Buatlah Ia Tersenyum

“Kalau udah umur gini mah, nggak selera lagi sama istri, seleranya sama ABG!” Demikian dengan polos tetangga saya dua tahun lalu menuturkan keadaan dirinya. Perkataan yang bisa membuat bulu kuduk merinding. Perkataan ini memang meluncur bukan dari lisan seorang aktivis dakwah, sehingga belum ‘layak’ diberi label “ikhwan”. Tapi bukan pula perkataan itu muncul dari seorang preman atau pecinta kemaksiatan.

Walaupun tak tampak padanya cahaya-cahaya kesalehan, bukan pula ia orang yang identik dengan kefasikan. Bahkan ia orang yang lebih dekat kepada kebaikan. Ia seorang yang lembut dan sopan tutur katanya. Dan ia juga rajin shalat berjama’ah ke masjid ketika sedang ada di rumahnya selepas pulang kerja. Lantas apakah bisa ditolerir ucapannya itu? Sampai begitu ‘tragis’kah kondisinya? Apakah ‘ancaman’ dari ucapannya itu hanya berlaku untuk dirinya, atau berlaku pula untuk orang yang semisal dengannya?

Saya adukan itu ke teman saya. Rasanya ucapan itu akan terbantah oleh pendapatnya. Walaupun usia pernikahannya baru menginjak tujuh tahun, saya yakin tidak kalah-kalah amat dengan tetangga saya tadi yang saya yakini usia pernikahannya belum lewat dari sepuluh tahun.

“Ya.. gitulah,” ucap teman saya. Maksudnya setuju? Pikir saya. “Tapi kalau kita sih ya nggak lah, ilmu kita memaksa kita supaya sabar. Mau nggak mau harus sabar. Tapi yang awam?” tuturnya. “Bayangin aja, ada seorang manajer perusahaan, umurnya udah empat puluhan. Istrinya di rumah juga udah sama kayak dia, gemuk. Nah, yang jadi sekretarisnya umur dua puluh tahunan, masih langsing. Gimana gak di ‘santap’ kayak gitu?!”

Lho, berarti wajar dong keadaan orang yang sudah lama menikah seperti itu? Apa itu tidak bahaya? Apakah yang seperti itu cukup dianggap angin yang berlalu saja? Saya jadi ingat curhatan salah seorang kerabat.

“Istri ini makin ‘bengkak’ (gemuk) aja. Ya mungkin karena ngerasa udah laku, jadi nggak ngerawat tubuh lagi,” ujarnya, “Dulu saya juga punya teman di SMA, dia bener-bener bintang kelas, paling cantik di sekolah. Eh, pas ngelihat belum lama setelah nikah, jadi ‘hancur’ gitu badannya, gak karuan bentuknya.” Ia berkata lagi, “Padahal dari masalah yang ‘sepele’ kayak gini, justru bikin banyak suami yang selingkuh.”

Miris juga dengar perkataannya. Saya jadi kasihan. Ingin rasanya membantu, tapi apa yang bisa saya bantu? Apakah menjaga fisik itu sudah tak diperlukan lagi setelah mendapatkan jodoh? Apakah berdandan itu cukup di awal-awal pernikahan saja?

Saya berharap kejadian di atas hanya terjadi pada beberapa gelintir orang saja. Karena saya tak tahu apakah ‘keluhan-keluhan’ di atas hanya dari mereka saja atau mewakili puluhan orang semisal mereka. Atau ratusan, atau ribuan, atau jutaan, atau.. Wallahu a’lam.

Laki-laki adalah makhluk yang Allah beri sifat yang berbeda dengan wanita. Jika ketertarikan seorang wanita kepada lawan jenisnya, lebih dominan pada aspek non fisik,

ketertarikan seorang pria kepada lawan jenisnya justru lebih dominan pada aspek fisik dan visual. Makanya tidak salah bila banyak pria yang begitu mudah terpancing, bahkan luluh dengan ‘sesuatu’ yang menarik matanya.

Karena itu, sulit dibayangkan apa jadinya jika seorang suami di pagi sampai sore disajikan wanita-wanita bersolek bak artis, berbusana merangsang dengan aroma yang wangi semerbak, di jalan, angkutan umum, kantor, lalu ketika ia kembali ke rumah, ia dapati istrinya tidak berdandan, berpakaian lusuh dan beraroma bawang? Belum lagi jika ditambah rumah yang tak terurus, berantakan, dan berbagai ‘hadiah sambutan’ lainnya? Kalau ini terjadi sehari dua hari mungkin ‘biasa’, tapi kalau berhari-hari, berminggu-minggu atau bertahun-tahun?

Jika si suami seorang yang memiliki din dan iman yang kuat, ia akan berusaha sekuat mungkin menahan dirinya, atau jika tidak, poligami jadi pilihan. Tapi yang din dan imannya lemah? Atau yang imannya ketika itu sedang melemah? Bisa jadi, sesuatu yang sangat-sangat tidak diinginkan lah yang terjadi.

Berdandan dan berhias di tengah rutinitas kehidupan rumah tangga yang “menjemukan” dan “melelahkan”, mungkin terasa memberatkan dan merepotkan. Belum lagi bila telah memiliki momongan, mau tidak mau tersibukkan dengan mengurus anak dan merawatnya. Namun, bila dibandingkan berpalingnya hati dan mata orang yang dikasihi dan dicintai kepada ‘yang lain’, tentu itu lebih berat lagi dan lebih menyakitkan.

