Dakwah Never End

Bagi pejuang dan aktivis dakwah, kadang-kadang mengalami apa yang disebut ‘kementokan dakwah’. Sering pula disebut jalan buntu dakwah. Keadaan seperti ini seringkali dikarenakan dakwah yang disampaikan terhalangi oleh sebab-sebab tertentu. Misalnya dakwah yang terhalang kultur budaya. Atau sudah lama berdakwah tapi penerima hanya itu-itu saja. Sementara yang lain tetap enggan menerima bahkan seringkali mencemooh.

Seharusnya apapun yang menghalangi dan merintangi jalan dakwah harus —coba untuk— dilewati. Istilah kerennya, dakwah must go on. Bahkan kita semestinya berpikiran bahwa halangan dalam dakwah adalah satu konsekuensi logis dari perjuangan Islam. Karena sebenarnya kesulitan apapun yang dialami para aktivis dan penggiat dakwah saat ini, tidak ada seberapa persen dari kesulitan yang Rasulullah SAW alami. Mungkin kita bisa belajar dari kisah dakwah Nabi SAW di Mekah (dalam buku-buku sejarah) dan kemudian di kisah Thaif berikut ini.

Dakwah Ke Thaif

Sejak kematian Abu Thalib dan Khadijah Ra. semakin membuat kaum Quraisy bebas menekan Rasulullah Saw. Sebelum kematian Abu Thalib dan Khadijah, kaum Quraisy harus berpikir 2 kali untuk meyiksa Rasulullah SAW karena melihat kedudukan terhormat keduanya di Mekah. Walaupun semasa di Mekah mereka tetap bisa menyiksa Nabi SAW, tapi tidak sebegitu leluasa seperti setelah kematian 2 pembela Nabi SAW ini. Melihat tekanan yang semakin deras menimpa, Rasulullah SAW berpikir untuk melakukan ekspansi dakwah ke daerah lain di luar kota Mekah. Siapa tahu diluar sana ada yang mau menerima dakwahnya dengan baik. Rasulullah SAW pun memutuskan untuk pergi ke kota Thaif.

Rasulullah SAW berharap kabilah Tsaqib yang tinggal di Thaif bisa menerima dakwahnya. Tentu saja bila dakwah sudah diterima mereka akan membantu Nabi SAWmenyebarkan dakwah Islam. Diharapkan lagi mereka bisa loyal dalam membela Nabi SAW. Bila demikian tentu saja perjuangan dakwah bisa semakin mudah dan ringan. Tetapi harapan tinggal harapan, Allahlah yang menentukan. Ternyata ketika Nabi SAW sampai di Thaif, beliau mendapati bahwa pemimpin Quraiys lebih buruk daripada pemimpin Quraisy. Bahkan para pemimpin Thaif menolak dakwah Rasulullah SAW dengan keras seraya mengejek dan menghinanya. Lebih buruk lagi, mereka menyuruh para hamba sahaya dan anak-anak untuk melempari Nabi SAW dengan batu. Hingga di kening Nabi SAW mengucurkan darah. Hingga dikisahkan malaikat marah dan ingin mengancurkan kota itu.

Melihat keadaan yang menyedihkan di kota Thaif ini Rasulullah SAW hanya bisa mengelus dada. Ia ingin mengeluh namun tak tahu harus kemana. Ia ingin curhat dengan seseorang yang bisa menenangkannya, namun Khadijah istrinya telah meninggal dunia. Akhirnya Rasulullah SAW hanya bisa mengadu kepada Allah dengan doanya yang terkenal, “Allahumma Ilaika Asyku Dho’fa Quwwati wa qillata khilati wa hawani ala annasi, ya ar hamurrahimin, anta rabbul mustadafin wa anta Rabbi, Ila Man takilluni? Ila ba’idin yatajahhamuni am ila ‘aduwwin malaktahu amri? In lam yakun bika ghodhobun ‘alayya fala ubali…”

Kemudian Rasulullah SAW kembali ke kota Mekah dengan perlindungan salah satu pemimpin Quraisy yang diam-diam selalu membantu Nabi SAW yaitu Mut’im bin Uday. Mut’im bin Uday pulalah yang mengajak para pemimpin Quraisy lain merobek perjanjian pemboikotan terhadap Bani Manaf dan Bani Muthalib.

Hebatnya dari seorang Nabi SAW adalah, beliau tidak pernah menyerah walau apapun yang terjadi. Perjalanan dakwah memang sangat sulit bahkan terkadang menyakitkan. Namun bukan berarti hal tersbut akan melemahkan atau mematikan. Tetap dan selalu ada jalan keluarnya. Dan inilah yang terjadi kemudian.

Dua Perjanjian Aqobah (Baiatul Aqobah)

Kaum kafir Quraisy tetap pada posisinya dalam menentang Nabi SAW dan dakwahnya ketika Nabi SAW telah kembali ke Mekah. Bahkan dirasakan dari hari ke hari semakin keras dan sering. Maka itu, Nabi SAWmengalihkan perhatian dakwahnya kepada kabilah-kabilah lain yang mengunjungi Ka’bah di setiap musim haji. Suatu ketika di tahun ke-10 kenabiannya (620 M), Nabi SAW bertemu dengan sekelompok orang dari Bani Khazraj yang tinggal di yastrib (Madinah).

Kepada mereka Rasulullah SAW berdakwah, menyampaikan beberapa ayat dari alqur’an dan mengajak mereka masuk Islam. Beliau menymapaikan semua itu dengan lemah lembut, penuh kehangatan. Alhamdulillah 6 orang diantara suku Khazraj itu mau masuk Islam. Bahkan mereka berjanji untuk turut serta menyebarkan agama baru mereka kepada suku mereka di Yastrib.

