Seperti biasa pagi itu sebelum berangkat kerja, aku sempatkan terlebih dahulu untuk mengantar dua buah hatiku pergi ke sekolah. Si sulung sudah kelas 1 SD dan adiknya baru TK A di sebuah sekolah Islam Terpadu di daerah Kranggan Bekasi. Walaupun aku sendiri cukup sibuk dengan persiapan berangkat kerja, tapi sorot mata pengharapan kedua buah hatiku untuk mengantarnya ke sekolah membuat aku tak kuasa menolaknya. Dan memang aku lihat ada gairah tersendiri yang menambah semangat mereka ketika aku sendiri yang mengantarnya pergi ke sekolah dibanding jika diantar oleh khadimat.
Di perjalanan pulang setelah mengantar keduanya, secara tidak sengaja aku berpapasan dengan seorang tukang las karbit keliling. Angan-anganku langsung melayang teringat akan sebuah meja pingpong (tenis meja) tua yang teronggok di depan rumahku. Walaupun sudah berkarat di sana-sini dan ada beberapa bagian yang sudah patah di kaki-kakinya, meja pingpong itu merupakan sarana silaturrahim kami dengan tetangga sekitar dalam melewatkan hari Sabtu dan Minggu setelah dalam 5 hari masing-masing disibukkan dengan urusan kerja.
Kami biasa berolah raga dengan bermain tenis meja pada hari sabtu dan minggu bahkan terkadang sampai larut malam sambil bertukar pikiran dan berdiskusi membahas apa saja untuk kebaikan lingkungan dan warga. Maklumlah di situ aku dipercaya memegang jabatan sebagai ketua RT. Sebuah jabatan yang tidak populer dan seringkali ditolak oleh sebagian besar orang ketika dipilih sebagai ketua RT.
Memang dari awal aku sudah tahu bahwa ketua RT tidak mendapatkan gaji dari jerih payahnya, harus selalu rajin ke pertemuan warga, ikut kerja bakti, siap berkorban waktu, tenaga dan pikiran, sering juga harus merogoh kocek sendiri, dan yang paling sering adalah diprotes warga ketika harus ada kenaikan iuran sekedar untuk ongkos kebersihan, keamanan atau untuk peringatan 17 Agustusan. Tetapi yang membuat aku ringan menjalaninya adalah semua aku niatkan sebagai ibadah dan semoga mendapat ridha Allah SWT.
“Bang, ke jalan Mawar X bisa?“ Tanyaku kepada Abang tukang las itu setelah menghampirinya. ”Oo… bisa, bisa…., Jalan Mawar X sebelah mana ya?” Dia balik bertanya dengan penuh antusias. “Ke sana Bang, lurus terus belok kanan dekat lapangan, yaa kira-kira 500 m dari sini,” kataku sambil menjelaskan ke arah rumahku di sebuah kompleks BTN yang cukup padat.
“Emangnya ngelas apaan sih?“ Tanya Abang tukang las itu sambil mengerutkan keningnya. Dari guratan garis wajahnya terlihat akan beratnya masa lalu dan kerasnya kehidupan yang telah dilewatinya. “Itu Bang, meja pingpong sudah banyak yang keropos dan patah,” jawabku sambil minta izin untuk mendahului pulang dengan mobil dinasku yang berplat merah agar aku bisa mempersiapkan terlebih dahulu meja pingpong itu sebelum dilas.
Di dalam hati aku berharap, mudah-mudahan tukang las itu bahagia dengan rejeki pertamanya hari itu, maklum masih pukul tujuh pagi dan yang lebih penting aku ingin membuat surprise tetangga-tetanggaku sore hari nanti ketika mereka pulang sudah mendapati meja pingpong telah rapi dan kuat sehingga menambah semangat mereka untuk berolah raga sambil silaturrahim.
Sepuluh menit kemudian tampak tukang las itu sudah sampai di ujung Jalan Mawar X seperti yang aku tunjukkan sebelumnya. Segera saja meja pingpong kami gelar untuk mengetahui bagian-bagian mana saja yang harus dilas atau dilapisi dengan plat besi agar lebih kuat. Setelah kami hitung bersama ternyata ada sepuluh titik yang harus diperbaiki, Menurut perkiraanku, biaya yang pantas untuk perbaikan itu kurang lebih limapuluh ribu rupiah.
“Nah… sekarang biayanya kira-kira berapa Bang?” tanyaku. Sejenak abang itu diam, kelihatannya agak lama dia memutuskan harga yang pas untuk transaksi itu. “Seratus tujuh puluh lima, Pak” jawabnya singkat.
Kaget juga aku mendengarnya, karena antara biaya yang aku perkirakan dengan penawaran tukang las itu sungguh jauh berbeda sehingga aku agak sulit untuk menawarnya. Namun ekspresiku tidak kutunjukkan padanya agar dia tidak kecewa. Sekedar untuk meyakinkan aku bertanya lagi, “Seratus tujuh puluh lima apaan Bang?” “Ya seratus tujuh puluh lima ribu,“ jawabnya dengan sigap.
