Tersisakah Keimanan di Hatimu?

Ketika sedang membahas tentang permasalahan hukum menikahi seorang pezina, beberapa hari lalu di kelas, tiba-tiba dosen yang mengajar berkata (dalam bahasa Arab, yang artinya kurang lebih), “Zina itu aib, makanya ketika seseorang melakukan zina, jangan disebar luaskan berita tentang perbuatannya. Karena, kalau mendengar sekali, mungkin orang merasakan risih dengannya, akan tetapi kalau beritanya tersebar dan berulang-ulang, orang-orang pun akhirnya akan menganggapnya sebagai sesuatu yang biasa. Makanya ada pepatah Arab yang berbunyi: ‘Bila sering terjadi kemaksiatan, maka sensitivitas (hati) pun berkurang. Dan bila sensitivitas berkurang, maka dikhawatirkan akan terjatuh pada kemaksiatan. “

Beliau juga berkata, “Dulu ketika saya baru menginjakkan kaki saya di negeri ini, melihat banyaknya wanita tabarruj (berhias untuk selain suami di muka umum), gelisah rasanya hati ini, tak kuat rasanya tinggal di sini. Karena di negeri saya, tak pernah saya melihat seorang wanita pun kecuali tertutup semua. Akan tetapi, setelah berlalu beberapa waktu di sini, perasaan itu mulai berkurang. Akhirnya timbul ‘toleransi’ sedikit demi sedikit, sampai akhirnya, yang saya lihat itu seakan-akan suatu yang biasa. Kalau dulu awal-awal di sini melihat wanita tabarruj saja, tidak betah, tapi sekarang, jangankan wanita tabarruj, melihat wanita ‘telanjang’ di jalan, pasar dan tempat publik lainnya pun seperti biasa saja. Saya jadi takut atas keimanan saya. Karena kalau rasa benci dan pengingkaran seseorang terhadap kemaksiatan berkurang dan terus berkurang, dikhawatirkan keimanannya akan hilang pula.”

Subhanallah! Meskipun engkau sebutkan borok-borok di negeri kami, saya tidak tersinggung, ustadz. Karena memang demikian adanya. Memang alangkah banyak kemaksiatan di negeri kami. Kami bisa “menikmatinya” di mana-mana: di TV, jalan, pasar, bis kota dan tempat-tempat lainnya. Kita dihadapkan dengan era di mana umbar aurat dan kemaksiatan dengan berbagai bentuknya merupakan suatu yang “lumrah” bahkan menjadi “tren”. Makin sempit dan ketat pakaian, maka makin “modern”, “gaul” dan “trendi”. Makin diumbar kecantikan, maka makin menampakkan “aura positif”. Sebaliknya, makin lebar pakaian, dan makin tertutup postur tubuh, maka makin “kuno”, “jadul” ,makin kembali ke “zaman unta.”

Dan yang dikhawatirkan, bila semua itu telah merajalela di mana-mana, maka orang yang “tak bersalah” pun akan merasakan getahnya. Kalau ia tidak berubah 100% menjadi barisan mereka, setidaknya, sedikit-banyak ia akan terwarnai dengan gaya hidup mereka. Wallahulmusta’an.

Kalau engkau takut, wahai ustadz, dengan keimanan yang ada pada dirimu, karena banyaknya kemaksiatan di sini, apalagi saya tentunya, yang lebih sedikit ilmu dan pengalamannya dibandingmu. Saya pun takut, jangan-jangan keimanan saya hampir menghilang. Bagaimana tidak, setiap hari disuguhi “panorama” orang-orang yang berpakaian “ala kadarnya”, “berpakaian tetapi telanjang” di jalan, di bis kota, seakan-akan tak ada “apa-apa” di hati saya. Saya tak merasakan gejolak darah yang mendidih, hati yang resah, dan badan yang bergetar ketika disajikan pemandangan seperti itu. Astaghfirullah, apakah sudah bebal hati ini? Sungguh, butuh kesabaran ekstra menjaga keimanan di zaman penuh fitnah ini!

Saya berdoa kepada kepada Allah, semoga terus memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada saya agar bisa istiqomah dalam agama-Nya dan teguh dalam menjalankan syariat-Nya. Dan saya juga memohon kepada-Nya agar memenuhi hati ini dengan kecintaan dan ketaatan kepada-Nya dan juga kecemburuan terhadap agama-Nya serta kebencian terhadap segala pelanggaran terhadap syariat-Nya, hingga akhir hayat nanti, hingga malakul maut menghampiri. Amin..

Jakarta, 6 Dzulhijjah 1431/ 12 November 2010
anungumar.wordpress.com