpoligami? Ironisnya suami kerap dengan santainya menceraikan istrinya lalu istrinya-lah yang harus membereskan administrasinya dengan mengajukan gugat cerai meski sesungguhnya telah jatuh talak atas istrinya. Belum lagi pejabat kantor KUA yang dapat disuap hingga banyak kisah tentang buku aspal pun beredar. Kehidupan belasan tahun ini mengajarkanku banyak hal dan ironisnya semuanya justru menunjukkan “belang” dari kaum muslim yang aku pilih secara sadar untuk menjadi bagian dari mereka.
Di rumah, saat akan berangkat bekerja, aku dengan santai berjalan keluar meski aku masih mengenakan baju lengan panjang. Melepas jilbab dan pindah ke agama asalku adalah ancamanku kepada suamiku yang ternyata akhirnya tetap bersikeras pada keputusannya dan menceraikanku dengan selembar pernyataan perceraian. “Ini sudah keputusanku, tolong kamu pahami itu!” cetusnya tanpa ampun. Aku limbung. Kesedihan meledak jauh lebih pedih dari kesedihan dari perceraianku yang pertama dan kedua dengan pria yang sama. Pria yang merupakan ayah kandung dari ketiga anakku itu mengendarakan mobil dengan tenang. Pun dia tidak mencegah aku untuk keluar dari mobil tanpa mengenakan jilbab. Rambut yang tertiup angin rasanya begitu asing. Tatapan dua pasang mata penjaga keamanan di depan pintu masuk akhirnya aku berlari memasuki toilet yang tergolong mewah. Aku dengan tangan gemetar mengirim BBM kedua wanita yang dekat denganku. Satu sudah aku anggap seperti kakak perempuan sendiri dan satunya lagi seperti adik sendiri. Kesedihan mereka menyadarkan aku. Bukankah aku masuk Islam karena aku begitu yakin akan janji Allah? Bukankah karena perintahNYA, begitu aku masuk Islam aku langsung mengenakan jilbab tak perduli berapa banyaknya tudingan buruk dialamatkan kepadaku saat waku masih menginjak remaja?
Ya Allah.. ampuni aku.. tangisku pun tumpah tanpa terbendung lagi. “Wahai, Bunda! Sungguh, sabar itu ada pada hantaman pertama” nasihat Rasululloh mendadak memenuhi batinku. Semalam, sesudah aku nyatakan niatku untuk pindah kembali ke Katolik dan menjadi biarawati, aku kirimkan sebuah SMS kepada seseorang pria yang ku ketahui memiliki pengetahuan tentang Islam dan akhlak yang tergolong sangat Islami. SMS balasan darinya akhirnya perlahan ku buka dan ku baca lagi. “Hai orang2 yang beriman jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah bersama orang2 yang sabar” (Al Baqarah 153). Terus berjuang Mbak, Allah sedang menguji mbak. Jadikan sabar dan shalat sebagai penguat. Sesungguhnyadibalik kesulitan itu ada kemudahan.
Meski hanya sesaat aku melepaskan jilbab dan mungkin hanya dua penjaga keamanan gedung tempat aku berkerja yang aku ingat tatapan mata “laki-laki”nya yang sempat melihatku, tapi sungguh kejadian itu hingga saat ini selalu membuat aku selalu tak sanggup menahan titik air mata jatuh berderai.
Kesedihan diceraikan untuk ketiga kalinya ternyata tak berarti apa-apa dibanding perpisahan “sesaat” denganNYA.. ” Katakanlah kepada wanitayang beriman: “Hendaklah mereka menahanpandangannya, dan kemaluannya, danjanganlah mereka Menampakkan perhiasannya,kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlahMenampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka,atau putera-putera suami mereka,atau saudara-saudara laki-laki mereka, atauputera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuanmereka, atau wanita-wanita Islam,atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidakmempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengertitentang aurat wanita. dan janganlah merekamemukulkan kakinyua agar diketahuiperhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah,Hai orang-orang yang beriman supayakamu beruntung.” (QS An Nuur:31). Satu saja dari ayat Al Quran yang terus menerus membuatku terkesima dari pertama kali aku membacanya saat aku duduk di bangku kelas 2 SMA dulu. Hingga saat ini, meski belasan tahun berlalu ternyata aku memang belum mampu pasrah dan percaya penuh akan janjiNYA.
