Sejak sore kemarin sampai pagi ini, Fatimeh terus aja uring-uringan. Tidak tahu apa yang terjadi pada istriku tercinta itu. Mungkin ada yang sedang ia pikirkan. Tapi ia belum menceritakannya padaku. Sebaiknya aku yang bertanya terlebih dahulu. itulah fungsi suami, pikirku.
“Meh, ada apa sih Say, kok mukanya ditekuk gitu. Ntar kelipet antara dagu ama jidat loh.” Tanyaku sambil menggendong ghaza yang badannya sedang tidak enak. Memangnya anakku makanan? Bisa enak atau tidak enak? Hehe…
Fatimeh pertama hanya menatapku dengan pandangan berapi-api. Seperti raut muka Bung Tomo sedang berpidato di depan rakyat Surabaya.
“Bang, pokoknya aye ga mau kalo anak kita besarnya jadi Satpol PP!” kata Fatimeh tiba-tiba. Sambil ngulek sambal. Menjadikannya (cabe-cabe itu) begitu hot….
“Loh, kenapa kok tiba-tiba bicara begitu. Emangnya apa masalahnya menjadi Satpol PP?”
“Abang ga liat tipi dari kemaren ya? Para satpol PP menyerang kawasan Koja, Jakarta Utara dengan ganas sehingga menimbulkan banyak korban!”
“Oalah masalah Koja kemaren ya? Itu kan karena kedua belah pihak, baik pihak warga maupun Satpol PP yang tidak bisa menahan diri.”
“Ya jelas tidak bisa menahan dirilah, Bang. Kalo rumahnya mau digusur, pasti kita juga akan marah seperti mereka.”
“Bukannya yang mo digusur itu makam Mbah Priok? Bukan rumah kita kan? Hehe…”
“Iiiiii…. Abang niyy ga pernah bisa diajak serius! Iya emang yang mo digusur makam Mbah Priok. Cuma kan makam itu seperti rumah bagi ribuan warga Koja terutama para pengikut para Habaib yang telah menyebarkan agama Islam di daerah itu. Disanalah mereka berziarah, berdoa…meminta…”
“Meminta sesuatu bukan kepada Allah bukannya bidah atau malah cenderung syirik, Meh?” tanyaku, rasanya jengah juga kalo melihat ada orang meminta kepada Allah lewat perantara orang yang telah meninggal, sekalipun seorang ulama besar. Hmm… paling tidak setauku para sahabat Nabi tidak melakukan dan mencontohkannya.
“Ah, Abang malah bicara keluar dari konteks. Emang kalo soal itu Fatimeh rada ga setuju. Namun masalah ini adalah masalah arogansi kekuasaan yang terus berlangsung di negeri ini, Bang. Dan semua itu harus dihentikan. Sekarang!!” Terang Fatimeh berkobar-kobar. Kayak gaya Jupe mo jadi bupati Pacitan aja. Hehe..
“Duile kayak politisi aja, Meh. Pake bahasa-bahasa arogansi… kagak ngerti dah Abang.”
“Coba liat deh, Bang. Dengan adanya kekuasaan, terutama uang yang orang-orang kaya miliki, seakan-akan mereka bisa melakukan apa saja. Termasuk mengambil tanah hak milik orang lain. Bahkan mereka tidak menghormati sejarah bangsa sendiri… kalau bukan kita yang menghormatinya, lalu siapa lagi!”
“Apa kata duniaaaa?” kata gue menambahkan, lalu sambil nahan ketawa. Sebenernya gue mengiyakan juga beberapa hal yang dikatakan istri. Cuma bagi kami yang orang awam berupaya untuk menepiskan hal itu dari otak kami.
Kami yang termasuk sebagian dari jutaan orang kecil, orang miskin, kagak ngerti apa-apa di Indonesia, hal-hal seperti itu seperti di luar nalar kita. Kalo diibaratin kami di galaksi Bima Sakti, mereka di galaksi antah berantah. Malah kalo kami mencoba untuk ikutan mikir, tau-tau dipukuli Satpol PP. Atau diculik Densus 88. Ah, tidak kereen.
Bagi kami sendiri, orang kecil, dalam pikirin ini cuma apa yang akan dan bisa kami lakukan untuk menyambung hidup. Juga menyiapkan uang berobat anak ke dokter. Sementara masalah arogansi, kekuasaan, politik, negara… biar kami serahkan kepada mereka. Para pejabat yang tidak punya otak buat rakyat kecil seperti kami. Tentu saja bukannya kami tidak peduli dengan negeri ini. Kami sudah cukup peduli dengan memposisikan kami sebagai korban dari keserakahan mereka. Kan, kalo tidak ada korban bagaimana pemangsa akan memangsa?
“Harusnya bisa dimusyawarahin dari awal. Tempuhlah cara yang terbaek di antara kedua belah pihak. Sambil diselingi ceramah Ustadz Yusuf Mansur atau tausyiah Aa’ Gym, pasti hasilnya tidak akan seperti ini, Iya kan Meh.”
“Kenapa sih perlu sampe berdarah-darah gitu?”
“Kenapa pula sampai preman berpakaian seragam diikutkan? Kalo mereka menang beneran di pengadilan seharusnya bisa mencari cara yang lebih elegan.”
“Apaan tuh elagan?”
“Elegan itu lawannya lebay..”
“Dasar Abaaaang…”