Saat itu, dari balik jendela lantai 22, kulihat awan gelap memenuhi langit Jakarta. Waktu baru menunjukkan pukul 15.30 namun lalu lintas jalan sepanjang Thamrin-Sudirman mulai menunjukkan kepadatan. Nampaknya mereka, apapun profesinya, sengaja mengakhiri aktivitas hari itu lebih cepat dari biasanya. Bukan sekedar ingin menghindari aturan 3 in 1 (three in one) yang biasa diberlakukan mulai pukul 16.30, melainkan juga menghindari potensi kemacetan yang disebabkan turunnya hujan deras.
Pukul 16.00 hujan mulai turun. Curahannya makin deras dan makin deras. Saya bergegas untuk segera pulang. Pikir saya, semakin deras hujan, semakin tepat untuk segera turun ke jalanan. Banyak pengendara sepeda motor yang menepi atau berteduh karena sebagian besar mereka pasti lupa tidak mempersiapkan jas hujan. Andaipun mereka menggenakan jas hujan, pasti banyak juga yang berteduh karena mereka lupa melindungi barang berharga yang mereka bawa dari terpaan hujan yang deras, seperti laptop, kain, buku-buku, dokumen, atau boncengan (bisa isteri, keluarga atau pacar).
Hari-hari pertama yang menandai pergantian musim hujan biasanya belum menjadikan mereka terkondisi mengantisipasi datangnya cuaca yang tidak bersahabat dan mereka belum terkondisi mempersiapkan segala sesuatu untuk menghadapinya. Bagi saya, saat mereka banyak berteduh atau menepi itulah saat yang tepat untuk melaju tanpa ada hambatan.
Ketika saya turun ke jalanan dan menerabas hujan, memang ada resiko yang saya hadapi. Antara lain, pandangan mata tidak nyaman akibat jalanan tertutup guyuran air yang deras, wajah perih akibat hantaman titik-titik air hujan, atau badan merasa menggigil akibat angin dan dinginnya air hujan. Resiko itu saya terima karena memang saya telah bersiap diri untuk menghadapinya. Bagi saya sakit sedikit lebih saya pilih dari pada harus menghadapi kemacetan panjang bila saya terlambat turun ke jalan.
Pandangan tidak nyaman, wajah perih-perih, hidung bersin-bersin, atau badan menggigil adalah contoh-contoh resiko yang kadang harus dipilih demi tercapainya tujuan yang dinginkan atau demi terhindarnya resiko lain yang lebih buruk seperti terjebak kemacetan, terjebak banjir, tertundanya suatu urusan, atau terbatalnya sebuah acara.
***
Setiap pilihan tindakan memiliki resiko. Dalam konteks di atas, jika memilih berteduh, maka ada resiko macet di perjalanan, resiko terlambat datang ke rumah, resiko janji tidak bisa ditepati, resiko agenda acara jadi batal, dan lain-lain. Jika memilih menerabas, maka ada resiko kecelakaan, resiko sakit, resiko rugi karena barang bawaan basah, dan lain-lain.
Seberapa besar orang berani menghadapi sebuah resiko adalah sebanding dengan seberapa besar orang memaknai sebuah tujuan. Jika tercapainya sebuah tujuan itu memiliki arti yang signifikan, maka orang berani menempuh resiko (berkorban) untuk mencapai tujuan itu. Misal dalam konteks haji, karena menunaikan ibadah haji memiliki arti yang sangat besar, maka orang berani menempuh resiko hidup sederhana agar bisa menabung dan pergi ke sana. Atau dalam konteks qurban, karena berkurban adalah sunnah dan keutamaan, maka orang berani menempuh resiko tertundanya kebutuhan-kebutuhan rumah tangga lain agar dana yang ada bisa dialokasikan ke qurban.
Islam adalah ajaran yang mengajarkan ummatnya untuk berani menghadapi resiko. Karena dibalik resiko itu adalah kebaikan bagi dirinya sendiri. Seperti buah dari menanggung resiko menunaikan ibadah haji adalah surga dan buah dari menanggung resiko berqurban adalah pahala kebaikan dari setiap bulu hewan ternak yang dikurbankan.
Sesungguhnya Islam telah memberikan pedoman dengan jelas antara resiko dan hasilnya. Besarnya hasil sebanding dengan resikonya. Yang menjadi ujian adalah orang tidak berani menanggung resiko karena hasilnya yang tidak langsung ditampakkan di dunia atau karena hasilnya tidak terlihat dengan mata bashirahnya ( merasa tidak yakin).
Untuk menumbuhkan jiwa-jiwa yang mau berkurban, dalam arti harfiah maupun maknawinya, maka dibutuhkan upaya penajaman mata bashirah itu. Sehingga kita memiliki keyakinan yang menafikan keraguan. Sebagaimana Allah berfirman, “Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.” (QS 2: 147)
Wallahua’lam bishshawaab.