Harga sebuah persahabatan sangat mahal. Sebab, sahabat sejati yang siap hadir di kala kita senang dan di saat kita membutuhkannya sangat sulit dijumpai. Apalagi di zaman serba digital dan pesatnya teknologi seperti sekarang.
Nilai sebuah pertemanan dan jabat erat banyak dilihat dari kedudukan serta materi seseorang. Kawan akan ada ketika kita mengundangnya di sebuah perjamuan atau pesta. Di saat uang kita berlimpah, dia siap menemani dan menebar tawa canda bersama. Namun, kala sakit mendera dan susah menyapa, tak satu pun di antara mereka yang menengok dan membesarkan hati. Marah? Itu hal yang sia-sia.
Maka, dalam memilih seseorang untuk dijadikan sahabat, kita sudah selayaknya untuk selektif. Sahabat sejati adalah sosok yang selalu mengingatkan akan kebaikan. Dia ada di sisi kita, baik ketika senang maupun di kala sedih. Persahabatan tidak kenal dengan kata putus. Dalam hal mengingatkan kesabaran dan kebaikan, nilai persahabatan ada sampai maut memisahkan raga dari jasad. Bahkan, saat kita sudah mati pun, sahabat siap menyalatkan dan mendoakan layaknya keluarga.
Namun, tak sedikit yang tergelincir karena teman. Ada seseorang yang awalnya baik, ketika berteman dengan pemabuk atau tukang judi, saat terpengaruh dan tak kuat iman, dia pun bisa berubah menjadi tidak baik. Bahkan, di antara masyarakat sekarang pun, banyak yang salah dalam pergaulan. Akibatnya, banyak remaja putri yang hamil di luar nikah, tingginya angka kekerasan dalam rumah tangga, perceraian, dan lain-lain. Semua itu bukan saja disebabkan lemah iman, tapi juga cara yang salah dalam bergaul.
Gaya hidup hedonisme dan bebas ala Barat mulai diterjemahkan sebagai sesuatu yang baik untuk diadopsi. Bahkan, pacaran di tempat umum seolah dianggap sesuatu yang biasa. Efeknya, timbul zina. Naudzubillahi mindzaalik.
*** Ji, demikian saya biasa menyebut salah seorang sahabat saya yang bernama Darmaji. Dia bukan rekan sekantor. Juga bukan orang yang suka berpenampilan rapi. Dia cuma tukang bakso keliling yang sudah menjadi langganan saya di kampung. Namun, banyak hal yang membuat saya angkat topi dan bersyukur mengenalnya.
Suatu sore, saya hanya menjumpai rombong (gerobak) baksonya saja, sedangkan yang jualan entah ke mana. Sekitar tujuh menit menunggu, akhirnya Ji muncul. ”Nang endi ae (ke mana saja)?” tegur saya. ”Sik Asharan Mas. Sampeyan wis sholat ta (Baru salat Ashar. Mas sudah salat)?” jawabnya.
Seketika kejengkelan saya karena menunggu berubah mendengar jawaban Ji. Saya malu karena sudah su’udzan kepadanya, apalagi saya sendiri juga belum salat Ashar. Astaghfirullah. Saya bergegas ke musala untuk salat dahulu dan memesan semangkuk bakso kepada Ji. Usai salat, saya kemudian kembali bertanya ke Ji, apakah dia tidak takut kehilangan uang setoran bila rombong (gerobak)nya ditinggal agak lama.
”Rezeki wis ono sing ngatur, Mas, ” jawabnya polos. Dia hanya tukang bakso yang SD saja tidak lulus. Tapi, keyakinannya dan tak alpa untuk salat meski bekerja berkeliling jualan bakso membuat saya kagum. Kerja tetap kerja, namun jika sudah waktu salat, ya harus melaksanakannya. Bukankah memang rezeki telah Allah atur sesuai dengan ketetapan-Nya? Subhanallah.
Karena pengetahuan Ji tentang Islam cukup baik, saya tak jarang bertanya seputar agama yang saya sebelumnya tidak tahu. Alhamdulillah, dari Ji, saya banyak mengambil hikmah dan ilmu. Keakraban kami sebagai sahabat tidak terbatas pada saat bersua saja. Ketika saya jatuh sakit, sebuah sms dari Ji masuk dan mendoakan agar saya lekas sembuh. Subhanallah walhamdulillah, perhatian dari seorang sahabat mampu membuat semangat saya tumbuh kembali.
Rasulullah SAW bersabda: ”Seorang muslim itu adalah saudara muslim lainnya. Dia tidak boleh menzaliminya dan menghinakannya. Barang siapa yang membantu keperluan saudaranya, maka Allah akan memenuhi keperluannya. Barang siapa yang melapangkan satu kesusahan seorang muslim, maka Allah akan melapangkan satu kesusahan di antara kesusahan-kesusahan hari kiamat nanti. Dan barang siapa yang menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya pada hari kiamat.” (Shahih Muslim).
Suatu ketika, Ji mengabarkan kepada saya bahwa isterinya di desa telah melahirkan putra pertama mereka. Tentu saja, saya ikut senang mendengar kabar bahagia tersebut. Tak lupa, saya mengucapkan selamat karena dia telah menjadi bapak. Tiada henti Ji berucap hamdalallah dan senyum syukur. Rendah hati dan menunjukkan sikap sebagai ikhwan yang sederhana.
Pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya mengingatkan seperti ”wis sholat ta? Masih dia lontarkan ketika kami bertemu atau saat saya membeli baksonya. Alhamdulillah, nikmatnya bersahabat jika saling mengingatkan tentang berbuat kebaikan. Bahwa persahabatan itu tidak memandang kasta dan kedudukan seseorang. Islam selalu mengajarkan kita untuk pandai bersyukur atas nikmat Allah.
Seperti firman Allah: ”Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepadamu; dan bersyukurlah kepada-ku dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (Al-Baqarah: 152). Jatuhan daun dari pohon trembesi yang menguning di beberapa sudut jalan terhampar seperti musim semi. Beberapa di antara jalan itu sering kami lalui bersama. Ji menyusuri jalan itu dengan berjalan kaki dan mendorong rombongnya, sedangkan saya melewati jalan tersebut dengan kendaraan pribadi. Namun, ikatan persahabatan menjadikan kami lebih dari sekadar saudara.
Dari hadis riwayat Anas bin Malik ra, Rasulullah SAW bersabda: Janganlah kamu saling membenci, saling mendengki dan saling bermusuhan, tetapi jadilah kamu hamba-hamba Allah yang bersaudara. Tidak halal seorang muslim mendiamkan (tidak menyapa) saudaranya lebih dari tiga hari. (Shahih Muslim).
Wallahu ‘alam bishshawab.