Oleh: Vicky Yunita Clara Wati (Mahasiswa Jurnalistik PNJ)
Pernahkah kalian berpikir mengapa Tuhan tidak memberikan apa yang kita inginkan? Benarkah sesuatu yang kita miliki adalah hal yang kita butuhkan? Terpikirkah bahwa sesuatu yang dimiliki mempunyai masa?
Hal itu selalu terpikirkan olehku. Mengapa aku tidak seperti mereka? mengapa aku tidak sempurna? Aku iri dengan mereka, aku ingin merasakan kasih sayang seperti yang mereka rasakan, aku juga ingin bermanja dengannya. Aku ingin seperti mereka, memanggilnya dengan sebutan ‘Ayah’.
Seiring berjalannya waktu, hasrat itu ikut memudar. Aku mulai menyadari, Tuhan memang tidak mengabulkan keinginanku, tapi Ia memberikan sesuatu yang ku butuhkan. Seorang malaikat yang melindungiku melebihi seorang ayah, menjagaku melebihi seorang kakak, dan menyayangiku melebihi seorang adik.
Dia begitu kokoh, tampak tegar meski tau ia tak sanggup, berusaha kuat meski tidak tau caranya bertahan. Menunjukkan jalan meski ia pun tidak mengerti arah yang dituju. Mencoba optimis meski ia sendiri ragu. Dan berdiri tegak meski tau ia pun membutuhkan sandaran.
Dia selalu tau posisi ia berpijak, dan tau apa yang harus dilakukan. Ia mampu berjalan di depan, memberikan contoh terbaik untuk orang yang mengikuti di belakangnya. Ia juga mampu berjalan berdampingan, saling berpegang tangan dan tersenyum layaknya sahabat. Ia pun mampu berjalan di belakang, memberikan perlindungan untuk orang di depannya.
Selama belasan tahun ia berjuang seorang diri untuk hidup kami. Waktu pun terus berputar, kini usiaku delapan belas tahun, Keadaan telah menuntutku untuk dewasa dalam berpikir. Adikku, bukan lagi seorang bayi merah ketika Ayah meninggalkan kami, kini ia telah memasuki masa remaja.
Bagaimana dengan malaikatku? Ketika ia tidur tampak jelas kerutan di wajahnya tanda bahwa ia mulai lelah. Ketidak berdayaannya yang selalu ia sembunyikan untuk sekedar menunjukkan bahwa ia kuat, kini jelas keasliannya. Tidak ada yang bisa ku lakukan selain memandanginya.
Waktu terus merenggut kebersamaan kami. Kesibukkan telah menyita waktu kami masing-masing. Hanya tersisa kenangan ketika kami bersama, tertawa, canda dan bahagia. Adikku kini asyik dengan masa remajanya, aku pun sibuk menata masa depanku. Sedangkan ia?? Menua seiring waktu.
Ucapan terima kasih tidak akan pernah cukup untuk membalas segala hal yang ku terima darinya. Tidak pernah ku izinkan ia bersedih, aku hanya ingin melihat kebahagiaannya, tangis harunya untuk menunjukkan kebahagian dirinya atas usahaku, sangat ku damba.
Akankah ku mampu mewujudkan hal itu? Bagaimana jika aku terlambat?
Bagaimana jika waktu berkata lain?
Aku selalu berusaha mengenyahkan pemikiran itu, terlalu takut untukku sekedar membayangkan hal itu terjadi. Aku tidak akan pernah sanggup menghadapi hal itu. Aku benci memikirkan akhir kebersamaan kami.
Memang aku tidak pernah meminta untuk dilahirkan olehnya, aku pun tidak pernah memilih untuk menjadi anaknya, tapi jika aku diberi kesempatan untuk hidup kembali, aku akan meminta posisiku yang sekarang.
Tidak pernah terbayangkan memiliki harta berharga sepertinya. Seorang yang selalu mengesampingkan kepentingannya demi kebahagiaan kami. Aku tidak pernah ingin berpisah darinya. Aku mampu berpisah dengan ayah, karena aku memilikinya. Tapi bagaimana jika ia meninggalkanku juga? Apa yang harus ku lakukan?
“Maafkanku yang selalu menusukkan pisau di hatimu, mengiris perasaanmu dengan ucapanku, maafkan segala ketidaksengajaanku yang membuatmu kecewa. Terima kasih untuk semua pelajaran yang kau berikan, terima kasih karena kau selalu berusaha kuat di hadapanku. Aku mohon, jangan pernah tinggalkan aku. Aku ingin kau terus berada di sampingku, menguatkanku dan berjalan bersamaku menuju tujuan kita. Malaikatku. Mama”.