Setelah sekian lama disibukkan dengan kuliah, akhirnya, suatu hari, sempat juga saya bertemu dan berbincang dengan salah seorang kerabat. Bagaimana keadaan si fulan? Bagaimana dengan si Anu? Saya bertanya kepadanya tentang keadaan beberapa kerabat.
Di antara kerabat yang saya tanyakan kabarnya yaitu salah seorang kerabat yang pernah mengalami “kecelakaan” (baca: hamil di luar nikah) beberapa tahun lalu. “Kecelakaan” ini membuat geger keluarga besar ketika itu, makanya saya yakin kejadian itu pasti masih membekas dalam ingatan para kerabat.
Saya tanya kepadanya tentang keadaan fulanah (yang mengalami “kecelakaan”) ini. Ia jawab begini dan begitu. Tapi entah kenapa, tahu-tahu pembicaraan jadi menyinggung adiknya. “Dia (adiknya) sama aja kayak kakaknya, sudah ngelakuin itu juga (zina), “ ujarnya. Tersentaklah saya.
Tertularkah ia oleh kakaknya? Sudah separah inikah keadaan keluarganya? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar di pikiran saya. Tak sedikitpun komentar yang muncul dari lisan ini. Saya hanya membisu di tengah keterkejutan saya atas ‘vonis’ yang ia ucapkan.
Setelah beberapa hari berlalu pembicaraan itu, baru sadarlah saya bahwa permasalahan yang ia katakan itu sangatlah besar, melebihi besarnya keterkejutan saya atas berita yang saya dengar itu sendiri. Entah apa yang menyebabkan saya menjadi bungkam atas kemungkaran ini. Apakah ini karena kelalaian saya atau syaithanlah yang menjadikan saya lalai?
“Dan orang-orang yang menuduh zina terhadap muhshonat (wanita-wanita yang baik-baik) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kalian terima kesaksian mereka selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik. Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. “ (An-Nur: 4-5)
Dalam ayat di atas, Allah mengancam kepada siapapun yang menuduh zina terhadap seorang mukmin dan mukminah sedangkan ia tidak mendatangkan empat saksi atas itu, maka baginya tiga hukuman:
1. Dicambuk delapan puluh kali.
2. Tidak diterima kesaksiannya selama-lamanya
3. Mendapat gelar kefasikan.
Kecuali bila bertaubat setelah itu maka kesaksiannya kembali diterima dan terhapus darinya gelar kefasikan.
Jadi, siapa saja yang menyatakan tentang saudaranya bahwa ia pezina atau telah berzina, bila ingin selamat dari 3 hukuman ini, ia harus mendatangkan empat saksi. Ya, empat saksi yang jujur. Dan itu pun harus melihat dengan jelas, tidak samar-samar.
Tak cukup menyatakan telah berzina, hanya karena melihat mereka berdua masuk ke kamar.
Tidak cukup dikatakan berzina, cuma karena melihat mereka berdua sudah tak berbusana.
Tak cukup dikatakan berzina, semata-mata karena mereka sudah tidak berbusana dan (maaf) berpeluk-pelukan. Semua itu tidak cukup, sampai terlihat “timba masuk sumur”!
Itulah yang diterangkan dosen yang mengajarkan tafsir di kelas beberapa tahun lalu.
Dosen lain yang juga mengajarkan materi yang sama menerangkan bahwa syarat ini (mendatangkan empat orang saksi yang jujur) bukanlah sesuatu yang bisa ditawar-tawar lagi.
Bila seseorang menyatakan bahwa orang lain telah berzina sedangkan yang bersaksi bersamanya hanya satu orang, maka mereka berdua berhak mendapatkan tiga hukuman di atas. Bila yang bersaksi bersamanya dua orang, maka mereka bertiga juga berhak mendapatkan tiga hukuman itu. Dan bila yang bersaksi bersamanya cuma tiga orang, maka mereka semua berhak pula mendapatkan tiga hukuman tadi, meskipun mereka semua menyaksikan dengan jelas “timba masuk sumur”, sampai ia mendatangkan empat saksi yang jujur yang menyaksikan itu dengan jelas, tidak samar-samar.
“Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi maka mereka itulah pada sisi Allah orang-orang yang dusta. “ (An-Nur: 13)
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa pada sisi Allah artinya menurut hukum Allah.
