Siang terasa terik, sengatan matahari terasa membakar, maka haus pun tak mungkin dihindari oleh siapapun ketika itu. Tidak pula oleh pria kaya raya itu. Ia panggil tukang kebunnya, seorang pemuda bekas budak dari Khurasan.
“Aku ingin buah delima yang manis,” katanya kepada tukang kebunnya itu. Pemuda itu pun bergegas ke kebun majikannya. Tak berapa lama, datanglah ia membawakan apa yang diminta majikannya. Majikannya pun mencicipinya. Namun, tak diduga, raut wajahnya berubah, seakan ia menahan sesuatu yang menyesakkan tenggorokannya, “Aku minta yang manis, tapi kamu memberiku yang rasanya asam?!” ujarnya emosi. Tukang kebun itu salah bawa. “Bawakan yang manis!” perintahnya lagi.
Pemuda itu pun kembali ke kebun, ia petik beberapa delima, lalu ia sajikan itu kepada majikannya. Namun, kembali, delima yang ia bawa jauh dari yang diangan-angankan oleh majikannya. Delima itu ternyata masam lagi. Ia pun harus mengelus dada untuk kedua kalinya. Majikannya memarahinya lagi.
Kini kali yang ketiga. Majikannya memerintahkannya lagi untuk menyajikan delima yang manis untuknya. Bisa jadi, ini adalah kesempatan terakhir baginya untuk mendapatkan apa yang diidam-idamkan majikannya. Karena kalau tidak… ia pun berusaha mencari dan mencari. Datanglah ia kepada majikannya. Ia sajikan apa yang dibawanya.
Majikannya pun mengambil delima yang tersaji di depannya. Mulutnya menganga, delima itu ia arahkan ke mulutnya, ia letakkan tepat di antara kedua giginya. Ini saat-saat yang menentukan. Apa yang akan terjadi berikutnya? Bagaimana masa depan pekerjaan si tukang kebun itu nanti? Ia gigit delima itu. Dan akhirnya.. Meledaklah kembali emosinya. Bahkan lebih dahsyat dibandingkan sebelumnya. Delima itu kembali masam! “Apa kamu tidak bisa membedakan mana yang manis dengan yang asam?!” bentaknya.
Tukang kebun itu menjawab, “Tidak, saya tidak bisa.” Tercenganglah majikannya. “Bagaimana bisa begitu?!” masih dengan emosi ia bertanya. Tukang kebun itu menjawab, “Karena aku belum pernah mencicipi sedikit pun delima yang ada di kebun ini, makanya aku tidak bisa membedakan mana yang manis dengan yang asam.” Tercenganglah lagi majikannya. Namun ketercengangannya tetap tak bisa menghentikan emosinya. “Lho, kenapa kamu tidak memakannya?!” ia kembali bertanya. Tukang kebun itu menjawab, “Karena Anda tak pernah memberi saya izin untuk mencicipinya.”
Terpegun dan terkesimalah ia mendengar perkataannya. Ia tak menyangka bahwa tukang kebunnya itu sedemikian wara’nya, sehingga bertahun-tahun lamanya bekerja di kebunnya tak satu buah delima pun pernah ia cicipi. Maka berubahlah amarahnya menjadi sebuah kekaguman. Kekaguman yang melahirkan penghargaan terhadapnya.
Suatu waktu ia bertanya kepada tukang kebun itu, “Siapa menurutmu orang yang cocok untuk menikahi putriku?” Ia menjawab, “Orang-orang Jahiliyah menikahkan anak mereka karena pertimbangan kekayaan. Orang Yahudi menikahkan anak mereka karena pertimbangan harta. Orang Nashrani karena pertimbangan keelokan rupa. Sedangkan umat ini menikahkan anak mereka karena pertimbangan agama.” Takjublah ia dengan kata-kata hikmah yang meluncur dari lisan tukang kebun itu. Tidak berapa lama ia pun menikahkannya dengan putrinya.
Dan dari hasil pernikahan inilah lahir seorang anak yang kelak menjadi sosok besar yang membuat sejarah besar di umat ini. Seorang yang dikatakan oleh beberapa salaf, “Seluruh sifat kebaikan di dunia ada padanya, kecuali satu kebaikan (yang tidak ia miliki), yaitu ia bukan sahabat Nabi.” dialah seorang imam, ‘alim, saleh, zahid, faqih, muhaddits, mujahid, mujtahid yaitu Abdullah bin Mubarak rahimahullah.