Seandainya seorang istri ‘bercapek-capek’ diri berusaha untuk tampil sebaik mungkin untuk suaminya sehingga dengan itu membuatnya gembira dan betah memandangnya, tentu itu bukanlah sesuatu yang sia-sia. Karena disamping menjaga mata suami, mendatangkan pula rasa cinta dan sayang suaminya kepadanya. Bahkan bukan hanya itu, rahmat dan berkah dari Allah pun akan menaungi rumah tangganya. Ya, rahmat dan berkah yang tidak terhitung nilainya.

Dan itulah yang dialami oleh seorang wanita salehah dari generasi awal umat ini, yaitu Ummu Sulaim رضي الله عنها. Suatu hari anaknya mengeluh sakit. Sedangkan Abu Thalhah رضي الله عنه, suaminya, ketika itu sedang pergi. Tak dinyana, tak berapa lama anaknya pun menghembuskan nafas terakhir. Apa yang dirasakan seorang ibu tatkala menyaksikan buah hatinya meninggal di hadapannya? Siapakah hati yang tidak bersedih menyaksikan buah hatinya, yang ketika itu sedang lucu-lucunya harus berpisah untuk selama-lamanya? Kematian yang menyesakkan dada dan mengguncang hati.

Namun, meskipun begitu, ia tetap tegar. Bahkan ada yang tidak ‘wajar’ pada dirinya ketika itu. Tatkala suaminya pulang, ia menyambutnya seperti biasa. Ia tak berkata, “Kemana saja sih, tuh anak kamu sakit!” “Pergi kok lama sekali, tidak tahu anak kamu meninggal?!” ia menyambut suaminya, layaknya seorang istri yang menyambut suami yang baru pulang dari bepergian jauh.

Abu Thalhah رضي الله عنه bertanya, “Lagi apa anakku sekarang?” Ummu Sulaim رضي الله عنها menjawab, “Ia lebih tenang dibandingkan sebelumnya.” Suaminya pun memahami perkataan yang berbeda dengan yang dimaksudkan istrinya. Sekali lagi, ia berbuat tidak ‘wajar’, sehingga suaminya yang ketika itu baru saja letih dari perjalanan tak terguncang.

Lalu kembali ia berbuat tidak ‘wajar’ lagi. Ia menghidangkan makan malam untuk suaminya, lalu berdandan sebaik mungkin, bahkan lebih baik dibandingkan hari-hari biasanya!

Setelah merasa puas dengan hidangan malam yang disajikan, Abu Thalhah رضي الله عنه menyaksikan istrinya dalam keadaan yang tidak pernah ia lihat secantik itu. Maka muncullah hasrat dan gairahnya sebagai seorang laki-laki. Ia pun bercinta dengannya.

Tatkala suaminya telah merasa puas dan lega, Ummu Sulaim رضي الله عنها pun memberitahukan kejadian sebenarnya yang menimpa buah hati mereka berdua. Maka Abu Thalhah رضي الله عنه pun berang, “Kamu memberi tahu kejadian ini setelah saya berlumuran kotoran seperti ini (jima’)?!” Keesokan harinya Abu Thalhah رضي الله عنه pun mendatangi Rasulullah صلى الله عليه وسلم, memberitahukan apa yang terjadi pada keluarganya. Rasullah صلى الله عليه وسلم bertanya, “Apakah kalian bercinta tadi malam?” Ia menjawab, “Ya.” Beliau berkata, “Semoga Allah memberkahi malam kalian berdua.” Akhirnya Ummu Sulaim رضي الله عنها pun hamil dari hasil percintaannya dengan suaminya di malam itu. Lalu setelah beberapa bulan lahirlah seorang putra yang kemudian dinamai Abdullah. Dan dari Abdullah inilah muncul sembilan anak seluruhnya hafal Al-Quran! (HR. Bukhari No. 1301 dan Muslim No. 2144)

Inilah berkah dari sebuah kesalehan, kesabaran dan bakti kepada suami. Meskipun hati pilu, sukma merintih, senja bergelayut di mata, itu semua tak menyurutkan Ummu Sulaim رضي الله عنها untuk membahagiakan suaminya, membuatnya tegar dan tersenyum. Maka Allah pun tak menyia-nyiakan pengorbanannya. Allah pun memberkahi keduanya dengan berkah yang ternilai. Berkah yang selalu diminta oleh setiap orang yang beriman, “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqon [25] : 74)

Kulit yang mulai mengendur memang tak bisa dibuat kembali kencang, kerutan yang ‘menghiasi’ wajah memang tak bisa dikurangi, tapi bila seorang istri bersungguh-sungguh dalam bersolek, berusaha membuat suaminya senang, tentu itu sesuatu yang akan dihargai oleh siapapun yang masih memiliki hati dan nurani. Dan sebenarnya kesungguhan itulah yang Allah nilai.

Dan jika si istri tetap konsisten dalam hal ini, maka tak salah lagi dialah istri idaman. Istri pujaan suami. Istri yang dicemburui para bidadari. Istri yang mendapatkan tazkiyah (rekomendasi) dari lisan yang mulia tatkala ditanya, “Wanita bagaimanakah yang paling baik itu?” Ia صلى الله عليه وسلم menjawab, “Yang menyenangkan tatkala dipandang, menaati tatkala diperintah dan tidak menyelisihinya (suami) dalam perkara yang tidak ia sukai baik pada dirinya maupun hartanya.” (HR. Ahmad No. 9857 dan An-Nasa’i No. 3231)

Jakarta, 17 Rajab 1432/19 Juni 2011

anungumar.wordpress.com