Imam Asy-Syafi’i berkata, “Siapa yang hafal syair, akan lembut perangainya. ” Atsar itu pernah disampaikan seorang dosen beberapa tahun lalu. Entah, mungkin itulah yang membuat saya akhir-akhir ini semangat baca syair, sajak dan puisi .
Memang ada kenikmatan tersendiri membaca beberapa karya sastra itu. Hati sering terasa terbawa oleh perasaan yang diungkapkan penyair atau penyajak dalam tulisannya. Kalau ia mengungkapkan kegembiraannya, hati pun seolah-olah ikut gembira. Bila ia mengungkapkan kesedihannya, hati pun seakan-akan ikut merasakan kesedihannya.
Namun, ketika sedang asyik-asyiknya menyelam dan menikmati beberapa karya sastra itu, tiba-tiba ada yang terkalang di mata dan terganjal di hati. Ada beberapa keganjilan dalam beberapa tulisan (terutama, syair, puisi dan sajak yang bertema percintaan) yang bisa menghilangkan atau mengurangi keindahan karya-karya sastra itu. Keganjilan itu mungkin sudah dianggap “biasa” bagi orang zaman sekarang, tapi belum tentu “biasa” bagi syariat.
Aku hidup untuk merindukanmu..
Semua yang ku lakukan hanya untukmu…
Karena kau segala-galanya bagiku..
Pada dua persimpangan laluan jalan hidup ku ini, aku cuma ada dua pilihan, hidup untuk terus mencintaimu atau mati !
Siang hingga malam tak terasa. Di fikirku hanya satu. Di anganku hanya satu. Dirinya..
Setiap detik detik waktuku selalu mengingat dirimu…entah mengapa…..
Tuhan telah mati, sejak aku mencintaimu!
Ada lagi perkataan-perkataan semisal yang saya dapatkan di internet. Intinya semua itu menggambarkan tentang gelora cinta yang (mungkin) dirasakan si penulis kepada orang yang ia cintai.
Rasa tertarik dan cinta terhadap makhluk (di antaranya lawan jenis) memang termasuk fitrah yang Allah tanamkan pada hati setiap anak Adam dan Hawa. Kadang ia datang tanpa diundang dan kadang tidak ditemui dengan dicari-cari. Walaupun lisan dan perbuatan mendustakan, jika cinta telah menyapa, hati tidak bisa ditipu. Sedikit-banyak, datang dan perginya cinta pasti memberikan warna dalam kehidupan orang yang merasakannya.
Kalau memang cinta kepada makhluk itu sesuatu yang fitri, anugerah dari Allah, maka sudah seharusnya seorang hamba menempatkan sesuatu yang fitri ini sesuai proporsinya, tidak berlebihan dan tidak pula mengurangi sehingga keluar dari batas fitrahnya itu sendiri.
Ketika seseorang menyadari bahwa eksistensi kehidupannya di dunia adalah milik Allah dan hanya untuk beribadah kepada-Nya, maka otomatis ia pun (seharusnya) menyadari bahwa cintanya pun semata-mata untuk-Nya. Adapun cinta kepada selain-Nya, ia tempatkan di bawah cinta kepada-Nya dan dalam kerangka cinta kepada-Nya. Maka, kecintaan kepada-Nya lah yang seharusnya diprioritaskan dan direalisasikan dengan perkataan dan perbuatan.
Demikian seharusnya. Namun, apa jadinya jika lisan ini menyatakan bahwa “si dia” lah yang menjadi “segala-galanya” bagi kita?
Dan apa jadinya jika hidup kita yang Allah firmankan untuk beribadah kepada-Nya digantikan “hidup untuk merindukan” “si dia” dan “Semua yang ku lakukan hanya untuk” “si dia”?
Bagaimana pula “Hidup untuk terus mencintaimu atau mati ! yang semestinya dipersembahkan kepada Dzat yang telah menciptakan dan mengaruniakan berbagai kenikmatan kepada kita, namun ternyata ditujukan kepada seorang makhluk yang tak memiliki andil dalam penciptaan dan penjagaan hidup kita sama sekali?!
Dan jika “Di fikirku hanya satu. Di anganku hanya satu. Dirinya” dan “Setiap detik-detik waktuku selalu mengingat dirinya”, lantas dimana Allah di hati ini? Di mana Allah dalam kesehari-harian kita? Apakah karena “Tuhan telah mati” sehingga tak ada di benak ini kecuali sosok “si dia” dan bayangannya?!