Perhatikanlah, kesalehan dan kewara’an orang tua ternyata membawa berkah untuk anaknya. Keberkahan yang tidak ternilai dengan harta dan tidak pula oleh jabatan duniawi.
Demikianlah berkah dari kesalehan seseorang, bukan hanya dirasakan oleh pemiliknya saja akan tetapi juga oleh anaknya, bahkan bisa dirasakan pula oleh keturunannya yang jauh di bawahnya.
“Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Rabbmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaan mereka dan mengeluarkan simpanan mereka itu, sebagai rahmat dari Rabbmu. “ (QS. Al-Kahfi [18] : 82)
Ibnu Katsir berkata, “Dalam ayat ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa seorang yang saleh itu, akan dijaga dalam hal keturunannya. Berkah dari ibadahnya akan dirasakan oleh mereka (keturunannya) di dunia dan akhirat melalui syafaat yang ia berikan kepada mereka dan diangkatnya derajat mereka ke tempat tertinggi di surga, agar bergembiralah hatinya. (yang demikian) sebagaimana telah datang penjelasannya dalam Al-Quran dan juga As-Sunnah. Berkata Said bin Jubair dari Ibnu ‘Abbas ia berkata, “Kedua anak yatim itu dijaga Allah dengan sebab kesalehan bapaknya, sedangkan Dia tidak menyebutkan kesalehan keduanya.” (Tafsir ibnu katsir)
Siapa yang dimaksud dengan bapak dari kedua anak yatim yang mendapatkan berkah dari kesalehan orangtuanya itu? Ibnu Katsir menyebutkan bahwa yang dimaksud bapak yang saleh pada ayat di atas adalah bapak mereka yang ketujuh! Yaitu bapak dari bapak dari bapak dari bapak dari bapak dari bapak dari bapak kedua anak yatim itu (leluhur mereka)!
Maka, wahai para Bapak Ibu, dan calon Bapak Ibu, Aba wal Ummahat, bukankah kalian menghendaki buah hati kalian kelak menjadi orang-orang saleh dan shalihah, diliputi berkah dan rahmat dari Allah, menjadi tutur baik orang-orang di dunia dan akhirat, yang senantiasa berbakti kepada kalian tatkala hidup dan mendoakan kalian setelah maut menjemput?
Kalau kalian menghendaki demikian, maka perbaikilah diri kalian, iltizam-lah terhadap perintah syariat dan jauhilah kemurkaan-Nya. Jadilah orang-orang yang saleh dan shalihah, niscaya Allah jaga kalian, memberkahi kesalehan kalian meninggikan derajat kalian dan juga anak kalian serta keturunan kalian…
Akan tetapi, yang perlu ditangisi adalah, betapa banyak mata kita melihat apa yang Allah haramkan. Betapa banyak lisan kita melanggar kehormatan saudara seiman. Betapa banyak telinga kita mendengarkan ‘suara-suara’ selain kalamullah. Entah sudah berapa banyak acara televisi yang membekas di hati kita. Berapa banyak musik-musik syaithan yang menggurat di hati kita. Berapa banyak adab-adab terhadap lawan jenis kita abaikan. Berapa banyak ibadah yang kita lalaikan.
Alangkah seringnya dosa kita lakukan. Alangkah jarangnya amal saleh kita lakukan.
Sungguh, kemaksiatan di zaman ini seakan mendarah daging pada tubuh kita. Sungguh fitnah duniawi seolah telah memasuki relung hati kita, menjerat dan menguasainya. Sungguh, hati kita sakit atau sekarat!
Aduhai, akankah bunga harum nan rupawan tumbuh dari dahan lapuk, tangkai rusak dan daun yang membusuk?
Ibnul Qayyim berkata, “Seorang ulama salaf berkata, ‘Sesungguhnya aku bermaksiat kepada Allah, maka akupun lihat pengaruhnya pada perilaku binatang dan istriku’.” (Jawabul kafi)
Jakarta, 29 Rabi’uttsani 1432/3 April 2011