Pernahkah kita membayangkan, dengan tanpa disangka-sangka, mendapatkan rezeki yang sangat melimpah yang tidak didapatkan oleh siapapun selain kita saja?
Atau cobalah bayangkan diri kita yang tadinya ‘bukan siapa-siapa’ lalu tiba-tiba diberi jabatan tinggi yang disegani dan dihormati orang lain di tempat kerja kita atau lingkungan kita, maka bagaimana perasaan kita tatkala itu?
Apa yang akan kita lakukan tatkala itu? Akankah kita menyadari bahwa semua kenikmatan itu berasal dari Allah? Akankah kita bersyukur kepada Allah atas nikmat yang kita rasakan itu? Atau akankah kita tawadhu (rendah hati) terhadap orang lain yang tidak merasakan kenikmatan itu?
Atau yang terjadi malah sebaliknya, kita merasa bahwa kenikmatan yang kita rasakan itu semata-mata buah dari kecerdikan atau kemahiran kita, kita lupa atau pura-pura lupa bahwa kenikmatan itu dari Allah, lalu setelah itu kita pun membusungkan dada di depan orang lain?
Alangkah baiknya kita menengok akhlak yang mulia dari makhluk yang paling mulia, yaitu Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Tatkala kota Mekkah jatuh ke tangan muslimin di suatu hari yang dikenal dengan nama Yaumu Fathi Makkah (hari penaklukan kota Mekah), bergeraklah beliau bersama puluhan ribu pasukan muslimin memasuki kota Mekah. Beliau akan bertemu dengan musuh-musuhnya yang dulu meludahinya, melemparinya dengan kotoran unta, mencekiknya, serta selalu menyakitinya baik dengan lisan maupun perbuatan.
Ketika itu, tidak diragukan lagi beliaulah pemenangnya dan pantaslah beliau ketika itu disebut raja Arab, karena hampir seluruh jazirah Arab di genggaman beliau. Akan tetapi bagaimana sikap beliau ketika itu tatkala memasuki kota Mekah? Beliau memasuki Mekah dalam keadaan tertunduk kepalanya, pandangannya tertuju ke bawah dan dagunya menempel di dadanya karena tawadhu kepada Allah. (Al-Fawaid karya Ibnul Qayyim)
Subhanallah…Demikianlah sikap makhluk yang paling mulia sejagat alam, seorang Nabi, Rasul, ‘raja’ Arab ketika itu…
Karena itu sudah seharusnya kita tawadhu kepada Allah, tidak membusungkan dada atas nikmat yang diperoleh dan sadar bahwa seandainya bukan karena izin Allah dan rahmat-Nya tentu kita tidak akan meraih kenikmatan yang selama ini kita rasakan.
Selain itu, hendaknya kita sadar bahwa di dalam rezeki yang kita dapatkan terdapat hak-hak orang lemah yang membutuhkan.
“Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, (yaitu) bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta).” (QS. Al-Ma’aarij [70] : 24-25)
Karena dengan sebab mereka pula lah Allah memberikan kenikmatan kepada kita . Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Carilah untukku orang-orang lemah, karena sesungguhnya kalian ditolong dan diberi rezeki disebabkan orang-orang lemah di antara kalian.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi dari Abu Darda’ radhiyallahu’anhu)
Dan hendaknya kita juga menjaga perasaan saudara-saudara kita yang belum merasakan kenikmatan yang kita dapatkan sedangkan mereka menyaksikannya. Allah berfirman: "Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik." (Qx. An-Nisaa [4] : 8 )
Ayat ini menyinggung tentang pembagian warisan, yaitu jika sewaktu pembagian warisan dihadiri atau disaksikan kerabat yang tidak mempunyai hak waris, dan juga anak yatim serta orang miskin, maka Allah menuntunkan kita agar memberikan kepada mereka (yang menyaksikan itu) pemberian sekedarnya (dari harta waris) atau bila tak mampu, hendaknya menjelaskan kepada mereka dengan perkataan yang baik dan lembut, agar mereka terhibur dan terjaga perasaan mereka.
Allahu Akbar, alangkah indahnya Islam…
Dan Nabi kita SAW juga bersabda, “Jika salah seorang dari kalian disuguhi makanan oleh pembantunya, maka ajaklah ia untuk makan bersama. Kalau tidak, maka berilah sesuap atau dua suap karena sesungguhnya ia telah merasakan panas masakan itu dan menghirup aromanya.” (HR. Bukhari)
Subhanallah… inilah akhlak mulia yang diajarkan Islam; mengajarkan kita untuk tawadhu, peduli dan memperhatikan perasaan saudara kita.
Mudah-mudahan Allah menganugerahi dan menghiasi hidup kita dengan sifat mulia tadi yaitu tawadhu dan peduli terhadap sesama kita. Aamiin..
Jakarta, 7 Ramadhan 1431/ 17 Agustus 2010