Mencari Kebebasan

Mereka berjalan berombongan. Berpakaian dan bercelana ketat yang penuh dengan tambalan dan robekan. Sangat kumal dan kotor penampilan mereka. Entah sudah berapa bulan (atau berapa tahun) mereka tidak mandi. Makanya jangan tanya aromanya bagaimana, karena nyamuk pun mungkin enggan dekat dengan mereka.

Rambut mereka berwarna-warni dan berdiri kaku. Kalau diumpamakan seperti sapu tentu tidak sepenuhnya salah. Di telinga mereka menempel anting besar, tidak tahu saya, apakah itu dari besi atau dari perak, yang jelas saking besarnya mungkin cukup untuk melempar anjing sampai kesakitan atau pingsan. Dan tidak lupa juga, tato yang ada di sekujur tubuh mereka menambah lengkap ‘perhiasan’ mereka.

Tahukah Anda siapa mereka? Kalau Anda adalah orang yang tinggal di pelosok desa, apalagi yang terpencil, saya minta maaf, mungkin saya salah alamat. Sebab kemungkinan besar Anda tidak pernah menjumpai orang-orang seperti itu atau Anda akan salah paham dan ‘menuduh’ mereka dengan yang ‘bukan-bukan’: “Wong edan”, “gila”, “sinting”, dan berbagai label negatif yang akan disematkan untuk mereka. Mereka tidak sejauh itu, walaupun mirip.

Mereka lebih ‘sopan’ dibandingkan yang Anda duga. Ini bisa kita lihat dari gerak-gerik mereka. Ketika mereka ‘meminta bantuan’ , contohnya, mereka ‘berbasa-basi’ dahulu, entah dengan bernyanyi atau ‘berorasi’ , meskipun tidak jelas apa maksud nyanyian dan ‘orasi’ mereka bagi yang mendengar.

Jadi, mereka bukan termasuk orang-orang yang gagal dalam perebutan pilkada tahun lalu sehingga perlu pemulihan mental. Bukan pula orang-orang yang kabur dari Rumah Sakit Jiwa sehingga perlu dikarantinakan lagi. Dan bukan juga korban dari kerasnya himpitan ekonomi sehingga membuat mereka ‘zuhud’ seperti itu. Mereka tidak ‘sakit’, mereka ‘sepenuh hati’ mengambil jalan hidup seperti itu. Merekalah yang sering dan lazim disebut Punkers.

Sebenarnya apa sih yang mendorong mereka berpenampilan eksentrik seperti itu? Pertanyaan itu pernah ada di pikiran saya pada beberapa tahun lalu. Saya sudah lupa atau melupakannya. Sampai ketika saya melihat acara Jejak Malam di sebuah televisi swasta, baru tahulah saya apa itu orientasi ‘perjuangan’ mereka. Mereka rupanya mencari dan menginginkan kebebasan. Lantas apa maksud dari kebebasan yang mereka ‘perjuangkan’ itu?

Ternyata kebebasan yang mereka maksudkan itu tidak jelas definisi dan batasannya. Apakah maksud dari kebebasan itu adalah kebebasan dari segala aturan yang membatasi, baik itu agama maupun tata tertib masyarakat? Ya, itu yang saya yakini tentang mereka dan ternyata diamini pula oleh orang-orang yang pernah menjadi ‘jamaah’ mereka.

Berdasarkan pengakuan salah seorang bekas anggota komunitas Punk, sebagaimana ditayangkan televisi, kebebasan yang mereka ‘perjuangkan’ memang kebebasan yang absolut, tidak terbatas. Makanya ‘wajar’ seumur hidup tak pernah saya melihat seorang “punker sejati” shalat, atau membaca Al-Quran atau ibadah lainnya yang tentu saja akan ‘mengekang’ kebebasan mereka.

Tapi bagaimana kalau ternyata ada seorang punker yang shalat dan baca Al-Quran? Ada 2 kemungkinan: bisa jadi dia bukan seorang punker lagi, karena telah ‘murtad’ dari punk, atau ‘keimanannya’ terhadap punk telah luntur, sehingga tak bisa lagi disematkan untuknya “punker sejati”.

