Abdullah Ibnu Abbas, w. 68 H, pakar tafsir Al-Qur’an, sepupu Rasulullah, pernah menyatakan bahwa puncak akal itu ada tiga, sebagaimana antara lain tersebut dalam karya Syekh Abu Laits as-Samarqandy (w. 393 H), Tanbihul Ghafilin,
Abdullah ibnu Abbas (dalam kajian tafsir ada tiga nama Abdullah yang terkenal: Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, dan Abdullah bin Mas’ud) ditanya, “Wahai Ibnu Abbas, apakah ‘puncak akal’ (Ra’s al-‘Aql) itu?”
Ibnu Abbas menjawab (tiga hal):
Pertama, ketika seseorang memaafkan orang yang menzaliminya (an ya’fuwa al-rajulu ‘aman dzalamahu);
Kedua, ketika ia merendahkan hati pada orang yang di bawahnya (an yatawadla’a li man dunahu);
Ketiga, ketika ia menimbang pikir kemudian baru berkata (an yatadabbara tsumma yatakallama).
Demikianlah, manusia yang mendayagunakan akalnya dengan proposional akan melahirkan akhlak yang mulia yaitu menjadi sosok pemaaf, rendah hati, dan bijaksana sebagaimana dinyatakan Ibnu Abbas.
Dus, agar manusia senantiasa bahagia jiwanya, ia hendaknya menyeimbangkan pendayagunaan tiga potensi, yaitu akal, emosi, dan hasrat. Akal yang tidak didayagunakan secara baik akan melahirkan manusia yang sombong dan durhaka, emosi yang tidak digunakan dengan baik akan membawa manusia pada kesembronoan tindakan, dan hasrat yang tidak terkendali akan membawa manusia pada pemuasan nafsu kebinatangan.
Keseimbangan potensi akal, emosi, dan hasrat akan membawa manusia pada keutamaan jiwa atau empat kebajikan utama yang meliputi kebijaksanaan, keberanian, keterjagaan diri, dan moderasi ketiga potensi itu akhirnya membawa pada proposionalitas akhlak dan sikap. [ALIF.ID]