Demam Facebook di seluruh dunia, para peselancar di dunia maya pun tak mau ketinggalan turut berjungkir balik melawan ombak informasi dan arus deras privacy yang bertubi-tubi menerjang tiap facebook pribadi yang rata-rata menggunakan nama lengkap aslinya. Tentu saja bagi yang jujur, berniat semata-mata untuk menyambung tali silaturrahim dengan kawan-kawan lama di masa sekolah dulu, dari jaman SD, SMP, SMU (dulu SMA) dan kuliah (Akademi maupun Perguruan Tinggi, dst.) akan menggunakan nama aslinya. Namun tidak sedikit yang menggunakan nama samaran, dan ia bebas berekspresi di facebook dengan sesuka hatinya. Bahkan ada yang pura-pura menjadi artis, kemudian ia melayani berbagai pertanyaan penggemarnya seolah-olah ia adalah sang tokoh pujaan yang dimaksud. Sungguh, ini yang disebut sebagai pembunuhan karakter. Banyak juga yang menampilkan foto di headshoot dengan wajah yang ganteng atau cantik namun bukan dirinya sendiri, diambil dari image artis-artis mancanegara sehingga banyak mengundang para facebooker yang ingin dikonfirmasi menjadi temannya. Fenomena seperti ini bisa dibilang memprihatinkan, karena bagi orang-orang yang "sakit jiwa" atau "penjahat" pun bisa bebas beraksi.
Perjalanan Aku Mengenal Internet
Sejak sepuluh tahun yang lalu mengenal internet di tempat bekerja, hidupku memang sudah tidak bisa jauh-jauh dari dunia virtual yang begitu mengagumkan bagiku. Dalam satu waktu yang singkat, aku bisa "kontak" dengan beberapa teman lama yang jaraknya jauh bahkan ada yang di Amerika atau negara lain, tanpa mengeluarkan ongkos banyak dan tidak usah pakai tenaga untuk berjalan atau mengeluarkan suara. Hanya jemariku yang menari-nari di tuts keyboard komputerku saja, tanpa harus berbicara dan mengatur mimik atau bahasa tubuh. Sangat cocok bagi diriku yang malas keluar rumah, bergaul dengan Ibu-ibu tetangga yang rajin berkumpul tiap sore di sekitar rumah atau pagi harinya ketika berkerumun mengelilingi gerobak sayur. Aku memang tipe orang yang malas keluar rumah kalau belum mandi, atau belum berpakaian rapi, jadi dalam bersosialisasi sungguh kurang optimal. Banyak yang bertanya kenapa aku jarang keluar rumah, hanya kujawab aku lebih suka di dalam rumah membaca buku, majalah, tabloid atau koran dan "komputeran". Mereka tidak bisa bertanya lebih jauh lagi karena sebenarnya tidak mengerti apa maksudku, apa yang aku lakukan dengan komputer sebagai Ibu Rumah Tangga?
Aku telah begitu familiar dengan yang namanya e-mail, mailing list (biasa disebut milis), blog, situs, search engine dan lain sebagainya. Aku pernah jadi ratu chatting di kantorku dulu waktu bekerja sebagai pustakawati, sampai ditegur oleh atasan, maklum baru kenal internet waktu itu dan status masih single jadi apa salahnya bergaul sebanyak-banyaknya di dunia virtual? Sudah puas chatting, aku rajin membuka situs-situs Islami yang memberikan siraman rohani positif bagi diriku. Karena aku juga merupakan anggota Youth Islamic Study Club di Masjid Al-Azhar Kebayoran Baru Jakarta, aku pun bergabung ke milis komunitas remaja masjid tersebut dan memperoleh banyak ilmu tentang Agama Islam yang sungguh variatif pandangan dan alirannya, namun lucunya sampai saat ini aku masih menganggap diri ini sangat awam dan ilmu Agamaku masih dangkal. Dengan bantuan internet juga aku bertemu jodoh, dengan suamiku aku hanya berkenalan kurang-lebih tiga bulan dan langsung menikah. Waktu itu kami dicomblangi oleh seorang ikhwan, namun karena kami merasa bukan sebagai "ikhwan" dan "akhwat" akhirnya kami bergerilya sendiri untuk mempercepat proses ta’aruf yang ternyata ditangguhkan oleh sang ikhwan yang adik kelas di almamater suami itu. Untung saja, kami "nakal" dengan cara menjalin komunikasi sendiri melalui e-mail, sempat "gombal-gombalan" sedikit dan akhirnya menikahlah kami hingga saat ini sudah memiliki dua orang gadis kecil berusia lima dan dua setengah tahun. Insya Allah kami bahagia dengan pernikahan ini.
