Sebuah pesantren di daerah Jawa Tengah memberikan cerita hikmah untuk kita semua. Ceritanya dimulai beberapa tahun yang lalu saat pengurus pesantren tersebut tepatnya pemilik pondokan (sebutan sebuah pesantren) memelihara seekor burung beo.
Beo merupakan jenis burung yang paling cerdas menirukan suara-suara manusia selain burung kakak tua. Bertahun-tahun Kiai mengajarkan sebuah kalimat kepada beo itu. Kalimat yang sering kita baca dalam sholat. kalimat tauhid, ”Laillahaillallah Muhammadarrasulullah” terus diajarkan kepada beo. Hingga begitu lancarnya di lafadzkan oleh burung beo.
Selama beberapa lama pondokan diramaikan kalimat tauhid di ucapkan si burung beo. Memberikan suasana dzikir para santri semakin berwarna. Ada kebanggaaan sendiri melihat seekor burung bersuara kalimat tauhid.
Tahun berganti tahun. Suatu pagi kiai memberikan makan seperti biasa untuk beo kebanggaan itu. Ada yang aneh dari beo yang tak seperti biasanya. Lincah, berputar-putar 360 derajat, makan minum dan mengucapkan kalimat tuhid. Kali ini beo begitu lunglai. Diperhatikannya beo oleh Pak Kiai yang semain lama semakin menunduk. Tak berapa lama beo terjatuh dari tenggerannya. ”Plak”. Burung beo terjatuh di dasar sangkar luas itu. Kontan Kiai sedih dan menangis. Sejak saat itu beliau selalu menangis, bahkan saat mengajar.
Beberapa hari tak reda sedihnya. Hal ini membuat santri khawatir akan kondisi Pak Kiai. Suatu hari seluruh santri berkumpul untuk membicarakan solusi agar Kiai tidak lagi bersedih. Mereka sepakat untuk mengumpulkan sebagian uang jajan untuk membelikan seekor beo untuk Pak Kiai. Mereka benar-benar mengira kesedihan Pak Kiai disebabkan matinya beo terdahulu yang sangat di banggakan oleh seluruh seantero pondokan.
Pada suatu pagi seusai sholat subuh berjamaah sebelum kuliah subuh. Perwakilan salah satu santri memberanikan diri untuk berbicara mengutarakan rencana santri se pondokan yang akan mengganti beo yang meninggal dan memberikan uang yang telah terkumpul dan dikira cukup membeli seekor beo.
"Assalamu’alaykum Wr Wb., Afwan Kiai, ana mohon izin berbicara sebelum kuliah subuh dimulai", kata santri itu.
"Silahkan. Apa yang akan kau sampaikan", sambut Kiai.
"Kemarin kami semua berkumpul dan bermusyawarah, bagaiamana mencari solusi agar Kiai tak bersedih lagi, karena beo yang telah mati. Kita bisa menggantinya insya Allah", tambah sang santri.
"Alhamdulillah. Hari ini saya melihat persaudaraan antar santri yang semakin erat. Walaupun kalian dari berbagai suku, tetapi dapat disatukan menjadi saudara dengan balutan Iman kepada Allah. Tidak ada lagi sekat lagi karena golongan darah atau saudara sedarah. Kalian telah menunjukkan persaudaraan kalian didasarkan karena cinta Pada Allah. Subhanallah. Jaga itu", jawab Kiai.
Santri: ????
Santri semakin bingung. Kiai meneruskan ceritanya kenapa dia bersedih.
"Kalian tahu kenapa aku bersedih. Kalian menyaksikan aku mengajarkan kalimat Tauhid (Laillahaillallah….) kepada beo itu bertahun-tahun, dan dia lancar mengucapkannya selama beberapa tahun juga. Tahukah yang sangat membuat sedih hingga kini? Aku sedih karena burung Beo yang telah kuajarkan kalimat tadi ternyata ketika sakaratul maut hanya berbunyi, “Kheeeeek”. Ya itu saja yang di suarakan beo itu", ungkap Kiai.
Padahal aku mengajarkannya bertahun-tahun mengucapkan kalimat tauhid. Inilah yang membuat aku bersedih dan melakukan instropeksi diri. Apakah nanti di penghujung sakaratul maut aku juga akan seperti beo itu. Aku selalu mengajarkan kalimat tauhid dan selalu ber ibadah. "Hari ini aku berpesan kepada kalian semua untuk terus meningkatkan ibadah kita secara sungguh-sungguh. Dan jangan ada penyakit dalam hati kita", tegas Kiai.
Serentak pondokan hening. Seluruhnya menunduk dan menangis tersedu. Beberapa santri berpelukkan dan saling meminta maaf kepada saudara lainnya. Dalam kondisi seperti ini ada satu pertanyaan, “Bagaimana dengan kita semua?”……