Kurang lebih 6 tahun yang lalu, anakku telah mengenal Amrozi. Tepatnya “nama” Amrozi. Waktu itu Wafdan baru berumur 3 tahun-an. Bukan berarti karena di usia sehijau itu anakku telah gemar menyimak berita di televisi. Berbagai media memang tengah gencar-gencarnya mengulas aksi pengeboman di Bali; aksi memalukan yang mencoreng Islam.
Hampir semua orang seketika familiar dengan nama Amrozi. Biasanya setiap disebut nama Amrozi, sontak orang akan berfikir tentang Bali, bom, terorisme…bla.. bla bla ..
Namun bila nama Amrozi disebut di depan anakku, ia akan langsung berfikir: singa. Kenapa demikian?!?
Karena memang setahu dia, Amrozi itu adalah nama seekor singa. Waktu itu memang Wafdan kecil yang lagi senang-senangnya dengan aneka binatang; kami ajak berwisata ke Taman Safari. Ia begitu terhibur dengan atraksi singa dan Sang Pawang yang memberi nama binatang kesayangannya dengan nama Amrozi. Rupanya Si Pawang latah juga dengan memberi nama yang sedang tenar pasca kejadian bom Bali.
Beberapa tahun lamanya anakku masih lekat dengan image bahwa Amrozi adalah seekor singa jantan yang begitu mengesankan di arena pertunjukan.
Hingga akhirnya, beberapa hari lalu; setelah sebelumnya berita tentang Amrozi cs redup dan muncul lagi secara bertubi-tubi; karena konon eksekusi akan segera dilakukan. Wafdan yang kini berumur hampir 9 tahun dan sudah mulai gemar menyimak berita; kembali terjejali dengan nama Amrozi karena nyaris tiap hari mendengar dan menyaksikan beritanya. Namun kini dengan image yang berbeda.Sekarang sama dengan persepsi orang kebanyakan tentang Amrozi: seorang terpidana mati atas tuduhan terorisme.
Wafdan jadi sering bertanya: “Amrozi sudah dihukum mati belum, Mi?” Demikian pertanyaan yang kerap diulang-ulang. Setiap hari, bahkan mungkin sehari bisa tiga kali. Paling aku tersenyum dan menjawab “Belum”. Dalam fikiranku sendiri, ada tanda tanya. Kenapa berita tentang eksekusi mati Amrozi cs begitu menarik dalam fikiran anak seusianya….. Secara iseng aku balik bertanya kepada Wafdan: “Bagaimana perasaanmu jika menjadi Amrozi; yang akan dihukum mati?”
Ternyata jawaban yang tak terduga keluar dari mulutnya: “ Ya….alhamdulillah….”
“Kok?!?” sahutku kemudian.
“Kan paling-paling, sakitnya sedikit waktu ditembak. Habis itu masuk surga” jawabnya tegas.
Ha? Aku sedikit kaget, campur geli namun takjub juga.
Kaget karena jawaban tegasnya tentang rasa syukur jika dihukum mati. Padahal aku mengumpamakan dia sebagai Amrozi; dengan kata lain bagaimana jika ia yang menghadapi hukuman mati itu. Jangan-jangan, anakku menyimak dengan detil setiap kata-kata semangat yang dilontarkan oleh Amrozi bila muncul di layar kaca.
Geli; karena ekspresinya yang lucu. Seolah tanpa beban bila maut di depan mata.
Dan aku pun takjub; karena setelah kuhayati, ternyata anakku ini memang sangat peka, kritis, dan menyimak setiap peristiwa yang berkaitan dengan dzikrul maut.
Bukan hanya peristiwa yang berkaitan dengan Amrozi. Pernah ketika kami melewati kompleks pemakaman Pondok Ranggon, yang kebetulan setiap hari dilalui bila kami menuju sekolah Wafdan; aku tak menyangka Wafdan berkata:
“Umi, kalau aku meninggal, aku pengin yang di bawah pohon itu ya!”
Dengan sedikit terkejut aku jawab: “Emang kenapa?”
“Soalnya Wafdan nggak mau kepanasan di dalam kubur. Kan kalau atasnya ada pohon jadi sejuk..”
Itulah anak-anak…. Perkataannya sering spontan, tak terduga, namun ternyata sangat mungkin untuk diambil hikmahnya. Kalimat yang begitu menyentilku untuk lebih merenung. Tentang kematian, yang pasti ‘kan datang. Kata-kata yang mendorongku untuk terus belajar, mencari jawaban yang benar dan kemudian memacu diri untuk berbuat positif demi masa depan nan abadi. Sebuah support untuk aku bisa berupaya memberikan jawaban yang tepat bila ada lagi pertanyaan-pertanyaan kritis dari anakku, bahkan dari yang lain. Tak hanya tentang kematian, juga tentang kehidupan.
Terima kasih, Nak… Ummi banyak belajar darimu. Semoga kita bisa menjadi hamba-hamba yang mendapat rahmat-Nya kelak, di hari akhir nanti. Amin.
http://fivym.multiply.com