Suatu hari ada seseorang yang berkata kepada Rasulullah, “Maa syaa Allah WA syi’ta (atas kehendak Allah DAN kehendakmu) “ beliau langsung menegur, “Apakah kamu ingin menjadikan aku sebagai tandingan Allah? seharusnya katakanlah, ‘Atas kehendak Allah semata!” (HR. An-Nasai: 2117)
Kalau menyandingkan kehendak Allah dengan kehendak Nabi dalam lafazh (yaitu dengan kata penghubung “dan”) saja, dianggap sebagai membuat tandingan untuk Allah, yang tentunya itu merupakan kemungkaran besar, lantas bagaimana jika menjadikan “hidup, kerinduan, mati, waktu, detik demi detik” hanya untuk “si dia”?! Allah memang tidak disandingkan, akan tetapi dinafikan sama sekali!
Kecintaan yang berlebihan terhadap seseorang memang berbahaya dan membawa malapetaka. Ibnul Qayyim dalam beberapa kitabnya menjelaskan bahwa panah asmara itu seperti khamr. Sebab bisa membuat jiwa mabuk kepayang, sehingga menghalanginya dari dzikir kepada Allah. Tatkala bunga asmara tumbuh pada hati seseorang lalu mekar, merekah di dalamnya, akan muncul sedikit pengagungan dan kepasrahan terhadap kekasihnya.
Jika kondisi ini dibiarkan terus bersemi sehingga segenap rasa itu kian meronai benak, menambat hati dan menawan jiwanya, akan sampai pada suatu titik kulminasi dimana hatinya menjadi penuh dengan luapan pengagungan, ketundukan dan kepasrahan terhadap kekasihnya. Tidak ada di hatinya ketika itu, di manapun dan kapanpun ia berada, kecuali hanya sosok kekasihnya. Tidak tersisa di dalamnya sedikitpun ruang untuk mencintai selain kekasihnya, tidak seorang makhluk pun dan tidak pula Rabbnya
Maka, ketika itulah ia menjadi hamba kekasihnya. Ketika itulah kekasihnya menjadi ilahnya. Ketika itulah Allah “hilang” dari hidupnya. Kutukan di bumi dan di langit mengurungnya. Kehinaan menantinya. Ia menyekutukan Rabbnya. Ia membuat tandingan untuk-Nya. Ia berbuat kriminal besar terhadap Rabbnya. Ia tersungkur dalam kebinasaan terbesar di antara berbagai kebinasaan yang ada. Laa ilaaha illallah..
“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. “ (Al-Baqarah: 165)
Ibnul Qayyim dalam Jawabulkaafi menceritakan tentang seseorang yang menjadi korban asmara. Ia seorang pria yang sangat mencintai seorang wanita. Akan tetapi sayangnya, sosok yang ia cintai itu ternyata tak membalas cintanya. Ia pun benar-benar merasa terpukul dengan sebab itu, sehingga menyebabkan kondisi tubuhnya melemah dan jatuh sakit, bahkan mengantarkannya menuju sakaratulmaut.
Di saat tanda-tanda kematian tampak begitu nyata di wajahnya, dan orang-orang yang ada di sampingnya tegang memandangnya, apa yang ia ucapkan? Ia ternyata menyanjung-nyanjung kekasihnya dan mengungkapkan kerinduan untuk bertemu dengannya, ia berkata, “Keridhaanmu (wahai kekasih) lebih diharapkan oleh hatiku ketimbang rahmat Allah Yang Maha Pencipta dan Maha Mulia! “ setelah itu ia menghembuskan nafasnya yang terakhir! Naudzubillah min suil khatimah..
Sebelum kita tutup tulisan ini ada baiknya kita renungi perkataan Ibnul Qayyim berikut ini. Beliau berkata, “Siapa yang mencintai sesuatu selain Allah dan tidaklah kecintaannya tersebut karena Allah, dan bukan pula karena bisa menolongnya untuk taat kepada Allah, melainkan ia akan disiksa dengan cinta tersebut di dunia, sebelum pertemuan (dengan-Nya di akhirat).” (Ni’mah Al-Ukhuwwah hal.18)
Jakarta, 25 Rabi’ul Awwal 1432/27 Februari 2011