Sabtu sore. Hipermarket waralaba Perancis ini luar biasa padat. Akhir pekan seperti sekarang ini pengunjungnya memang berlimpah. Apalagi hipermarket ini terletak di jalan protokol ibukota. Alhasil, bila troli saling beradu atau mendadak terseruduk ibu-ibu yang terburu-buru memanggil partner belanjanya, itu hal biasa. Atau bahkan mendadak seorang anak menubruk kita dengan es krim yang lantas membasahi baju kita. Salah satu temanku pernah mengalaminya. Untungnya aku tidak. Setidaknya sampai saat ini. Di deretan stand buah segar hanya ada seorang ibu dan anak laki-laki keriting. Lucu wajahnya. Persis di belakangnya, tengah melihat-lihat buah kurma, ada pria keriting. Tapi tidak lucu wajahnya. Itulah aku.
“Kurang ajar!” Mendadak si ibu menyalak. Berderet-deret nama binatang keluar dari mulutnya. Mulai dari yang berkaki empat hingga sang uwak manusia versi Darwin. Lengkap. Apa dakwaan si anak yang tampak mengkeret dengan wajah pasi itu? Ia rupanya tak sengaja menyenggol tumpukan apel impor hingga berjatuhan. Orang-orang menonton dengan berbagai ekspresi. Lebih banyak yang tampak kasihan. Petugas hipermarket lekas membereskan. Singkat saja untuk membereskan tumpukan apel yang jatuh. Namun rasanya tak sebentar untuk mengobati luka hati bocah usia dua tahunan itu. Sepertinya demikian bagiku yang orang luar. Wajah anak itu meringis dengan linang air mata di pipi putih montoknya. Ia menunduk. Kakinya yang bersepatu menggosok-gosok lantai. Mungkin ia tengah minta bantuan pada peri tanah.
Anak tirinyakah ia? Sudut batinku bertanya. Teringat stereotipe anak tiri a la Ary Anggara dan di sinetron-sinetron kiwari. Tapi, ah, tidak. Wajah anak itu mirip sekali ibunya.
Drama ibu-anak itu berakhir dengan si ibu menggeret si anak berjalan sambil terus menyumpah-nyumpah tak jelas. Si anak melangkah terseret-seret bak anak kambing dipaksa masuk kandang. Anehnya, tangisnya tak bersuara. Hanya deras airmata yang kian menganaksungai. Ah, malang nian dikau bocah keriting! Maaf, sebagai sesama keriting, ‘ku tak kuasa membantumu. Moga Tuhan melindungimu.
Shopping sendirian berlanjut. Maklum, baru dapat transfer honor terjemahan yang lumayan besar. Namun kenangan tentang si anak juga berlanjut. Tidakkah si ibu tahu bahwa anak bukanlah hak milik atau investasi yang leluasa diperlakukan seenak hati? Ia adalah amanah Tuhan. Seperti kata Khalil Gibran, ”anakmu bukanlah anakmu. Ia adalah milik kehidupan.” Dalam sebuah riwayat, Nabi Muhammad SAW pernah menegur seorang ibu yang memarahi anaknya dengan kasar karena mengencingi baju sang Nabi. Sang Nabi yang lembut hati pun menegurnya dengan bijak, “Noda di bajuku ini dapat segera hilang tapi tidak demikian dengan luka hati anakmu.”
Di kesempatan lain Umar Ibnu Khattab bertanya keheranan ketika seorang sahabatnya merasa lebih “jantan” daripada sang khalifah—yang dikenal berperawakan besar dan jago perang–karena tak pernah mencium anaknya. “Bagaimana mungkin kau ini dapat dikatakan beriman? Bukankah Allah sendiri mencintai kelembutan? Aku sendiri mencium anak-anakku. Rasulullah pun amat menyayangi anak-anak dan cucunya. Bahkan ia rela memanjangkan rukuknya tatkala sang cucu bermain-main di punggungnya.”
“Anak adalah amanah bagi kedua orang tuanya. Hatinya yang suci adalah permata yang sangat mahal harganya. Jika dibiasakan pada kejahatan dan dibiarkan lepas seperti hewan, ia akan celaka dan binasa. Sedang memeliharanya adalah dengan upaya pendidikan dan pengajaran akhlak yang baik,” demikian tulis Imam Ghazali dalam kitab masterpiece-nya, Ihya’ Ulumuddin.
Seorang sahabat zaman kuliahku terkekeh mendengar ceritaku via telepon. Ia juga baru punya anak usia beberapa pekan.
“Kok ketawa?” tanyaku heran. Agak tersinggung juga.
“Ente mah kalo teori jago, Akhi. Prakteknya dong. Makanya nikah!” ujarnya dengan tawa kian keras.
Aku terdiam. Benar sekali. Untuk mencontohkan mendidik anak yang baik harus nikah dahulu. Karena ternyata anak itu tidak—seperti dalam mitologi kuno Eropa—datang dibawa burung berparuh panjang dan diletakkan di tempat tidur orang yang menginginkannya.
Jakarta, 2 Desember 2006