Jadi meskipun seseorang melihat dengan mata telanjang dan sangat jelas bahwa orang yang ia lihat telah berzina, namun jika ia bersaksi dengan penglihatannya itu tanpa disertai dengan kesaksian empat orang yang jujur, maka ia dihukumi telah berdusta menurut hukum Allah.
Ada yang merasa sesak mendengar itu. “Tapi kan, si fulan itu bukan orang ‘baik-baik’! “ujarnya.
Betul, ia memang seperti kakaknya (dalam akhlak), bukan orang yang ‘baik-baik’. Saya sendiri mendengar, melihat dan mendapatkan kabar dari beberapa kerabat, memang lahiriahnya tidak menunjukkan bahwa ia orang yang ‘baik-baik’. Ia tidak memakai busana syar’i, tidak menjaga pergaulan dengan lawan jenis, dan tidak pula berakhlak karimah. Akan tetapi ‘sayang’nya, keadaannya yang seperti itu bukan berarti bisa dijadikan alasan untuk menyebarkan aib yang telah ia lakukan.
Berkata Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni, “Terdapat isyarat yang halus pada penyebutan Allah dalam ayat dengan kata ‘ihshon’ (baik/ menjaga kehormatan) yaitu bahwa siapa yang menuduh zina terhadap seseorang yang tidak ihshon (tidak baik/ menjaga kehormatan) baik itu pria maupun wanita, maka ia tidak dihukum layaknya seorang yang menuduh zina terhadap orang yang tidak berhak. “
Tapi jangan ‘gembira’ dulu, sebab beliau berkata, “Namun, dengan tidak adanya hukum had pada lima kasus ini (menuduh berzina terhadap seorang anak kecil, gila atau kafir atau budak atau orang yang bukan baik-baik), bukan berarti orang yang menuduh berzina terhadap lima kelompok di atas tidak berhak mendapatkan hukuman, bahkan ia berhak untuk mendapatkan ta’zir (‘pelajaran’ dari yang berwenang selain hukum had) yang sekeras mungkin, karena ia telah menyebarkan fahisyah/kekejian(aib perzinaan), sedangkan Allah telah memperingatkan tentang itu dalam firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang, kalian tidak mengetahui. ” (An-Nur: 19)” (Rawai’ul bayan Tafsiru Ayatil Ahkam minal Quran hal. 42&46)
Demikianlah syariat kita memandang besar permasalahan ini. Karena semua ini menyangkut kehormatan seorang muslim. Sedangkan agama kita sangat menjaga kehormatan seorang muslim.
“Riba itu memiliki tujuh puluh tiga pintu. Yang paling ringannya, semisal seseorang yang bersetubuh dengan ibunya. Dan sesungguhnya riba yang paling parah adalah pelanggaran terhadap kehormatan seorang muslim. “ (HR. Ibnu Majah: 2275)
Mengingat agungnya kehormatan seorang muslim itulah, mengapa Rasulullah di akhir hayatnya, di haji terakhirnya, mengingatkan tentang hal tersebut,
“ Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian terjaga, seperti terjaganya hari kalian ini (hari arafah), di negeri kalian ini (tanah suci) dan di bulan kalian ini (Dzulhijjah). Kelak kalian bertemu Rabb kalian dan Dia akan menanyakan tentang amalan-amalan kalian….Bukankah telah kusampaikan? Bukankah telah kusampaikan? Para Shahabat menjawab, “Ya. “ Beliau berkata, “ya Allah, saksikanlah..”(HR. Bukhari: 3197 dan Muslim: 1679)
Maka hati-hatilah wahai hamba Allah, jangan sampai lisanmu ringan untuk menjatuhkan kehormatan saudaramu.. Jagalah mulutmu. Perhatikanlah ucapanmu. Sebelum lisanmu Allah bisukan. Sebelum hatimu Ia matikan. Sebelum dirimu Ia rendahkan, ia campakkan, ia binasakan dalam kehinaan..
“Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan satu kalimat yang dia tidak tahu apakah itu benar atau tidak ternyata itu menjerumuskannya ke dalam neraka melebihi jarak antara timur dan barat. (HR. Bukhari: 6477 dan Muslim: 2988)
Jakarta,