Setelah Menjadi Istri, tetap Kecanduan Internet
Karena aku kesepian di rumah, suami tiap hari berangkat pagi dan pulang malam, internet adalah hiburan yang menemani hidupku. Aku selalu berusaha mencari sumber-sumber yang positif bagiku untuk menambah ilmu. Pada awal pernikahan, mungkin tidak ada masalah soal pengaturan waktu karena kami belum dikaruniai anak. Aku sempat kosong selama enam bulan sebelum hamil anak pertama. Setelah punya bayi, aku sempat meninggalkan internet, namun setelah anak pertama sudah agak besar aku kembali maniak internet. Aku juga menjadi Ibu rumah tangga yang nge-blog alias blogger yang tiap hari mengelola blog dengan mem-posting artikel atau curahan hati atau melihat-lihat foto teman sesama blogger dan membaca-baca atau me-reply posting mereka. Kami sahut-sahutan di dunia virtual yang tak terbatas ruang dan waktu. Aku sering meng-upload foto-fotoku sekeluarga terutama anak-anakku yang lucu, berbagi kebahagiaan dengan orang lain. Aku mulai punya blog pertama kali di Multiply, tapi entah kenapa malas membuka akun di situs lain termasuk Friendster. Ketika memutuskan untuk membuka akun di Facebook itu pun hanya ikut-ikutan teman-teman di milis penggemar salah satu pengarang wanita yang eksis di dunia perindustrian buku yang sangat aku cintai, dan aku pun terjun bergabung di gateway pertemanan yang arusnya cukup deras.
Aku terpesona dengan keajaiban teknologi yang membuatku bertemu dengan teman-teman lamaku dari masa kecil, remaja sampai menjelang dewasa. Facebook melepas rinduku pada mereka semua. Kami saling memberikan deretan kalimat berita terbaru tentang diri masing-masing, sharing foto-foto lama dan baru. Berkomentar yang aneh-aneh, lucu, menghibur dan kadang menasehati. Waktuku banyak tersita untuk Facebook, seringkali aku malas masak karena keasyikan di depan komputer. Setiap pagi, putri sulungku berangkat sekolah hampir berbarengan dengan suamiku dan putri ke-duaku masih tidur, nah langsung saja aku buka internet dan berjam-jam terlena sampai putri sulungku pulang sekolah jam sebelas siang dan adiknya bangun tidur (yang kecil ini memang bangunnya siang, karena tidurnya larut malam). Sementara Ibu-ibu lain memasak, aku malah "internetan". Jam makan siang, aku cuma menggoreng bahan olahan yang sebenarnya kalau keseringan tidak baik untuk anak-anak apalagi orang dewasa. Jarang masak sayur, akhirnya aku menggantinya dengan banyak buah-buahan atau camilan snack-snack, keju, sosis, nugget dan lain-lain yang lumayan mahal harganya. Aku pun jadi boros dalam pengeluaran untuk bahan makanan, karena sering juga membeli makanan matang dari warteg atau restoran fastfood yang ada di pinggir jalan dan mall kecil di depan perumahan tempat tinggalku. Kadang juga, karena sedang asyik, aku mengusir putri-putriku yang menghampiriku ke meja komputer. Begitu ingat, aku sering menyesal dan memeluk mereka. Namun kalau sudah tenggelam dengan internet, aku agak cuek dengan mereka. Sudah pasti, inilah godaan syaithan yang terkutuk!
Klimaks dalam Berinternet
Akibat sering upload maupun download foto-foto di Facebook, tagihan pemakaian internet di rumahku membengkak hingga limaratus ribuan rupiah! Aku kaget, tentu saja suami menegurku. Aku juga sempat membaca kekisruhan para pasutri yang hubungannya makin memburuk akibat Facebook, ada yang bercerai melalui Facebook, ada yang tidak mau mencantumkan status "menikah" di Facebook membuat mangkel pasangannya karena terbukti tidak adanya keterbukaan atau kejujuran antar pasangan. Sebenarnya apa masalahnya yang paling mendasar? Facebook adalah parameter kejujuran! Jika kita tidak jujur, masalah akan menumpuk. Kemudian suami mengingatkan, ada kasus anak kecil yang meninggal dunia karena ditinggal "internetan" oleh Ibunya! Astaghfirullaah … separah itukah? Lalu sahabatku semasa SMA lewat sms-nya bercerita bahwa ia takut pasang internet karena khawatir akan menimbulkan masalah seperti tetangganya yang sering ribut karena sang istri kecanduan internet.
