Ia terperangah dengan SMS yang dibacanya. Entah bagai mendapatkan durian runtuh atau justru tertimpa runtuhan durian. “Akhi, ana akhwat.. umur 23 tahun.. tinggi.. ativitas.. Apakah antum berminat menikah dengan ana?” Sedang mimpikah ia? Padahal siang itu matahari sangat terik dan cuaca sedang panas-panasnya. Meskipun tidak sepanas di gurun, namun suhu ketika itu sangat mendukung bagi seseorang untuk sulit memejamkan mata.
Tanpa bersorak dan tanpa pula berjingkrak-jingkrak, ia balas SMS itu sekaligus menanyakan identitas si pengirim sms itu. Setelah berlalu beberapa waktu, entah berapa minggu atau bulan, usut punya usut, selidik punya selidik, akhirnya terkuaklah identitas si pengirim SMS yang sebenarnya. Ia ternyata istrinya sendiri! Ada apa dengan istrinya?
‘Makar’ apa yang ingin ia lakukan terhadap suaminya sendiri? Padahal suaminya seorang yang saleh, baik din dan akhlaknya (dan hanya Allahlah yang lebih berhak menilainya, saya tidak bermaksud mendahului Allah dalam memberikan tazkiyah terhadap seorang pun). Ia juga penuntut ilmu syar’i di suatu universitas dan seorang hafizh Al-Quran 30 Juz, meskipun saya tidak tahu berapa hafalannya yang tersisa setelah menikah.
Dengan kondisinya seperti itu, ditambah padatnya rutinitas dia sehari-hari antara belajar dan mengajar, sangat kecil-menurut saya- peluang baginya untuk ‘ngelirik-lirik’. Kalau begitu, apa yang mendorong si istri ‘merelakan’ suaminya untuk ‘menduakannya’?
Ia memang seorang mahasiswa, bukan PNS atau pengusaha atau orang yang memiliki profesi lain yang ‘menjanjikan’ dari segi finansial. Akan tetapi, bukan berarti ia suami yang tidak bertanggungjawab. Setiap bulan ia tetap memberi nafkah yang ia peroleh dari hasil mengajar kecil-kecilan dan tunjangan dari kampus kepada istri dan satu anaknya yang ada di kampung. Lantas, mengapa si istri ‘berharap’ suaminya ‘melirik’ kepada wanita lain?
Kalau diperhatikan dari hari-hari sebelumnya, selalu ada ‘peperangan’ sengit antara mereka berdua di HP. Kalau hari ini ‘gencatan senjata’, besoknya ada ‘pertempuran’ lagi. Demikianlah. Itu terjadi hampir setiap hari. Sampai-sampai ia bertanya kepada saya, “Apa ana cerain aja dia ya?” Saya sarankan ia agar berkonsultasi saja dengan ustadz.
Datanglah ia ke salah seorang ustadz. Ia ceritakan seluruh masalahnya. Setelah konsultasi, saya tanya apa yang dinasehatkan ustadz kepadanya. Ia menjawab, “Kata ustadz, intinya sih, itu karena dia kurang (maaf) dibelai aja.” Dibelai? Apa korelasinya antara cekcok dengan belaian? Saya tidak yakin dengan saran itu. Saya meragukannya!
Suatu hari ketika sedang membongkar isi lemari buku di rumah, saya menemukan sebuah buku berjudul Mars And Venus On A Date karya John Gray, Ph.D. Entah buku siapa itu, apakah milik orang tua atau kakak. Pandangan saya tiba-tiba melekat di hal. 396 pada judul Mengapa Wanita Membutuhkan Pria.
Di situ penulis menyebutkan perbedaan wanita di masa lalu dan zaman sekarang. Bila di masa lalu seorang wanita benar-benar membutuhkan perlindungan pria dan dukungan fisik darinya, sedangkan sekarang, wanita dapat mengurus dirinya sendiri (ini menurut penulis, mungkin berdasarkan kebiasaan wanita barat, seperti wanita karier), maka kebutuhannya pun berubah.
Penulis berkata, “Wanita tidak lagi membutuhkan pria terutama untuk kelangsungan hidup dan perlindungan, melainkan untuk kenyamanan emosional dan mengemong. Semakin wanita ‘tidak’ membutuhkan pria dalam arti tradisional, semakin butuhlah dia akan perhatian dan kasih sayang pria yang bersifat romantis…Seluruh pemikiran wanita dalam tiga puluh tahun terakhir ini telah berubah secara dramatis. Roman merupakan hal yang paling utama.”