Termasuk yang diangkat dari tayangan semalam adalah tentang “kemandirian punkers”. Termasuk dari karakteristik punker sejati adalah “kemandirian”. Lantas “kemandirian” seperti apa yang diusung para punker itu? Ini pun tidak jelas.

Apakah maksudnya mandiri karena sudah bisa menghidupi diri sendiri dengan aktivitas sehari-hari yaitu ‘menghibur’ orang-orang dengan nyanyian dan ‘orasi’ dari satu tempat ke tempat lain dan dari satu bis ke bis lain tanpa tujuan yang jelas? Atau yang dimaksudkan mandiri di sini karena mereka tidak dibiayai atau tidak membutuhkan biaya lagi dari pihak keluarga setelah mengambil jalan hidup mereka ini, akan tetapi ‘dibiayai’ orang-orang di bis dan di tempat yang mereka singgahi?

Mungkin ada baiknya ditanyakan kepada pakar bahasa apa itu definisi kemandirian. Atau ditanyakan kepada Depsos atau Depnaker serta instansi terkait, apakah yang dilakukan ‘jamaah’ punker selama ini mencerminkan kemandirian atau bukan. Atau kalau mereka tidak bisa juga menjelaskannya coba tanyakan hal itu kepada tukang ojek, tukang sayur, dan wong cilik lainnya yang sehari-hari mereka banting tulang dan peras keringat dalam rangka menghidupi diri dan keluarga mereka. Siapa tahu mereka lebih paham tentang makna kemandirian.

Bagi para punker, kehidupan yang mereka jalani adalah suatu kenikmatan, karena mereka merasa mendapatkan kebebasan, akan tetapi apakah itu suatu kebahagiaan? Ketika mereka “bebas”, ”lepas” dari ikatan apa saja, apakah semua itu berarti membawa ketenangan dan kedamaian hati? Tentu saja itu bagaikan punduk merindukan bulan.

Makin diumbar hawa nafsu (atau yang diistilahkan oleh para punker sebagai “kebebasan” ), maka makin terasa hambarlah “kenikmatan” yang dirasakan. Sehingga selanjutnya, ketika “kenikmatan” itu sudah mencapai titik kulminasinya, yang terasa bukan lagi “kenikmatan”, akan tetapi kejenuhan, kemurungan dan kegelisahan yang menyempitkan hati dan menyesakan dada.

Kalau orang sudah mencapai keadaan ini, maka sudah ‘terlambat’ untuk menyelamatkan diri darinya. Ia terlanjur kecanduan. Semakin ia berusaha untuk melepaskan diri dari jeratan ini, makin terasa deritanya. Namun jika ia tetap dalam keadaan seperti ini, ia pun menderita juga, karena sudah tidak merasakan “kenikmatan” lagi. Wal’iyadzubillah. Demikianlah yang diterangkan oleh Imam Ibnul Qayyim, dalam beberapa buku beliau.

“Dan siapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (Qs. Thaha [20] : 124)

Ketika seorang berpaling dari panggilan ilahi, peringatan-Nya, lalu ia menuruti hawa nafsunya, maka kehidupannya pasti akan terasa sempit. Sesak dadanya dan gundah hatinya. Kadang itu memang tidak tampak di luar, akan tetapi sedikit-banyak pasti dirasakan hatinya, tergantung seberapa banyak keberpalingannya dari aturan ilahi dan seberapa sering ia memperturutkan hawa nafsunya.

Walaupun ia terlihat tertawa, sebenarnya hatinya menangis. Walaupun raganya ‘bebas’, tetapi jiwanya justru terasa terpenjara dan terkucilkan.

Maka, tak ada kebahagiaan hakiki kecuali dalam naungan ketaatan kepada-Nya.

Jakarta, 15 Dzulqa’dah 1431/23 Oktober 2010

anungumar.wordpress.com