Di dalam hati aku beristighfar, mahal amat harga yang ditawarkan Abang itu, uang Rp 175.000,- bukan jumlah yang kecil bagiku apalagi ini bukan untuk kepentingan sendiri melainkan untuk kepentingan warga yang rencananya akan aku talangin sendiri agar tidak membebani kas RT yang menurut laporan bendahara saat ini sudah minus karena ada beberapa warga yang telat membayar iuran bulanan. Bahkan ada warga yang sampai 2 tahun tidak mau membayar iuran bulanan, padahal dia berharap sampahnya diangkat setiap hari, keamanannya terjaga, urusan administrasi RT beres, dan banyak tuntutan lagi.
Sejurus kemudian secara spontan aku berkata kepada tukang las itu “Wah mejanya aja kalau dijual nggak sampai seratus ribu, Bang,” Aku menunggu reaksinya dan berharap dia mau menurunkan harga penawarannya. Tanpa kuduga sebelumnya, wajah abang itu langsung memerah menampakkan kemarahannya. Aku kaget karena dari tadi proses pembicaraan kami biasa-biasa saja dan tidak nampak adanya ketersinggungan.
Tiba-tiba dia berkata dengan nada yang lebih tinggi, “Bapak ini hanya mempermainkan saya, saya kan tidak membeli mejanya tapi disuruh ngelas, kalau begitu ya sudah, Bapak hanya nyapek-nyapekin saya aja. Apa Bapak mau tinggi-tinggian mentang-mentang berplat merah,” sergahnya sambil menunjuk ke arah mobil dinasku yang dari tadi terparkir di bawah pohon mangga depan rumahku.
Tanpa banyak omong lagi tukang las itu memutar kembali gerobak lasnya menjauhiku. Aku masih berdiri tertegun di samping meja pingpong tua itu. Jawaban dari tukang las itu serasa menampar wajahku berkali-kali. Aku tidak menyangka reaksi dari tukang las itu begitu dahsyat. Padahal aku hanya berusaha menjalankan proses tawar menawar dalam sebuah transaksi, dan itu adalah hal yang biasa.
Tidak tahu mengapa ingatanku kemudian melayang kepada berita di televisi yang memberitakan bahwa hanya gara-gara permasalahan sepele seseorang berani berbuat nekat dan masih banyak lagi gambaran buruk lainnya, dan tiba-tiba aku mengkhawatirkan diri dan keluargaku kalau di lain waktu tukang las itu akan berbuat nekat. Karena menurut beberapa cerita, banyak eks narapidana ketika di dalam penjara dilatih keterampilan mengelas, menganyam, dan berbagai keterampilan lainnya agar setelah keluar dari penjara nanti dia mampu kembali ke masyarakat dan dapat hidup mandiri.
“Astaghfirullahal ‘Adzim” ucapku lirih sambil memutus angan-anganku agar tidak keterusan. Tak kusangka, tidak lama kemudian terlihat lagi abang tukang las itu sedang menuju ke arahku. Kali ini aku tidak khawatir, justru aku gembira dalam hati “inilah kesempatanku untuk menebus kekecewaannya dan meredam amarahnya agar tidak timbul dendam kesumat di hatinya”. Memang benar dia masih marah kepadaku tentang ucapanku terakhir tadi.
Tetapi segera aku beranikan untuk memotong perkataannya dengan mengajukan penawaran harga yang tinggi dan aku yakin dia pasti mau menerimanya untuk pekerjaan yang tidak terlalu berat itu. “Bagaimana kalau seratus ribu, Bang?” kataku sembari berharap dia mau menerima tawaranku dan segera selesailah permasalahan ini walaupun sebenarnya aku keberatan dengan harga itu.
Benar saja dugaanku, walaupun masih marah abang itu langsung menjawab, “Nah begitu dong.” Dengan cekatan dia mulai mengelas satu persatu bagian yang perlu diperbaiki. Tak lupa sebatang rokok Dji Sam Soe yang dikeluarkan dari saku bajunya selalu menemaninya sampai pekerjaan tersebut selesai. Setengah jam kemudian tuntaslah pekerjaan itu.
Tiba saatnya aku memberikan upahnya. Untuk memastikan bahwa dia tidak marah lagi kepadaku, maka aku sempatkan mengambil baju batik dari gantungan lemari, kemudian aku bungkus rapi dengan koran dan aku berikan kepadanya seraya berkata, “Bang, ini ada baju batik untuk kenang-kenangan”. Dengan berbasa-basi dia menjawab “Wah ini ridho, saya jadi nggak enak nih?” “Ridho bang, itu buat Abang” kataku lagi sambil menyerahkan 2 lembar uang limapuluh ribuan. Sejurus kemudian tukang las itu mengucapkan terima kasih dan segera pergi untuk melanjutkan mencari rizki guna menafkahi anak isterinya di rumah dan tak lupa dia melambaikan tangan sembari mengucap salam kepadaku.
Aku bersyukur pada Allah SWT dapat membahagiakannya pagi ini walaupun sebelumnya aku telah membuatnya tersinggung. Aku teringat akan sebuah pepatah bijak yang diajarkan oleh ustadz ketika masih sekolah di madrasah di kampungku kira-kira 25 tahun yang lalu yaitu “Salamatul Insan fii Hifdzil Lisan” Keselamatan seseorang itu tergantung bagaimana cara menjaga lisannya.
Sekali lagi aku beristighfar dan berucap di dalam hati, “Ya.Allah.. ampunilah hamba Mu yang lemah ini, sesungguhnya dia tidak bersalah, akulah yang bersalah telah membuat hatinya terluka. Ya… Allah.. aku menyesal telah mengatakan itu padanya.”