Tiba-tiba saja hati saya terusik untuk menulis tulisan ini, ketika mendengar berita di radio, televisi, koran tentang ancaman krisis ekonomi yang akan melanda negara adidaya Amerika Serikat. Ulasan di media massa menggambarkan bagaimana krisis ekonomi di AS menimbulkan efek berantai bagi kondisi ekonomi dan sosial di negeri tercinta ini, Indonesia.
Kalau saya baca dan dengar dari media, dampaknya ternyata sangat besar dan buat saya cukup mengerikan. Katanya, jika perekonomian AS "sakit", maka permintaan luar negeri akan berkurang. Itu artinya ekspor kita akan mengalami penurunan, yang akan berpengaruh pada pendapatan industri dalam negeri. Jika pendapatan berkurang, otomatis industri akan mengurangi karyawannya atau bahkan mem-PHK. Maka bisa ditebak, pengangguran akan makin banyak dan jumlah orang miskin akan makin meningkat.
Situasi itu akan diperparah dengan laju inflasi atau kenaikan harga barang-barang yang terus membubung tinggi. Laju inflasi yang tinggi menyebabkan nilai uang melorot, sehingga daya beli masyarakat menurun. Akibatnya, orang miskin akan makin bertambah miskin. Padahal, sejarah membuktikan, kemiskinan dan tingkat pengangguran yang tinggi bisa memicu kerawanan sosial.
Ulasan-ulasan di media massa banyak mencemaskan hal ini. Bisa dipastikan, kata mereka, akibat tekanan ekonomi, angka kriminalitas meningkat. Dan yang paling membuat saya bergidik, kemungkinan akan makin banyak orang yang stress, mengalami gangguan jiwa, bahkan melakukan bunuh diri. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun…
Di saat yang sama, saya membaca berita, meski tak banyak media Indonesia yang mengulasnya, tentang penderitaan dan kesengsaraan warga Jalur Ghaza di Palestina akibat blokade ekonomi tanpa belas kasihan yang dilakukan oleh rejim Zionis Israel. Mereka menutup semua perbatasan, menghentikan pengiriman pasokan bahan bakar, sehingga warga Ghaza harus hidup dalam gelap karena sumber pembangkit listrik mereka jadi tak berfungsi. Bantuan makanan dan obat-obatan juga terhenti, sehingga warga Ghaza harus antri membeli sekerat roti. Persediaan air bersih makin menipis. Belum lagi para pasien rumah sakit yang terancam sekarat karena ketiadaan obat dan ketiadaan listrik untuk peralatan yang membantu hidup mereka.
Betapa trenyuh hati saya melihat foto-foto yang menggambarkan penderitaan mereka. Anak-anak yang belajar dengan nyala lilin, orang-orang tua yang kedinginan di malam hari, ibu-ibu yang mengantri makanan. Saya membayangkan jika saya adalah warga Ghaza, mampukah saya bertahan hidup dalam kondisi sedemikian menghimpit?
Namun, saya terkagum-kagum melihat sikap warga Jalur Ghaza menghadapi semua kesulitan itu. Di tengah situasi yang membuat mereka hampir putus asa, mereka tetap bersabar dan memperbanyak doa, dengan tetesan air mereka memohon pada Allah swt agar semua kesulitan ini segera berakhir. Demi menghemat persediaan makanan, kaum lelakinya memilih berpuasa dan menghabiskan malam di masjid-masjid untuk lebih mendekatkan diri pada Allah swt. Tak berita ada yang bunuh diri atau jadi sakit jiwa karena himpitan ekonomi.
Dan Allah mengabulkan doa mereka, ketika tembok perbatasan Rafah berhasil dijebol, sehingga warga Ghaza bisa masuk ke wilayah Mesir dan bisa membeli semua kebutuhan yang mereka perlukan, tanpa ada perlawanan dari aparat keamanan Mesir. Subhanallah…. setelah kesulitan pasti ada kemudahan.
Melihat kecemasan bangsa ini hanya karena krisis ekonomi di AS dan melihat sikap warga Jalur Ghaza dalam menghadapi kesulitan akibat blokade rejim Zionis. Membuat saya merenung dan bertanya dalam hati, mengapa kita begitu cengeng dan ketakutan dengan ancaman kesulitan ekonomi. Ternyata kita masih takut miskin dan takut kelaparan. Padahal sebagai negara yang mayoritas penduduknya Muslim, seharusnya kita juga memiliki daya juang yang tinggi, serta kesabaran dan kekuatan iman seperti saudara-saudara kita di Jalur Ghaza. Penderitaan dan ujian yang mungkin kita alami, belum seberapa dengan penderitaan dan ujian yang dialami warga Palestina. Tak malukah kita dengan mereka?
Dalam hal ini, rasanya kita masih harus banyak bercermin pada rakyat Palestina. Bukankah Allah swt berfirman, "Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar" (QS. Al-Baqarah: 155)
Jadi rasanya, tak perlu cemas apalagi depresi jika krisis itu memang benar datang. Kesulitan yang akan kita hadapi seharusnya menjadi pelajaran bagi bangsa ini, khususnya umat Islam, untuk lebih mandiri dan tidak menggantungkan perekonomian kita pada orang asing, apalagi berkiblat pada negara bernama Amerika Serikat.
Semoga Allah swt senantiasa menjauhkan kita dari segala kesulitan dan memberikan kemudahan bagi kita semua. aamiin.
Pojok kantor, 24 Januari 2008