"Pokoknya ana mau ta’adud (poligami) nih, Dul." Dengan wajah berseri-seri ia ucapkan kembali perkataan yang ia ulang-ulang selama beberapa hari sebelumnya. "Semangat amat sih ta’adud…" saya menimpali ucapannya dengan sedikit bosan. "Antum sih nggak ngerasain, kalau udah kayak ana gini mah (setelah nikah beberapa lama), bawaannya nggak puas cuman istri satu, apalagi istri ana, ah… hitem! "
Tercenganglah saya. Awal ucapannya sih, saya maklumi. Namun akhir kata-katanya itu lho, membuat telinga jadi panas. Kalau mau poligami kenapa harus menyebutkan ‘aib’ istrinya segala di hadapan orang lain?!
Ada lagi seseorang yang berkata entah kenapa, "Istri doyan banget makan. Keluarganya juga mirip kayak dia, banyak makan. Makanya badannya pada bengkak-bengkak [baca: gemuk], pantes aja nggak pada laku." Ada lagi yang berkata dengan ‘berapi-api’, "Ah, dia orangnya manja!" ,"Udah jadi akhwat tapi kayak orang awam! "
Apa maksud dengan perkataan itu semua? Curhat? Curhat sih sah-sah saja, tapi kenapa harus disebutkan pula ‘aib-aib’ seseorang? Apakah orang yang dibicarakan itu rela bila mendengarnya?
Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, "Tahukah kalian apa itu ghibah? Para shahabat menjawab, "Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui. Beliau berkata, "(Ghibah) yaitu engkau menyebutkan tentang saudaramu apa yang ia benci. " (HR.Muslim)
Tidakkah tahu bahwa seluruh perkataan manusia dicatat oleh Raqib ‘Atid?
"Tiada suatu ucapanpun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir." (Qs. Qaaf [50] : 18)
Sadarkah, bisa jadi dengan ucapan ‘ringan’ seperti itu bisa mencampakkannya ke dalam neraka sejauh timur dan barat? "Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan satu kalimat yang dia tidak tahu apakah itu benar atau tidak ternyata itu menjerumuskannya ke dalam neraka melebihi jarak antara timur dan barat." (HR. Bukhari No. 6477 dan Muslim No. 2988)
Terlupakan kah apa yang dikabarkan Nabi SAW kita, "Tatkala aku diangkat ke langit (Mi’raj), aku melewati suatu kaum yang mencakar wajah dan dada mereka dengan kuku mereka yang terbuat dari tembaga. Aku berkata, ‘Siapa mereka wahai Jibril? ‘ Ia menjawab, ‘Merekalah orang-orang yang memakan daging manusia (ghibah) dan menjatuhkan kehormatan mereka." (HR. Abu Daud No. 4878)
Kalau menggunjing orang lain saja terlarang dalam Islam, lantas apakah boleh menggunjing orang terdekat yang masih dalam satu ikatan, satu atap, dan satu… yaitu pasangannya?
Lho, yang kami sampaikan kan, apa adanya, tidak ditambah dan tidak dikurang, ia memang hitam, doyan makan, manja, kayak orang awam?!
Justru itulah hakikat ghibah sebenarnya. "(Ghibah)Yaitu engkau menyebutkan tentang saudaramu apa yang ia benci. Ada yang bertanya, ‘Bagaimana kalau kenyataannya memang seperti yang saya katakan?’ Rasulullah bersabda, ‘Kalau yang kau katakan sesuai dengan kenyataan, maka kamu telah mengghibahinya. Akan tetapi jika tidak sesuai dengan kenyataan sebenarnya, maka engkau telah berdusta atasnya’." (HR.Muslim No. 2589)
Oh, kami paham kok tentang ghibah. Yang kami lakukan itu ghibah yang diperbolehkan, karena tujuannya untuk menyelesaikan masalah dan menghentikan konflik. Apa itu terlarang?
Kalau memang itu termasuk ghibah yang diperbolehkan, untuk menyelesaikan konflik, lantas apakah harus didengar semua orang? Apakah tidak cukup orang-orang terdekat yang bijak dan berilmu saja yang mendengarkan unek-unek itu? Beratkah seandainya curhat itu disampaikan hanya kepada orang-orang yang berkompeten saja? Begitu susahkah menutup konflik hingga tak perlu sampai ke luar rumah?
Rasulullah صلى الله عليه وسلم dengan posisi beliau yang mulia, tetap saja rumah tangga beliau tak luput dari badai konfik. Akan tetapi pernahkah Rasulullah صلى الله عليه وسلم curhat kepada setiap shahabatnya tentang permasalahan rumah tangga beliau? Adakah orang yang mengetahui bila konflik sedang terjadi di rumah Nabi SAW ketika itu?
Tak ada yang tahu kecuali orang-orang terdekat dengan beliau (istri-istri Nabi) dan beberapa gelintir shahabat yang memiliki hubungan dengan rumah tangga beliau, seperti Abu Bakar dan Umar رضي الله عنهما, yang tidak lain adalah mertua beliau juga (bapak dari Aisyah dan Hafshah ).
Sedangkan para shahabat lainnya, mereka tidak mengetahui konflik terjadi pada rumah tangga Nabi kecuali setelah Allah turunkan wahyu tentang itu. Seperti turunnya surat At-Tahrim, itu terjadi setelah munculnya konflik antara beliau dengan Aisyah dan Hafshah.
Atau mereka (para shahabat) mengetahui bahwa konflik pernah terjadi di rumah Nabi SAW, sepeninggal wafatnya beliau melalui lisan para istrinya yang menceritakan hal tersebut karena adanya maslahat tertentu (seperti menjelaskan hukum-hukum syar’i yang terdapat di dalam konflik tersebut).
Kalau begitu, adakah lagi alasan untuk membongkar ‘aib’ di dalam rumah tangga sendiri, lalu ‘mempublikasikannya’ ke luar?
Ya, tak ada lagi alasan untuk itu. Saya yakin hadits-hadits di atas cukup untuk mematahkan lalu merontokkan hujah-hujah lemah tadi. Akan tetapi jika mereka ‘menyerang’, "Antum ngomong sih gampang, coba rasain setelah nikah!" barulah saya angkat tangan, saya akui mereka ‘menang’, saya pun bungkam.
Jakarta, 3 Rabi’ulawwal 1432/6 Februari 2011