Suatu sore di Majelis Anak Sholeh, sekolah di garasi kami. Tengah berlangsung seru tebak-tebakan seputar nama-nama nabi. Hampir seluruh santri antusias menjawab setiap pertanyaan yang dilontarkan guru mereka. Dan hampir setiap pertanyaan pula dapat terjawab anak-anak dengan baik.
Tiba-tiba, salah seorang santriwati, yang sejak tadi tidak pernah menjawab satu kalipun, berseru kepada ibu guru,
“Bu guru, pertanyaannya diganti aja dong, aku nggak bisa jawab…!”
“Diganti? Tentang apa, misalnya”, jawab bu guru dengan bijak.
“Mm.. pertanyaannya, siapa pemeran Azizah di sinetron puteri Azizah.. gitu bu guru..!”
Ibu guru, dengan agak terkejut, balik bertanya, “Memang kamu tahu, siapa pemerannya?” Bu Gurunya memang tidak tahu menahu tentang sinetron itu.
“Tahu dong, bu! Kirana Larasati!” Jawab si anak dengan lantang.
* * * * *
Cerita tadi disampaikan isteri saya, pada salah satu obrolan kami saat makan malam. Kebetulan memang yang pada saat itu menjadi guru adalah isteri saya. Para santri dikelompokkan berdasarkan usia. Kelompok terkecil, yang ikut main tebak-tebakan, umumnya usia TK.
Dari peristiwa tersebut, , ada beberapa hal yang menjadi pelajaran penting bagi kami, dan ingin saya sajikan lewat buletin ini.
Pertama, ternyata, pada umumnya setiap anak adalah cerdas. Mereka mampu merekam segala sesuatu dengan cepat, lebih dari yang kita sadari. Kalau mereka tidak mengetahui sesuatu, lebih karena tidak pernah diberitahu, dan bukan karena bodoh. Terbukti, menghapal nama artis yang lumayan sulit seperti Tamara Blezinki mampu dilakukan.
Jika kemudian yang lebih banyak mereka ingat adalah nama-nama artis, ketimbang nama nabi, sahabat, dan para ulama, berarti mereka memang lebih banyak dikenalkan – secara sadar ataupun tidak – dengan itu semua.
Siapa yang paling bertanggung jawab mengenalkan Islam sejak dini? Tentu saja orang tua mereka, kemudian para guru, dan lingkungan tempat mereka biasa berinteraksi.
Kedua, menyambung point pertama tadi, pada dasarnya setiap orang tua ingin anaknya lebih mengenal dan mencintai Islam. Tidak sulit untuk membuktikan argumen ini. Kenyataan bahwa mereka mengirim anaknya ke TPA adalah wujud keinginan mereka agar anak-anak mereka ‘melek’ Islam.
Mereka ingin anak-anaknya pandai membaca AlQuran, rajin sholat, disiplin menggunakan busana muslimah, sopan terhadap orang tua, hormat kepada guru, dan sederet atribut kesholihan lainnya.
Namun, sayangnya, keinginan yang mulia ini tidak selalu diiringi kesadaran dari para orang tua untuk memulai perubahan dari diri mereka sendiri terlebih dahulu.
Ketika mereka ingin anaknya rajin mengaji, mereka sendiri sering berat melangkah ke pengajian. Ketika mereka ingin anaknya lancar membaca AlQuran, mereka sendiri tidak pernah mencontohkan rutin membaca AlQuran. Ketika mereka ingin anak-anaknya rajin sholat, mereka sendiri tidak mencontohkan hal tersebut.
Mereka ingin anak-anak berlaku sopan, mereka sendiri terkadang tidak mempedulikan sopan santun ketika bicara kepada anak. Mereka ingin anak-anak menutup aurat, mereka sendiri lebih memilih mengikuti mode ketimbang mengikuti tuntunan sunah.
Pendidikan pertama dimulai dari rumah, oleh ibu dan ayah, bukan dari play group apalagi TK.
Anak-anak merekam kebiasaan-kebiasaan orang tua mereka. Misalnya, contoh yang mungkin sering tidak kita sadari, kebiasaan orang tua untuk berkeluh kesah, entah menghadapi masalah kantor, atau sekedar mengeluhkan hari yang panas atau hujan, atau sekedar nyamuk yang berkeliaran menjelang tidur, akan terekam di alam bawah sadar mereka. Mereka pun akan mudah mengeluh menghadapi berbagai kesulitan.
Kebiasaan-kebiasaan orang tua yang lainnya juga akan mereka ikuti tanpa sadar. Orang tua yang banyak menghabiskan waktunya di depan televisi, tidak perlu heran jika menemukan anaknya lebih senang menonton sinetron ketimbang membaca.
Seharusnya, ada keselarasan antara pendidikan di sekolah dengan pendidikan di rumah. Nilai-nilai Islami yang diajarkan di sekolah hendaknya menemukan kenyataan praktisnya di rumah. Anak-anak dapat melihat contoh langsung dari orang tua, dan lingkungan mereka.
Perbedaan tata nilai antara tempat pendidikan seperti TPA, dengan rumah berpotensi membingungkan anak, dan melunturkan nilai-nilai Islami yang sudah mereka pelajari.
Nah, ada hal terakhir yang hendak saya sampaikan sebagai penutup, yaitu, ajakan untuk melakukan introspeksi.
Introspeksi terhadap apa?
Introspeksi seberapa jauh kita sudah mengenal diin kita sendiri. Jangan-jangan, seperti santri yang tadi saya ceritakan, kita lebih mengenal para artis, sejarah hidupnya, lika liku perjalanan karirnya, kehidupan rumah tangganya, dan lain sebagainya.
Kita mungkin malah ‘lupa-lupa ingat’ sejarah hidup nabi, jatuh bangun beliau dalam menegakkan Islam, contoh-contoh prilakunya sehari-hari, serta nilai-nilai universal kehidupan yang beliau ajarkan.
Padahal, meneladani nabi dan kehidupan orang-orang shalih lebih memberikan jaminan kebahagiaan hidup, membangun kesadaran bahwa dunia ini cuma sementara dan sangat singkat, dan menuntun kita membangun masa depan cemerlang di akhirat kelak.
Wallahu a’lam
Sabruljamil.multiply.com