Pikir saya, inikah korelasi antara “belaian” dengan percekcokan itu? Mungkin saja. Karena dari sisi finansial si istri tidak terlalu ‘bergantung’ dengan teman saya itu. Ia juga bekerja di kampungnya (tentunya di tempat yang tidak banyak percampurbauran antara pria dan wanita).
Lalu pandangan saya terpaku lagi di hal. 403 pada judul Penyebab Kemurungan Yang Berbeda. Penulis menyebutkan, “Penyebab utama kemurungan pada wanita adalah merasa terisolasi. Ketika seorang wanita sedang dalam keadaan paling tidak bahagia, itu adalah ketika wanita merasa bahwa ia harus mengerjakan segala-galanya sendiri dan tidak seorang pun yang mendampinginya. Perasaan dibebani tanggung jawab untuk diri sendiri dan untuk orang lain ini menjadi sumber kemurungan.”
Lalu di di halaman berikutnya penulis menyebutkan, “Ironisnya bagi pria adalah sebaliknya. Ketika seorang pria merasa bahwa ia bertanggungjawab untuk dirinya sendiri, ia merasa besar hati tentang dirinya. Ketika ia merasa dapat melayani orang lain, ia semakin merasa besar hati tentang dirinya…Pria senang bila bisa membantu dan ‘dimanfaatkan’ oleh wanita. Sebaliknya, wanita menjadi sedih bila dia terlalu banyak ‘dimanfaatkan’.”
Saya berpikir lagi, mungkinkah ini korelasi antara “belaian” dan percekcokan itu? Sangat mungkin. Si istri mungkin MERASA seluruh beban tanggung jawab rumah tangga di antaranya membesarkan buah hatinya, ditanggung dia sendiri, tanpa ada perhatian suami.
Dan kemungkinan itu makin mendekati kebenaran. Sebab, sebagaimana dikabarkan teman itu kepada saya, setelah ia menyelesaikan studinya lalu berkumpul kembali dengan istrinya, ‘dua faksi’ yang selama ini bertikai, ternyata bisa rukun dan hidup tentram lagi. Dan tentunya, tak ada lagi setelah itu ‘pertempuran’ sengit di HP dan tak ada pula “sms kejutan” yang menawarkan pernikahan.
Benarlah apa yang dikatakan ustadz tadi. Konflik yang menimpanya bermuara dari kurangnya “belaian”, kurangnya perhatian, atau merasa kurang diperhatikan!
Bisa jadi, -wallahu a’lam- sebab itu pulalah mengapa Nabi kita صلى الله عليه وسلم dengan padatnya aktivitas beliau dalam mengurus umat, bila usai shalat Ashr, meluangkan waktu untuk menemui istri-istrinya. Beliau menyempatkan diri untuk mengecup istrinya sebelum menunaikan shalat di masjid. Beliau juga berkumpul dengan para istrinya setiap malam di rumah istri tempat beliau bergilir. Semua itu agar mengharmoniskan hubungan beliau dengan mereka, agar mereka merasa diperhatikan dan tidak diacuhkan!
Mungkin itulah yang perlu dipahami oleh para suami. Sebab jika seorang istri merasa kurang mendapatkan perhatian dari suaminya, bisa saja muncul darinya sesuatu yang ‘aneh bin ajaib’ demi mewujudkan keinginannya: “perhatikanlah aku!”. Entah dengan mengirim “sms kejutan” atau seperti yang dialami salah satu kerabat saya.
Suatu hari istrinya mengeluh sakit perut. Ia muntah-muntah dan terkena semacam diare. Akhirnya si suami membawanya ke rumah sakit. Setelah diperiksa beberapa lama, ternyata tidak ditemukan penyakit apa pun, seluruh badannya normal. Padahal kelihatannya lemah lunglai istrinya itu.
Seorang suster bertanya dengan penuh keheranan kepada si suami, apakah ada masalah sebelumnya. Si suami menjawab bahwa tidak ada masalah apa-apa, hanya saja ia baru berkumpul bersama istri dan anaknya setelah beberapa bulan belakangan disibukkan dengan pekerjaan di luar kota. “Oh, itu mungkin masalahnya, Pak!” demikian komentar suster.
Walhasil, seorang suami memang harus tahu kebutuhan istrinya. Selalu memberikan perhatian serta sabar dalam meladeni tingkah lakunya yang mungkin saja bisa membuat manyun mulut, dahi berkerut, atau malah sakit perut. Itulah konsekuensi pernikahan. Bukan hanya “manis-manisnya” saja yang dirasakan, yang “pahit” pun perlu dicicipi. Makanya itulah ibadah, perlu pengorbanan dan kesabaran!
Jakarta, 15 Rabi’ulawwal 1432/18 Februari 2011