Ketika aku seorang anak, aku bahkan mampu melawan orang tua dan akhirnya Alhamdulillah, ibu – wanita yang melahirkanku sekaligus yang langsung mengusirku dan menyatakan aku bukan lagi anaknya pada saat aku menyampaikan keputusanku untuk memeluk Islam sekaligus langsung mengenakan jilbab saat ini sudah mengikuti jejakku menjadi seorang muslimah lengkap dengan jilbab dan juga sudah mampu menghafal dan melaksanakan sholat serta mulai mampu menghafal surat-surat pendek dan mulai bisa membaca Al Quran. Ketika aku menyampaikan keinginan untuk kembali ke agama Katolik dan menjadi biarawati, tatapan mata tak berdaya wanita yang mulai renta itu pun membuatku tercenung. “Kalau kamu kembali ke katolik trus mama harus bagaimana? Mama ikut karena mama tahu kamu selalu berpikir dan memutuskan yang terbaik..” katanya tak berdaya. Ya Allah.. setelah semua puteriku, kemudian ibuku.. lantas siapa lagi? Air mata terus deras mengalir menyesali dosaku yang pernah terbersit untuk meninggalkan jalan kebenaran yang telah kupilih segenap hati. Ya Allah, tetapkanlah aku dalam agama Islam dan periharalah imanku dan tetapkanlah orang-orang yang aku cintai dan mencintaiku dalam agama Islam dan peliharalah iman mereka, satukanlah kami selalu dalam naungan cinta kasihMu dalam mengapai ridhoMU..
Semoga kisah ini dapat menjadi pembelajaran bersama.. “Apakah manusia mengira setelah mereka mengikrarkan dirinya bahwa dia beriman, lantas mereka dibiarkan tidak diuji ? Sungguh, orang-orang yang terdahulu pun telah Kami uji. Yang dengan ujian ini, maka akan teranglah siapa yang jujur dalam pengakuan imannya, dan siapakah yang dusta.” [Q.S. Al Ankabut: 2-3]. Sungguh diluar dugaanku, ujian datang berulang kali itu justru berasal dari orang yang aku harapkan untuk mampu menjadi imam dan guru bagiku. Namun satu persatu ingatan menghantarkanku pada satu kesadaran, mencintai sesuatu atau seseorang melebihi kita mencintai Allah dan RasulNYA akan selalu menghantarkan kita pada kesulitan dan kemurkaanNYA. Sekalipun itu adalah suami atau istri kita, tak selayaknya kita mencintainya melebihi cinta kita pada Allah dan RasulNYA. Tanpa aku sadari aku kerap merasa iba dan tak sanggup untuk membangunkannya untuk melakukan sholat ashar saat hari libur, aku takut suamiku marah. Padahal kemurkaan Allah yang seharusnya aku takutkan. Begitulah hari demi hari aku tumpuk dosa demi dosa itu hingga akhirnya menghantarkan aku yang meninggalkan perintahNYA untuk berjilbab hanya karena kekecewaan karena seorang suami yang telah bertekad untuk meninggalkan aku bersama ketiga putriku. Tidak mudah memang menjalani kehidupan sendiri bersama amanah-amanah Allah yang dititipkan kepadaku, tapi bukankah setiap manusia adalah khalifah? Bukankah setiap diri adalah pemimpin bagi dirinya sendiri?
Sungguh tidak mudah bagi saya untuk menuliskan kisah ini, namun harapan semoga kisah ini bermanfaat membuat saya meneguhkan hati. Semoga kita dapat senantiasa meneguhkan semangat untuk tetap dalam iman termasuk didalamnya untuk berjilbab.. aamiin..
(Anonim) Muslimah
Baca juga :