Lalu bagaimana dengan aku sendiri? Kuingat-ingat lagi kelalaian apa saja yang sudah kuperbuat karena sudah kecanduan internet akut, dan berapa banyak manfaatnya dibanding mudharat-nya. Mengutip dari harian KOMPAS, Minggu 15 Maret 2009, "Orang yang kecanduan membangun pertemanan lewat internet tanpa disertai pertemuan fisik dengan orang tersebut akan kehilangan pijakan dengan dunia nyata. Ia masuk dalam dunia simulasi yang seolah-olah punya banyak teman, padahal tidak." Benar juga, ya? Apakah semua teman-teman yang bisa saling menyapa dan bertukar kabar berita serta aktivitas itu care dengan kita? Apakah mereka bisa memberikan solusi bila kita memiliki masalah dalam rumah tangga secara nyata? Mungkin hanya sekedar kata-kata, yang meskipun tulus namun kita butuh sesuatu yang lebih nyata seperti materi bilamana kita bermasalah dalam hal keuangan dan uluran tangan secara fisik bila kita sakit atau mengalami kecelakaan.
Kita harus tetap menjaga hubungan dengan orang-orang yang berada di dekat kita, seperti tetangga dan guru di sekolah anak (aku seringkali malas menjemput anak, karena terus duduk di depan meja komputer). Menjaga silaturrahim dengan sanak-saudara lebih diutamakan dari acara-acara reuni dengan teman-teman sekolah yang saat ini sedang trend. Yang terakhir masalah yang cukup pelik meski sederhana adalah berat badanku secara konstan menjadi lebih mudah naik, mungkin karena kurang bergerak dan terlalu banyak duduk akibat "internetan", belum lagi ditambah mengemil dan terutama karena pola makan menjadi kacau dari segi ketidakteraturan dan jenis makanan yang dikonsumsi. Suami pun complain dengan tubuhku yang terus melar tetapi susah kurusnya. Ini adalah peringatan bagiku, karena menyenangkan hati suami adalah kewajibanku sebagai istri, seperti juga menjaga dan mendidik anak-anak kami dengan baik. Ya Allah, ampuni aku yang telah melakukan banyak kelalaian, yang mungkin aku termasuk istri yang mendzolimi anak-anak dan suami, namun tidak aku sadari!
Solusi, demi Kewajiban sebagai Istri yang Bertanggung Jawab
Akhirnya kusadari bahwa semua ini tergantung kesadaran diri untuk memanfaatkan internet dengan bijaksana. Aku tidak bisa secara drastis meninggalkan internet, namun sedikit demi sedikit mungkin aku akan mengatur lagi porsi untuk berinternet dengan sebijak mungkin, hingga segala aspek kehidupan akan kembali menjadi seimbang. Memang aku mengakui di balik segala kelebihan yang diperoleh dari "gudang dari segala gudang ilmu di dunia" yang bernama World Wide Web ini, terdapat bahaya yang mengancam bagi setiap individu, baik dari segi psikologis, ekonomis, bahkan keharmonisan rumah tangga pun dapat terganggu oleh kehadiran internet. Dari segi keimanan, tentunya internet adalah suatu godaan yang hebat bagi yang tidak kuat menjaga hati dan kata-katanya di dunia maya yang jelas semu ini karena pemakai internet masih tersembunyi di "balik layar" yang semarak dengan fasilitas menjalin hubungan antar manusia yang beraneka karakter. Memang jika tanpa internet, siapa pun bisa menjadi orang yang tidak jujur, tidak setia, penipu dan sebagainya. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa internet adalah sebuah sarana yang sangat berkompeten untuk menunjang perilaku negatif bagi semua insan.
Sebagai Ibu Rumah Tangga, Alhamdulillaah segala informasi yang kuserap dan kubagikan pada teman di dunia maya adalah hal yang positif. Bahkan ketika belum menjadi seorang Istri dan Ibu, aku tidak hobby mengakses pornografi dari internet, dan ketika aku sedang gandrung chatting aku hanya berani "cuap-cuap" di layar mengumbar kata tetapi tidak hobby untuk bertemu alias "kopi darat" dengan orang yang belum dikenal, kecuali seseorang yang sudah benar-benar serius akan menjalin hubungan ke arah pernikahan dan Alhamdulillaah hanya bisa dihitung dengan tiga jari tangan (itu pun atas restu Ibundaku tercinta). Akhirnya aku dan suami pun mengakui bahwa internet tpernah berjasa terhadap "pertemuan" kami yang indah dan atas niat ibadah kami melakukan pernikahan, sehingga sampai detik ini aku masih bisa menggunakan internet di rumah atas ijin suami yang sudah pasti mengerti bahwa istrinya tidak bisa dijauhkan dari internet. Kini, tinggal aku sebagai Istri yang baik (begitu kan, harapan semua istri?) yang harus pandai-pandai mengelola waktu di segala bidang agar semuanya menjadi selaras, harmonis dan diridhoi oleh suami dan terutama Allah SWT, sehingga "kecanduan internet" akan berubah lebih baik lagi menjadi sekedar "kebutuhan internet" yang memadai dan dalam batas wajar. Semoga aku bisa menjalankannya, amiiin! Insya Allah …