Suatu hari dalam perjalanan pulang menggunakan bis jurusan Senen-Cikokol, aku duduk dibangku nomer dua belakang pak sopir (biasanya lebih sering berdiri berdesak-desakan). Seperti biasa, alunan gitar akustik dan nyayian seniman jalanan ibu kota selalu menghibur gendang telinga para penumpang yang penat kerja seharian . Kalau di hitung-hitung, ada tiga hingga lima pengamen naik turun bis menjajakkan hiburan terbaiknya, ada yang berpuisi, lagu pop-rock terbaru, nasyid, dangdut, bahkan nyayian kidung rohani gereja. “Sambung menyambung seperti pulau Indonesia, jadi jangan bosan ya!,” kata pengamen menjelaskan.
Ada juga yang berlagak seperti preman, meminta uang tanpa sajian hiburan apapun, kata-katanya mengancam. “Dari pada saya menodong, mencuri, menjambret, lebih baik saya terus terang pada om, tante, bapak, ibu. Dengan sumbangan seratus limaratus, seribu dua ribu berarti anda telah mengurangi angka kriminal di Jakarta,” kata salah seorang dari mereka. Yang terakhir ini membuat saya jadi eneg, dan males merogoh kantong untuk berpartisipasi walau hanya gope.
Di hari yang lain, seorang anak laki-laki kecil, berwajah kusam, kulitnya (gelap) terbakar matahari menggendong (mungkin) adiknya. Dengan memelas dia berdiri didepan memperkenalkan diri. “Para penumpang yang budiman, bantulah kami untuk membelikan susu adik saya, ayah meninggal, kami tidak bisa beli susu. Tolonglah pak-bu, om-tante, kakak biar adik saya tidak nangis terus…” kemudian dia duduk bersimpuh sambil mengangkat tangan kanannya, “Saya Apandi bersumpah bahwa apa yang saya katakan benar. Kalau saya berbohong biarlah saya mati dipinggir jalan,”
Setelah berprolog tentang kemalangan nasib, sambil mengelus-elus kepala adiknya, sesekali adiknya menangis, ia mengeluarkan kantong permen Relaxa, dan mulai mengedarkan dari penumpang satu ke penumpang yang lain. Saya perhatikan, hanya satu-dua penumpang yang menyumbang.. Sepertinya para penumpang “tidak” tersentuh oleh aksi eksploitasi ketidakberdayaan anak laki-laki kecil itu. Melihat kejadian itu hatiku menjadi gelisah, ada pertanyaan besar di dalam diriku, mungkinkah anak belasan tahun itu hanya dimanfaatkan oleh sindikat tertentu untuk dijadikan mesin uang dengan menampilkan wajah papa dan kepolosannya?. Mungkin sebagian besar penumpang sudah tau dari media massa tentang fatwa MUI soal keharaman memberi sumbangan di jalanan?
Mengapa sih hanya untuk membeli sebungkus nasi atau susu harus merendahkan harga diri dengan mengeksploitasi kemiskinan dan bersumpah serapah? Apa tidak ada jalan lain untuk menjemput rezeki? Alangkah baiknya jika berkarya ala musisi jalanan, karena saya perhatikan pengamen yang mendendangkan sholawat Nabi, Opick, atau nasyid ala Raihan lebih disukai dan diminati penumpang dari pada harus mengumpat atau memelas. Apalagi bis Senen-Cikokol sering dihinggapi pengamen gereja dengan mendendangkan kidung gereja yang sangat mengganggu gendang telinga saya yang sangat sensitif (maaf ya pengamen gereja?). Logika ideologi lebih dikedepankan sehingga setiap kali ada pengamen yang melantunkan nasyid Opick atau Raihan, para penumpang dari deret bangku depan sampai belakang suka ria memenuhi kantong permen Kopiko dengan limaratus-seribu.“Ini pertarungan ideology bung!”. Kecamuk hati saya.
Duhai anak kecil, janganlah kau umbar kemiskinan. Cobalah berkarya yang lebih bermakna. Pasti para penumpang akan berempati kepadamu!. Ingatlah nak, di antara mulainya tujuan yang diinginkan Syariat Islam adalah, membangun mental seorang Muslim untuk tidak suka meminta-meminta, dan memelihara air mukanya dari kehinaan akibat mengemis. Inilah pancaran aqidah Islam yang begitu murni dan sangat indah, sehingga Islam selalu mengaitkan antara seorang Muslim dengan Allah Yang Maha Kuasa. Baik dalam kelapangan atau kesempitan, dalam kesusahan atau kemudahan, dalam kondisi semangat atau benci.
Aaah…saya jadi ter-ngiang-ngiang nasehat teman perjalanan saya (baca buku), dalam buku “65 Kisah Teladan Pemuda Islam yang Brilyan” karya Muhamad Sulthan, dalam buku ini diceritakan bahwa, suatu hari ada orang kaya masuk masjid untuk melaksanakan sholat, dia termasuk orang yang sholeh, lalu dia melihat seorang anak kecil yang berumur tidak lebih dari 12 tahun sedang berdiri mengerjakan sholat dengan khuyu’. Tatkala anak itu selesai dari sholatnya mendekatlah si kaya seraya bertanya kepadanya,
“Anak siapa kamu?”
“Aku anak yatim, aku kehilangan ayah dan ibuku,”
“Maukah kau jadi anakku?”
Si anak berkata, “Kau bisa memberiku makanan dan pakaian. Tapi apakah engkau akan menghidupkan aku tatkala aku sudah mati?
Takjublah lelaki itu seraya berkata, “Ini tidak mungkin dilakukan!”. Anak kecil itu berkata, “Kalau begitu, tinggalkanlah aku bersama Dzat Yang telah menciptakan aku, memberiku rezeki, mematikan aku dan menghidupkan aku kembali,”. Lelaki itu berkata kepada si anak, “Benar wahai anakku! Barang siapa yang bertawakal kepada Allah, pasti dia mencukupinya.”
Antara anak laki-laki pengemis dengan anak kecil di masjid. Mereka anak zaman berbeda, dilahirkan dalam suhu peradaban yang berbeda. Tapi sama-sama dalam kondisi yatim dan papa. Saya jadi manggut-manggut untuk menyimpulkan, untuk menjemput rezeki cukuplah izzah dan ketakwaan, dengan izzah seseorang lebih bermartabat, dengan ketakwaan seorang muslim akan berusaha dan bertawakal. Untuk sebungkus nasi tidak usahlah menghinakan diri!.
Oleh : Sucipto
Media & Newsroom Rumah Zakat Indonesia