Adakah di dunia ini yang sebegitu pentingnya sampai anak tercabut dari pelukan kasih ayah bundanya? Apakah yang dapat membuat seorang ibu rela anaknya berpindah kasih kepada orang lain? Aku sungguh tidak mengerti. Seandainya aku ini ibunya, niscaya tak ’kan kuizinkan siapapun merenggutnya dari sisiku. Tak ’kan pernah kurela dijauhkan darinya. Apalagi kalau cuma demi sepotong karier.
Hingga kini perasaanku masih seperti diaduk-aduk. Fitrah keibuanku terusik.
“Apakah ada orangtua kayak gitu?” Pertanyaan itu kerap mengganggu pikiran.
“Ya, ada. Dia itu orangnya. Mbak pun kadang tidak mengerti. Tetapi kenyataannya memang begitu,” ujar si Mbak meyakinkan.
Aku bertemu dia kebetulan saja. Suatu pagi di hari minggu, saat menuju pusat perbelanjaan di tengah kota. Waktu itu kulihat dua orang perempuan setengah baya. Salah satunya aku kenal sebagai pekerja kebersihan (cleaner) di apartemen kami. Mereka berdua sedang duduk di halte menunggu bis. Sengaja kuhentikan mobil pas di halte itu dan ajak mereka menumpang naik. Percakapan di dalam mobil bergulir dari basa-basi menjadi lumayan serius.
Kutanyakan perihal anaknya. Menarik ketika ia bercerita bahwa satu dari tiga anaknya itu sebenarnya bukan anak kandung. Bagaimana ceritanya sampai anak itu menjadi anak Mbak? tanyaku ingin tahu. Apakah orangtuanya sangat miskin sehingga tidak mampu menghidupi anaknya? Ataukah anak itu hasil hubungan luar nikah yang ditinggalkan orangtuanya? Aku sering melihat kasus seperti itu diberitakan di televisi.
“Orangtua anak itu kaya raya. Rumahnya besar dan megah, mobilnya banyak dan mewah. Dia itu anak semata wayang. Mbak ini cuma pengasuh anak itu. Tetapi Mbak ini mengasuhnya seperti anak Mbak sendiri.”
“Anak itu sudah Mbak asuh sejak umurnya baru 40 hari. Karena ibunya bekerja, selepas pantang, ibunya langsung kembali bekerja. Sampai sekarang ini umurnya sudah 18 tahun. Anak itu sudah menganggap Mbak sebagai ibunya sendiri,” jelasnya polos.
“Sebenarnya orangtua anak itu bukan tidak peduli sama sekali. Tapi karena mereka terlalu mementingkan karir, dan anak mereka pula sudah terlanjur sayang sama Mbak, akhirnya anak itu tinggal sama Mbak hingga sekarang kini. Padahal, apalah Mbak ini, suami hanya seorang kuli bangunan, Mbak pun cuma pengasuh anak. Tapi anak itu lebih suka tinggal di rumah Mbak yang miskin. Apa boleh buat, Mbak memang sudah menganggap anak itu seperti anak sendiri.”
Anak-anak diasuh oleh ‘Mbak atau Bibi’ atau dititipkan ke tempat penitipan anak selama orang tuanya bekerja memang sudah menjadi trend di Kuala Lumpur ini sejak lama. Jenis penitipan anak ini pun beragam. Ada yang berbentuk TK sekaligus penitipan anak, ada yang khusus penitipan anak saja (nursery) dan ada juga yang dilakukan di rumah-rumah tangga.
Bermula dari dititipkan dari pagi hingga sore, lama-lama anak itu merasa betah di rumah pengasuhnya itu. Hingga anak tersebut memasuki usia sekolah. Pulang sekolah langsung ke rumah pengasuhnya, sementara menunggu sore atau malam tiba baru di jemput. Kebiasaan yang dijalani saban hari akhirnya membuat si anak tersebut merasa lebih nyaman berada di rumah pengasuhnya. Mungkin dalam pikiran anak itu, rumah pengasuhnya itu adalah rumahnya yang sesungguhnya. Setiap pulang sekolah disambut dengan kehangatan lengkap dengan makan siang yang sudah tersaji. Sekali-sekala bahkan si anak pun memilih tidur di rumah pengasuhnya ketika si ibu dan ayah sibuk karena ada tugas luar kota (outstation).
Dalam benak saya terbayang. Mungkin ada kalanya si anak protes ingin ibunya tinggal di rumah. Atau meminta agar ibunya berhenti kerja. Atau paling tidak ibunya ada di rumah ketika si anak pulang agar bisa menyambut kepulangannya dari sekolah. Menyendokkan nasi untuk makan siangnya. Mendengar cerita tentang ulah kawan-kawannya di sekolah tadi. Mungkin dia sangat ingin menunjukkan hasil testnya hari itu, karena dia mendapat full mark. Atau banyak cerita tentang apa saja yang dialaminya hari itu. Hal lucu atau mungkin kisah sedih? Karena bagi anak-anak, menunggu hingga malam tiba sungguh lama dan akhirnya segudang cerita yang ingin disampaikannya sudah terlanjur basi. Sampai rumah semua kelelahan. Akhirnya malam itu mereka habiskan dalam kantuk yang tak tertahan. Si anak tersenyum dalam tidur lelahnya melihat dirinya bercengkerama dengan sang bunda.
Tentu payah bagi orang tuanya memberikan pengertian. Dua tiga kali rengekan anaknya ditanggapi dengan ceramah panjang pendek, berharap pengertian dari sang anak. Tapi keluhan yang kesekian mungkin dianggap sepi oleh mereka atau mungkin akhirnya memicu pertengkaran diantara mereka. Hingga akhirnya si anak pun bosan berkeluh kesah dan melarikan keluhnya ke pengasuhnya yang selalu ada bila dia perlukan. Hingga permintaannya untuk menginap berlama-lama di rumah pengasuhnya pun disambut gembira oleh orang tuanya karena dengan begitu tidak perlu bertengkar dengan anaknya lagi. Tidak ada yang protes jika dia pulang larut malam atau bahkan ketika mereka harus berhari-hari melakukan kerja outstation. Entahlah!
Mungkin dalam benak mereka, yang penting anakku tumbuh sehat, aman dan terjaga dengan baik. Pendidikan? Kan dapat di sekolah. Tugas mereka tinggal mencari uang sebanyak mungkin agar terpenuhi kebutuhan keluarga. Anak sudah dititipkan ke pangasuh. Soal kasih sayang dan kehangatan ada di urutan paling bawah. Cukup setahun sekali atau dua pergi tamasya sekeluarga waktu liburan sekolah.
Benar-benar tragedy of a modern family, ujarku dalam hati.
“No, no… it’s a common life-style of a modern family”, kata mereka dengan senyum jemawa.
Ah, kepalaku semakin nyut-nyutan membayangkan yang mungkin sesungguhnya terjadi. Pikiranku berkelindan. Masygul hati ini tak berkesudahan. Ah, mungkin memang begitu gaya hidup orang modern sekarang ini? Lantas kasih ibu yang sepanjang jalan itu di mana? Mungkinkah sudah tergerus oleh kemajuan zaman? Entahlah.