Di tahun berikutnya, 12 penduduk Yastrib kembali datang ke Mekah untuk bertemu Nabi SAW. Mereka adalah 6 orang yang dulu masuk Islam dan 6 lainnya baru menerima Islam. Mereka mengikat janji pada Rasulullah SAW bahwa akan selalu membantu dakwah Islam. Mereka juga berjanji untuk menjaga dan pembela Islam beserta pemeluknya. Merekapun membaiat (berjanji setia) pada Rasulullah SAW dengan beberpa perkara: 1. Tidak pernah akan menyekutukan Allah 2. Tidak akan pernah mencuri 3. Tidak akan pernah berzina 4. Tidak akan bermaksiat kepada Allah. Dan Rasulullah SAW menjawab baiat mereka dengan mengatakan barangsiapa yang mampu menjaga janji itu maka balasannya adalah surga. Dan jika mereka tidak mampu memegangnya maka urusannya akan kembali pada Allah. Jikalau Allah menginginkan mengadzabnya, atau mengampuninya.

Inilah yang dinamakan Baiatul Aqobatul ula atau perjanjian aqobah pertama karena dilakukan di sebuah tempat bernama Aqobah. Kemudian untuk memuluskan dakwah Nabi SAW mengirimkan Mus’ab bin Umair bersama mereka ke Madinah. Mus’ab berfungsi sebagai dai yang akan membacakan mereka Alquran, mengejari mereka tentang Islam, juga menjadi imam shalat mereka.

Di kota Yastrib, Musab bin Umair menemukan bahwasanya penduduk Yastrib adalah penduduk yang ramah dan lemah lembut. Bahkan hati mereka sangat lunak, pikiran mereka sangat terbuka untuk menerima Islam. Hal itu tidak didapatkan di Mekah. Maka banyak kemudian dari suku Aus dan Khazraj yang masuk Islam. Termasuk didalamnya beberapa pemimpin suku seperti Saad bin Muadz dan Usaid bin Khudoir. Sementara Bani Ashal semuanya masuk Islam. Disebutkan tidaklah satu rumahpun dari suku Aus dan Khazrah kecuali telah termasuki cahaya Islam.

Salah satu penyebab cepatnya penyebaran Islam adalah karena penduduk Yastrib sangat loyal dan percaya kepada pemimpin kaumnya. Sehingga bila pemimpin mereka telah muslim, berbondong-bondong anggota kaumnya mengikutinya. Apalagi sebelum Islam datang mereka sangat bergantung kepada pemimpin yang menyatukan suara dan senjata mereka. Saat itu suku Aus dan Khazraj sudah berperang dalam beberapa tahun.

Hanya dalam waktu setahun saja dari perjanjian Aqobah pertama, datang penduduk Yastrib saat haji untuk turut berbaiat pada Nabi SAW. Sekitar ada 73 laki-laki dan 2 wanita. 62 orang dari suku Khazraj dan sebelas lainnya dari suku Aus. Mereka berkumpul di malam hari dengan sembunyi-sembunyi bersama Nabi SAW di Aqobah. Merekapun berbaiat pada Nabi SAW yang dinamakan Baiatul Aqobah Tsaniyah. Nabi SAW tentu saja tidak menyangka dakwah Islam akan berkembang begitu cepatnya di Yastrib.

Tentunya beliau sadar itu semua adalah pertolongan dari Allah. “sungguh engkau tidak akan mampu memberi hidayah kepada orang yang kau cintai, tapi Allah yang akan memberi hidayah kepada siapa saja yang Ia kehendaki..”

Perjanjian Aqobah kedua ini dikenal pula dengan perjanjian Harb atau perang. Ubadah bin Tsomit berkata, “Kami berbaiat pada Nabi Baiatul Harbi untuk selalu taat dan mendengar Nabi. Dalam waktu sulit dan mudah. Dan tidak pernah akan menyelisihi perintah Rasul. Juga akan selalu berkata yang benar dimanapun kami berada. Dan tidak akan pernah takut untuk berdakwah walau banyak orang yang mencela.” Baiat ini jatuh di sekitar akhir tahun ke 12 masa kenabian Nabi SAW.

Baiat ini dan baiat yang pertama adalah bantuan yang sangat besar bagi dakwah Islam. Bila Mekah menentang keras dakwah Nabi SAW, maka Yastrib kota kedua terbesar di Hijaz menerima Nabi SAW dan dakwahnya dengan tangan terbuka. Bahkan mereka telah bertekad membela Nabi SAW apapun yang akan terjadi. Sungguh Allah akan membantu orang-orang yang bersabar dalam dakwah RisalahNya. Dan sungguh selalu ada jalan keluar bagi orang yang tabah dalam membela agama ini.

Nah, kan betapa dari setiap kesulitan ada kemudahan. Dan pasti setelah kita alami kesulitan akan datang kemudahan. Tinggal apakah kita sabar menjalaninya. Kalau saja Rasulullah SAW menyerah kalah ketika gagal di Thaif apa yang akan terjadi? Kalau saja Rasulullah SAW berhenti dari dakwah maka Islam tidak akan menyinari negri kita ini. Alhamdulillah Rasulullah SAW selalu pantang menyerah.

Maka anda para dai dan aktivis dakwah janganlah pernah menyerah dalam berdakwah. Kokohlah setegar karang. Tabahlah sekuat perjalanan Ikal mencari Aling. Dan pasti anda akan dapatkan jalan dakwah begitu indah.

Arif Kurniawan, Lc