Setelah menempuh perjalanan yang panjang dan melelahkan, akhirnya sampailah ia ke tempat yang dituju. Tak sabar lagi baginya untuk segera menemui orang yang selama ini ia cari. Sosok yang selama ini membuat kagum orang-orang di kampungnya.
Kini ia sudah di hadapannya. Ia ajukan beberapa pertanyaan yang dititip orang-orang di kampungnya. Tapi, apa hendak di kata, dari enam puluh sekian pertanyaan yang dibawa, ia cuma bisa menjawab tiga pertanyaan. Sedangkan sisanya, hanya dijawab, “Allahu a’lam (Allahlah Yang Maha Tahu).” Ia pun kecewa. Sosok yang yang selama ini dielu-elukan orang-orang di kampungnya ternyata seperti ini keadaannya. Ia pun berkata, “Anda adalah Imam Malik, tapi Anda berkata, ‘Saya tidak tahu?! ”
Dalam riwayat lain: ‘’Anda adalah Malik bin Anas. Orang-orang naik unta untuk menemui Anda. Dan mereka datang dari segala penjuru ke tempat Anda. Lalu Anda mengatakan : Allahu a’lam?! Lantas apa yang harus kukatakan kepada orang-orang di negeriku jika aku kembali kepada mereka?! ‘’ Beliau menjawab, ’’Katakan kepada mereka bahwa Malik mengatakan, ‘Allahu a’lam,’’
Siapa yang tidak kenal dengan Malik bin Anas? Seorang imam besar dari darulhijrah (negeri tempat berhijrahnya Nabi kita), yaitu Madinah Nabawiyyah. Seorang yang namanya tercatat sebagai sosok besar yang mengisi lembaran sejarah umat islam. Seorang ‘alim yang disegani dan tidak diragukan lagi keilmuannya. Namun, dengan kebesaran dan ketinggian posisi yang disandangnya, beliau tak gengsi dan tak malu untuk menjawab, “ Saya tidak tahu” tatkala ditanya tentang sesuatu yang beliau tak tahu jawabannya.
Alangkah tawadhunya beliau. Di sini beliau mengajarkan kepada kita tentang sikap rendah hati dan juga adab penting yang sangat berharga. Yaitu adab berbicara tentang perkara yang tidak kita ketahui. Beliau mengajarkan bahwa hendaknya kita tidak berbicara kecuali dalam hal yang kita ketahui dan menutup mulut serta mengunci lisan kita dari perkara yang tidak kita ketahui. Bahkan, yang demikian pernah beliau ucapkan dengan jelas melalui lisannya. Beliau berkata, “Hendaklah seseorang tidak berkata kecuali dalam perkara yang ia kuasai. “ (Ma’alim Fi Thariqi Thalabil’ilmi karya DR. Abdul’Aziz As-Sadhan hal. 209)
Dan sebenarnya, adab itu pula yang Allah عز وجل tuntunkan kepada Nabi kita صلى الله عليه وسلم:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. ” (QS. Al-Isra: 36)
Sahabat Nabi yang mulia, Ibnu Mas’ud رضي الله عنه pun menegaskan yang demikian. Ia berkata, “Wahai sekalian manusia, siapa yang mengetahui tentang sesuatu, sampaikanlah. Dan jika tak tahu, ucapkanlah, ‘Allahu a’lam’. Karena, sungguh, termasuk bagian dari ilmu, jika engkau mengucapkan terhadap sesuatu yang tidak kau ketahui dengan ucapan: ‘Allahu a’lam’. Allah berfirman kepada Nabi-Nya: ‘Katakanlah (hai Rasul): ‘Aku tidak meminta upah sedikit pun pada kalian atas dakwahku dan bukanlah Aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan. ” (QS. Shad: 86) (HR. Bukhari no. 4531)
Demikianlah Allah عز وجل membimbing Nabi kita صلى الله عليه وسلم. Dia عز وجل melarang Rasul-Nya untuk lancang berucap dan bertindak tanpa petunjuk wahyu. Maka beliau pun tunduk mematuhi-Nya. Imam Malik berkata, “Rasulullah sebagai imam bagi kaum muslimin dan pemimpin para Nabi, ketika ditanya tentang sesuatu tidaklah beliau menjawab sampai datang kepadanya wahyu dari langit. ” (Ma’alim Fi Thariqi Thalabil’ilmi hal. 207)
Kalau begitu, sulitkah kita menahan lisan ini untuk tidak berbicara tentang sesuatu yang tidak kita ketahui? Terasa beratkah mulut ini untuk mengatakan, “Allahu a’lam”? Terasa kelukah lidah ini untuk mengucapkan, “Saya tidak tahu”? Padahal, jika itu yang meluncur dari lisan kita, bukanlah suatu aib dan cela, kalau memang muncul dari ketidaktahuan. Yang demikian itu tak akan mengurangi kedudukan dan kehormatan kita, dan tidak pula merendahkannya, apalagi menjatuhkannya.
