Sore tadi saya mengajak Bulan, keponakan saya yang berusia lima tahun ke apotek. Jarak apotek dari rumah hanya sekitar 500 meter, kami naik angkot pergi-pulang. Keponakan saya yang masih duduk di TK A itu termasuk anak yang senang diajak naik kendaraan umum, sebab bisa bersosialisasi dengan sesama penumpang beragam usia dan dandanan. Kadang-kadang jika melihat seseorang yang dimatanya aneh, dia akan cerita sesampainya di rumah, atau berbisik-bisik saat itu juga.
Ketika pulang dari apotek dengan angkot, ada empat penumpang yang sudah berada di dalamnya. Seperti biasa, Bulan berceloteh. Kali itu dia berceloteh tentang kelinci dan hamster yang baru saja dilihatnya di seberang apotek ketika menunggu angkot. Lalu dia berujar ingin memakai kuteks warna hitam. Saya heran, kenapa tiba-tiba ia ingin seperti itu? Kemarin-kemarin dia mencoba pacar kuku warna jingga yang saya belikan di butik Al-Fath. Tapi kenapa dia ingin kukunya dicat hitam? Oooh, setelah saya perhatikan penumpang wanita muda di depan saya memakai kuteks hitam, makanya Bulan tercetus ide itu.
Si wanita muda nampak manja bersandar di badan laki-laki di sisinya. Bulan terus saja memerhartikan mereka. Tiba-tiba, si lelaki mencium tangan si wanita, kemudian keningnya. Bulan, yang selalu berkomentar apa pun yang dilihatnya, apalagi bila bagi dia merupakan kejadian aneh, berbisik di telinga saya. “Iiih, dia itu pacalan, ya?” dengan suaranya yang masih cadel. Karena anak kecil hanya punya norma atau nilai-nilai hitam-putih, maka saya pun meluruskan pendapat anak kecil itu. “Mereka kan suami isteri, jadi boleh dekat-dekatan duduknya dan boleh cium karena ayahnya sayang sama bundanya.” Padahal saya yakin kalau pasangan itu bukan pasangan suami isteri, karena si wanita masih belia, belasan tahun dan mungkin masih sekolah di SLTA, sedangkan laki-lakinya mungkin masih kuliah. Bulan, murid TK Aisyiah tentu akan bingung jika saya terangkan bahwa mereka pacaran di tempat umum dan saling cium.
Belum habis rasa penasaran Bulan, si wanita muda turun, sedangkan si laki-laki tidak. Kontan Bulan berbisik lagi, “Kok ayahnya ditinggal bundanya. Lihat tuh, bundanya tulun sendilian.” Mungkin Bulan ingin bilang, bahwa mereka adalah pasangan kekasih dan bukan suami isteri. Sekali lagi saya tenangkan dia, “Ya, ayahnya mau beli sesuatu dulu kali di sana…” Bulan seolah-olah mengerti sambil memerhatikan si laki-laki, entah apa yang ingin diketahuinya.
Saya pribadi sih, tidak mau campur tangan urusan pribadi orang yang berpacaran. Tapi kalau sampai demonstratif di tempat umum dan ada anak kecil, tentu menjadi risih. Anak-anak yang masih polos akan bertanya-tanya, apakah boleh laki-laki dan perempuan yang belum menikah bebas cium kening atau tanga, yang notabene tidak diperbolehkan oleh agama?
Tayangan-tayangan atau adegan semacam di angkot tadi bukan hal yang baru sebenarnya. Kalau belum muak dengan sinetron-sinetron televisi, perhatikan saja adegan yang lebih seram banyak disuguhkan, bahkan pada jam-jam prime time, di mana anak-anak kecil belum tidur. Kita tak bisa menyalahkan dengan mudah, kenapa orangtuanya menonton acara-acara televisi. Media elektronik TV adalah salah satu media hiburan paling murah yang bisa dinikmati semua kalangan. Dari rumah mewah sampai rumah sempit di kolong jembatan, pesawat televisi sudah menjadi inventaris rumah tangga. Saat kepenatan datang, hiburan layar kacalah yang menjadi nomor urut satu menjadi pilihan rata-rata rumah tangga.
Di sinema elektronik, adegan seks bebas, kumpul kebo, pacaran di usia SMP dan SMA, narkoba, saling menggencet, saling mencaci dan memaki dengan kata-kata kasar, sudah menjadi menu sehari-hari di rumah kita. Karena sudah dianggap biasa, orang-orang awam yang tak pakai filter pun meniru mentah-mentah apa yang mereka lihat di televisi. Kemungkinan besar pasangan kekasih di angkot tadi menganggap, bahwa unjuk kemesraan di tempat umum juga adalah hal yang lumrah dan tak perlu malu-malu.
Okelah, mereka tak malu (atau mungkin memang tak tahu malu?) Tetapi bagaimana dengan anak-anak kecil yang menonton adegan itu? Baik di TV atau di tempat umum?
Andai kedua orang muda itu paham, bahwa kelakuan mereka sudah mendekati zina. Andai para produser dan stasiun televisi sadar, bahwa mereka sedang dalam proses perusakan akal budi anak-anak. Tapi pengandaian-pengandaian itu hanyalah angan-angan. Padahal dalam Al-Qur’an Surat Al-Isro ayat 32 ditegaskan oleh Allah: “Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah sesuatu yang keji dan suatu jalan yang buruk.”
Subhanallah, mendekati saja tak boleh, apalagi jika melakukan? Islam memang agama yang santun dan halus. Sebelum melangkah lebih jauh, Allah SWT sudah menuntun dan mengingatkan agar tidak mendekatinya. Sayangnya banyak orang yang notabene muslim tidak menghiraukan ayat suci tersebut. Semoga Bulan dan anak-anak kecil lainnya akan menyadari bahwa Allah sangat sayang pada umat-Nya sehingga perlu diperingatkan sejak dini.
Wallahu’alam bisawab.
Cipinang, Minggu malam 13 April 2008