Di malam itu di dalam kereta S Bahn 75 yang membawa saya ke arah Kota Potsdam berhenti di stasiun Berlin Charlottenhof untuk menurunkan dan menaikkan penumpang.
Dalam kondisi letih dan penat saya menyandarkan diri di kursi kereta dengan rasa malas malasan, tak lama masuklah beberapa penumpang melalui pintu di belakang tempat duduk saya. Mereka duduk menyebar. Salah satu dari penumpang itu duduk berhadapan dengan saya. Pada awalnya saya tidak menghiraukan sama sekali terhadap penumpang di hadapan saya ini. Seorang pemuda Jerman dengan bola mata berwarna coklat dan berambut pirang. Begitupun sebaliknya, pemuda itu juga tidak menghiraukan saya.
Tidak berselang lama setelah kereta berjalan, pemuda tersebut mengeluarkan sesuatu dari dalam tas ransel hitamnya. Sebuah benda segi empat mirip buku agenda yang bersampulkan kalp warna coklat dengan dilengkapi restleting. kemudian pemuda tersebut membuka halamannya lalu dua matanya memelototinya.
Saya perhatikan dengan seksama, semakin lama perhatian saya semakin menyakinkan bahwa apa yang sedang di pegang dan di pelototi itu adalah mushaf Al-Qur’an. Supprise bagi saya… Langsung seketika saya pindah tempat duduk persis di depannya. Saya sapa dengan salam, dengan senyum ramah dia menjawab salam dengan lengkap sambil menjulurkan tangannya mengajak bersalaman dan berkenalan.
Dia memperkenalkan diri bernama Karim, usianya sangat belia untuk memeluk Islam. Dia masih duduk di bangku Gymnasium (setingkat SMU). Kekaguman saya tidak berhenti di situ, ternyata dia, selain cakap dalam berbahasa Inggris juga bisa sedikit bercakap dengan bahasa Arab. Masya Allah…
Dari perkenalan dan percakapan saya singkat dengan dia, memberi pesan bahwa seorang muslim harus menunjukkan jati dirinya dan percaya diri dengan keIslamannya. Salah satu bentuk kepercayaan diri pemuda tersebut adalah kepercayaan diri membaca Al-Qur’an di dalam kereta yang penuh penumpang yang non muslim bahkan boleh jadi muslimphobia. Di waktu yang lain ketika saya makan di restoran ayam halal di Berlin, tampak dua orang Jerman yang masih belia ikut antrean di resto tersebut dengan menggunakan kopyah putih, berjenggot panjang, dan memakai baju gamis.
Bahkan ketika berada keramaian pesta rakyat, mereka mengadakan sholat berjamaah dengan di awali suara adzan yang lantang. Tak nampak dari wajah mereka kekawatiran dan perasaan was was. Justru yang nampak dari mereka adalah kebanggaan dengan agama mereka yang baru.
Selain itu bentuk penunjukkan diri bahwa dia adalah seorang muslim yaitu dengan mengganti nama mereka dengan nama yang Islami. Sebut saja seperti nama pemuda di atas yaitu Karim, masih ada lagi beberapa kawan saya mualaf yang asli Jerman (bukan pendatang) yang mengganti namanya menjadi nama Islam, di antara mereka ada yang bernama Abdurahman, Yahya, Abu Bakar, Musa, Aminah, Abdul Aziz, Yunus, Adhnan. Termasuk anak-anak mereka juga di beri nama Islam, seperti Sholih, Abdullah, Muhammad, dll.
Bahkan perasaan bangga dengan nama Islam tersebut sampai-sampai temen saya yang berasal dari negara Eropa Timur bernama Anis ketika saya tanya siapa nama aslinya, maka muka dia nampak kemerahan tanda kurang senang, sambil mengayuhkan tangannya ke arah depan di susul kata-kata, „vergest …!!“ (lupakanlah!!). maksud dia adalah saya di minta untuk melupakan pertanyaan itu.
Beginilah mereka bangga akan keIslamannya, meskipun dari sebuah nama. mungkin ini merupakan respon mereka terhadap hadist Nabi yang menganjurkan untuk memberi nama dengan nama kebaikan atau yang mengandung doa, boleh jadi juga dalam jiwa hanif mereka selalu terngiyang-iyang firman Alloh yang berbunyi: "isyhadu bianna muslimun“ (saksikanlah bahwa saya adalah seorang muslim)
Wallahu a’lam