Anakku Sayang….

"Boleh anak anda saya jadikan model?"

Suatu siang, di taman Jiyuugaoka, tanpa disangka-sangka sapaan tersebut tiba-tiba mampir. Berdiri di hadapan saya seorang anak muda, sambil memegang camera dengan talinya mengantung di leher.

Melihat saya terdiam, lelaki muda tersebut mengeluarkan kartu nama. Dari profesi yang tertulis saya mulai bisa menebak. Ia mungkin seorang fotografer dari sebuah majalah. "Saya sedang membutuhkan beberapa model anak" Kembali lelaki muda itu meneruskan.

"Moshi yokattara, renraku kudasai… (Kalau berkenan, tolong hubungi….)" Sambil sedikit membungkukkan badan, lalu berpamitan. Meninggalkan saya dengan kartu nama di tangan.

Dari jarak beberapa meter, saya perhatikan si kecil yang sedang tertawa-tawa senang sambil berlari-lari kecil mengejar burung merpati liar. Matanya yang bulat, pipinya yang memerah serta kibaran jilbab kecilnya yang tertiup semilir angin musim dingin, menambah ‘cute‘ penampilan si kecil yang baru genap berumur satu tahun.

Memandang si kecil, ingatan saya kembali melayang-layang ke masa lalu. Hampir dua belas tahun pernikahan, saya menantikan kehadiran buah hati. Beberapa terapi dan pengobatan telah dijalani. Kadang melelahkan, menjemukan dan memilukan dengan beberapa kegagalan-kegagalan. Kehadiran si kecil dalam penantian panjang merupakan hadiah terindah dalam kehidupan saya. Bagai anak kecil yang kegirangan ketika mendapatkan hadiah mainan, begitupun dengan perasaan saya ketika berhasil mendapatkan buah hati. Rasanya, ingin sekali menjaga hadiah tersebut agar tetap indah.

Tawaran menjadi model? Ini bukan kali pertama si kecil ditawari. Beberapa bulan ke belakang, saat saya dan si kecil sedang berjalan-jalan di pertokoan, tiba-tiba seseorang yang mengaku agent model mendekati. Dengan pertanyaan yang kira-kira sama, saya menerima kartu nama dan diminta menghubungi jika berminat.

Jujur, ketika pertama kali si kecil mendapat tawaran menjadi model, hati saya melonjak riang. Jadi model anak? Di Jepang? Wah… Kesempatan bagus! Selain dapat memupuk potensi si kecil yang mungkin cocok di dunia modeling, juga dapat menjadi penghasilan tambahan yang nantinya bisa jadi tabungan si kecil. Begitu pikir saya awalnya.

Namun pikiran tersebut saya buang jauh-jauh ketika pada satu kesempatan, saya melihat kejadian yang tak terduga. Si kecil mulai bisa melambai-lambaikan tangan dan meniru posisi membungkukan badan. Dua keahlian baru si kecil yang tak pernah saya ajarkan sebelumnya. Si kecil mempelajari dua gerakan tadi dari lingkungan di sekelilingnya, yang mungkin ia serap ketika saya ajak belanja, main di taman, atau berjalan-jalan sore. Kebiasaan "bye-bye" dan "ojigi (memberi hormat dengan membungkuk)" yang ditiru dari masyarakat umum Jepang.

Si kecil dalam usianya saat ini memang sedang senang meniru dan menyerap banyak hal. Bagaimana jika sedari kecil dijadikan model lalu menjadi kerasan hingga dewasa? Dunia modeling diserapnya sebagai bagian dari hidup. Melenggak-lenggok di depan camera, di atas panggung untuk dikagumi orang-orang menjadi hal biasa. Terseok dalam kehidupan dunia gemerlap, mengikuti fashion empat musim negeri Jepang, tumbuh menjadi sosok dewasa yang terlepas dari gengaman erat Islam. Na`udzubillahimindzalik…. Merinding saya jika memikirkan hal tersebut.

Saya makin merinding ketika mengingat sebait syair dari buku "25 Kiat Mempengaruhi Jiwa dan Akal Anak" yang berbunyi seperti ini, "Apakah kau akan menangis atas anak yang sebenarnya telah kau bunuh? Ia telah mati dan kini apa yang bisa kau lakukan…?"

Bukan, saya memang tidak sedang ataupun tidak ingin membunuh perkembangan anak. Tapi melibatkan anak dalam dunia modeling yang mungkin jauh dari tatacara Islami, sama saja dengan siap membuka gerbang untuk ‘membunuh’ generasi penerus yang Islami. Saya tidak mau menangis, menyesali anak yang nantinya terlanjur hidup di luar tatanan aqidah Islam.

Anakku sayang….

Dua belas tahun menanti, ingin rasanya Ummi menjaga amanat yang telah diberikan ini sebaik-baiknya. Hingga waktunya tiba, Ummi dapat mengembalikan amanat tersebut sama seperti saat pertama kali menerimanya. Putih, bersih tanpa noda, terjaga fitrahnya.

Percayalah Nak, menjadi model, bukan satu-satunya jalan untuk mengembangkan potensi, kreasi dan prestasi.

***

Sebuah renungan, aishliz et Japan