Entah kenapa saya ingin sharing cerita ini. Tiada maksud lain kecuali berbagi pengalaman yang membuat saya semakin yakin, bahwa Allah senantiasa ada disaat kita membutuhkan kehadiran-Nya. Sekali lagi yang ingin saya tegaskan, Allah selalu hadir jika kita membutuhkannya, meski sesungguhnya Allah tidak pernah ke mana-mana dan senantiasa di dekat kita. Hanya saja, seringkali kita mengabaikan keberadaannya, atau bahkan sedang ‘tidak’ membutuhkan-Nya.
Pekan kedua di bulan Februari ini, saya mengalami banyak hal yang cukup menguras pikiran. Ini bukan soal handphone yang hilang, lebih dari itu. Ibu saya sakit dan butuh biaya yang tidak sedikit. Di pihak lain, Ayah (mertua) saya masuk rumah sakit, dirawat dan sudah tentu membutuhkan biaya. Memang tidak hanya saya, anak yang harus menanggung semua biaya tersebut dan biasanya memang tidak demikian. Hanya saja, -saya yakin ini skenario Allah- adik-adik saya, dan juga adik-adik isteri, untuk kali ini tidak bisa maksimal membantu seperti biasanya. Jadilah, sebagian besar biaya itu harus diselesaikan oleh saya.
Saya mencoba tenang untuk mengatasinya. "Insya Allah ada, " jawaban saya untuk isteri yang bertanya, "Abang punya uang?"
Alhamdulillah uang di tabungan sudah dikirim untuk membeli obat ibu. Kini giliran mengupayakan uang untuk biaya rumah sakit Ayah. Di pekan kedua Februari itu, mulai bingung memutar otak dari mana mencari uang, padahal tiga hari lalu Ayah sudah boleh pulang. Saya pun teringat satu hal yang membuat optimis bisa mengatasi semua ini. Bulan Februari adalah bulan pembayaran royalti buku saya. "Semoga penerbit tidak telat mentransfernya ya Allah, " doa saya.
Senin sore pekan kedua itu, mampir ke ATM untuk cek saldo. Mengernyit dahi ini, melihat saldo tidak bertambah. Berarti belum ada transferan royalti. Saya pun pulang dengan lesu. Dua hari lagi Ayah pulang, uang belum di tangan. Esok malamnya, saya berniat kembali ke ATM, lagi-lagi untuk cek saldo. Sebelumnya, mampir dulu membeli martabak pesanan si kecil. Pada saat menunggu pesanan, tiba-tiba seseorang mencolek lengan saya, "kasihan pak, minta uang pak…" rupanya seorang nenek pengemis.
Ada tinggal satu lembar uang di kantong, karena sebelumnya sudah saya bayarkan ke tukang martabak. "bismillaaah…" yang selembar itulah yang saya berikan ke pengemis tua itu. Sedetik kemudian, meluncurlah sebaris doa, "dimudahkan urusannya, dilancarkan rezekinya, dipanjangkan umurnya…" Tidak menunggu aba-aba, saya segera mengaminkan doa pengemis tua itu.
Memang, doa seperti itu yang saya harapkan. Secepat mungkin saya mengaminkan doa itu, berharap Allah benar-benar memudahkan segala urusan yang tengah merumitkan pikiran ini. Setelah membeli martabak, mampir lah saya ke ATM untuk cek saldo. "Semoga sudah ada, " harap saya.
Malang niang nasib lelaki ini. Baru saja memasukkan kartu ATM, rupanya mesin ATM-nya error. Kartu langsung ‘tertelan’, sedang hari sudah malam. Tidak bisa complain terhadap petugas bank atau lainnya. Saya mencoba membenahi hati, "terima kasih Allah telah melatih kesabaran buat hamba" ujar saya dalam hati.
Esoknya, tepat di hari Ayah akan pulang dari rumah sakit. Saya kembali ke Bank tempat kartu ATM saya ‘tertelan’ untuk mengurusnya. Tak lebih dari lima belas menit, urusan pun selesai. Saat itulah saya menuju ATM lagi, dan "Subhanallah, terima kasih ya Allah…" saya bersyukur habis-habisan. Sejumlah uang yang saya butuhkan untuk biaya rumah sakit nampaknya bukan lagi masalah.
Terima kasih Allah, atas pelajaran berharga di pekan kedua Februari itu. Allah, memang selalu hadir disaat kita memang membutuhkan-Nya. Walau saya pun tahu, andai kita mengabaikan-Nya pun, Dia selalu ada. (gaw)