Ibnu Jama’ah berkata, “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya ucapan seseorang yang menjawab, ‘Saya tidak tahu’, tidaklah mengurangi kemuliaannya-sebagaimana itulah anggapan orang-orang bodoh-namun justru mengangkat posisinya. Sebab, itu bukti yang menunjukkan betapa agung kedudukannya, kuat agamanya, betapa bertakwanya ia terhadap Rabbnya, bersih hatinya dan sempurna pengetahuannya serta baik tatsabut (ketelitian)nya. ”
Lalu Ibnu Jamaah juga berkata, “Dan tidaklah menyombongkan diri dari mengucapkan, ‘Saya tidak tahu’ melainkan ia orang yang lemah agamanya dan rendah pengetahuannya. Sebab, ia takut kedudukannya jatuh di pandangan manusia. Dan ini (tentu saja) suatu kebodohan dan kelemahan dalam beragama. Sebab, bisa jadi kesalahannya akan tersebar di tengah khalayak, sehingga ia pun jatuh pada masalah yang sebenarnya ia ingin lari darinya dan tercap di sisi mereka dengan cap yang sebenarnya ia ingin menjauhinya.” (Ma’alim Fi Thariqi Thalabil’ilmi hal. 205-206)
Demikianlah adab penting yang perlu kita pegang teguh dan kita gigit erat-erat dengan gigi geraham kita. Karena, berbicara tentang sesuatu tanpa ilmu, bukan hanya tak berguna, melainkan akan merusak pula kehormatan kita. Sebab, terbongkarlah kelak kebodohan dan kecerobohan kita di hadapan orang-orang.
Itu dalam masalah dunia, apalagi dalam masalah agama. Bahayanya lebih besar lagi. Karena, selain itu merupakan perkataan tanpa ilmu, teranggap pula sebagai kedustaan atas nama Allah. Sebuah kriminalitas besar!
“Katakanlah: ‘Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kalian ketahui.” (QS. Al-A’raaf: 33)
Ibnul Qayyim dalam I’lamul Muwaqq’iin menerangkan bahwa dalam ayat ini, Allah menyebutkan lima perkara terlarang secara berurutan. Dimulai dari yang rendah tingkat keharamannya yaitu perbuatan keji dan diakhiri dengan yang paling besar keharamannya, yaitu “mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kalian ketahui.”
Wallahi, alangkah dahsyat bahaya ini, sampai-sampai Al-Qasim dan Ibnu Sirin berkata, “Sungguh seandainya seseorang mati dalam keadaan bodoh, lebih baik baginya daripada ia berbicara tentang sesuatu yang tidak ia ketahui. “(Ma’alim Fi Thariqi Thalabil’ilmi hal. 208)
Maka, tak ada gunanya berpura-pura ‘alim di hadapan manusia. Tak ada faidahnya memaksa diri berkata dan berkomentar tentang hal yang tidak dikuasai. Hendaknya kita tawadhu. Hendaknya mengaca, siapa kita ini? Seorang imam besar dan mujtahid kah?
Tapi, kalau melihat fenomena di akhir zaman ini, terasa sesaklah dada. Berapa banyak orang yang baru mengenal satu dua ayat dan hadits sudah diustadzkan, menjadi dai, lalu berbicara panjang lebar tentang perkara pelik dalam agama. Ketika ditanya, tidak bisa menyebutkan sandaran hukum yang jelas dari jawaban mereka, entah itu dari Al-Quran atau As-Sunnah atau atsar para sahabat. Jawaban yang terasa kering dan kurang bermakna. Dan cerdiknya, kelemahan yang ada bisa ditutup dengan berbagai trik, entah dengan kepintaran memutar kata atau dengan guyonan. Akhirnya, umat tak mereguk apapun kecuali retorika dan canda tawa.
Ada lagi yang dengan bekal membaca satu atau dua buku (itu pun terjemahan) sudah berani berbicara tentang perkara besar dalam agama. Berkomentar dengan penuh keberanian tentang syariat, “Hukum Islam itu bukan sebuah sistem hukum yang padu, itu cuma polemik berkepanjangan yang dilakukan oleh para ulama terdahulu! “ sedangkan ia tidak memakai jilbab!
Apa jadinya umat ini kalau yang seperti itu banyak terjadi? Di manakah ketawadhuan itu? Di manakah adab dan pengagungan terhadap Allah عز وجل?
Hendaknya kita takut kepada Allah عز وجل. Hendaknya kita beradab kepada-Nya. Hendaknya kita sadar bahwa bisa saja karena satu kalimat yang telah terucapkan, ternyata itu mencampakkan kita ke dalam kesengsaraan yang tak tertahankan.
“Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan satu kalimat yang dia tidak tahu apakah itu benar atau tidak ternyata itu menjerumuskannya ke dalam neraka melebihi jarak antara timur dan barat. (HR. Bukhari no. 6477 dan Muslim no. 2988)
Jakarta, 4 Ramadhan 1432/4 Agustus 2011