Cuplikan Aksi Munasharah Palestina 20 Maret 2010
Angin sedang sangat bersahabat. Siang begitu sejuk selepas guyuran hujan. Langit Jakarta dipinjam awan. Dari kejauhan, terlihat salah satu sisi lapangan Monas sudah dipenuhi massa. Sebagian besar berkerumun di area panggung. Dari tangan-tangan mereka, terjulur ribuan kibar bendera dua negara: Indonesia dan Palestina. Sebagian massa lainnya tampak bersantai. Ratusan layang-layang mungil terbang rendah dimainkan anak-anak mereka.
Lafaz takbir terpekik nyaring menyambut orasi yang disampaikan. Semakin didekati, suara orator itu terdengar kian jelas. Orasinya terlalu lancar seperti tanpa jeda, tanpa banyak titik atau koma. Sesekali sang orator itu memakai kata “menghadirkan”. Ternyata benar, itu suara Ustadz Hidayat Nurwahid. Awal tahun lalu, ketika Gaza dibombardir, ia ikut rombongan ulama sedunia untuk bertemu dan melobi pemimpin negara-negara Timur Tengah agar menekan Israel dan mendukung penuh perjuangan rakyat Palestina.
Setelah orasi dari mantan Ketua MPR itu usai, pengarah acara mengomando dimulainya long march. Aksi kali ini mengambil rute Monas-Bundaran HI-Monas. Sejumlah nasyid bertempo cepat mengiringi massa yang terus berjalan menjauhi panggung. Beberapa kali yel-yel “Bi ruh, bi dam, nafdika ya Islam, nafdika ya Al-Aqsha!” pun dilaungkan. Dalam versi nasyidnya, yel-yel tadi sudah lama disadur menjadi lirik “Untukmu, jiwa kami! Untukmu, darah kami. Untukmu, jiwa, dan darah kami. Wahai Al-Aqsha tercinta!” Beberapa kali nasyid tadi dilantunkan, selang-seling dengan nasyid Merah Saga dan sejumlah nasyid perjuangan lainnya.
Di pintu gerbang Monas yang padat oleh arus massa, sejumlah jurnalis sudah bersiaga. Serombongan kru media tampak mencegat dua orang akhwat. Mereka yang dicegat sepertinya tidak menyangka akan diwawancara. Tetapi itu tidak menghalangi seorang perempuan yang mengangsurkan mic untuk bertanya “Kenapa mbak ikut aksi ini?” Peserta lain terus melanjutkan long-march.
Aksi bertajuk “Selamatkan Al-Aqsha dari Cengkraman Israel” ini tidak dapat dilepaskan dari perkembangan terbaru di Palestina. Seperti gencar diberitakan media-media Islam, rongrongan Zionis Israel atas Masjid Al-Aqsha kian mengkhawatirkan. Terlebih dengan dibukanya sinagog Yahudi di dekat kompleks kiblat pertama umat Islam itu. Pembukaan sinagog tersebut juga dinilai terkait dengan usaha Zionist Israel dalam penggalian terowongan bawah tanah, untuk merobohkan masjid Al-Aqsha, dan menggantinya dengan haikal Sulaiman.
Sementara itu, masih dari Tepi Barat, rencana pembangunan permukiman Yahudi di Yerusalem Timur menuai banyak kecaman. Salah satunya bahkan dari Uni Eropa yang melalui wakil-nya membatalkan rencana pertemuan diplomasi dengan pemerintah Israel sebagai bentuk protes. Obama sendiri konon menyebut rencana itu sebagai “tidak menolong proses perdamaian”. Meskipun kemudian, dalam pemberitaan terbaru, PM Israel Benjamin Netanyahu membantah dan menyatakan bahwa AS sudah mengetahuai dengan jelas rencana permukiman itu.
Belum lagi, dari hari ke hari, terjadi berbagai aksi penangkapan hingga pembunuhan terhadap warga Palestina yang eskalasinya terus meningkat, baik di Tepi Barat maupun di Jalur Gaza. Tak heran jika ulama Islam internasional pun menyerukan aksi solidaritas umat Islam di seluruh dunia. Sehingga, aksi di Indonesia ini, menjadi bagian tidak terpisahkan dari suara warga dunia yang memperjuangkan keadilan dan hak asasi manusia. Apalagi, kalimat pertama konstitusi RI, secara eksplisit menyatakan perihal bagaimana “kemerdekaan” dan “penjajahan” itu mesti disikapi.
Di perjalanan, massa melantangkan takbir dan yel-yel. Iringan nasyid terdengar dari satu dua mobil pick-up pengangkut sound system yang dibawa masing-masing rombongan. Di bagian massa yang cukup “hening”, seorang akhwat terdengar memimpin yel-yel: “Pejuang Palestinaaa! Are you ready?” yang segera lantang dijawab dengan nada menghentak oleh puluhan akhwat lainnya “Yes-, I-, am-, ready!” Kemudian mereka serentak bertakbir. Aksi yel-yel yang berulang itu tak urung menarik perhatian massa di sekitar mereka.
Tak terlalu jauh dari area Monas, sebagian massa mulai berjalan di jalur busway yang sedang lengang. Ketika ada bus hendak lewat, berangsur-angsur mereka menyingkir. “Yang bukan busway diharap minggir!” seloroh salah seorang ikhwan yang ikut menegur melalui megaphone-nya. “Jalannya di sini aja, di PKS Way!” sahut ikhwan lain menimpali. Memang tidak di semua ruas jalan ada kepanduan yang berjaga.
Aksi peduli Palestina semacam ini bukan yang pertama. Januari tahun lalu misalnya, PKS mengorganisir aksi sampai dua kali. Aksi yang pertama dijadikan kontroversi oleh sejumlah pihak karena dianggap sebagai kampanye colongan menjelang Pemilu 2009. Sedangkan aksi kedua berlangsung tanpa atribut PKS, seolah membuktikan bahwa suara kemanusiaan tidak dapat dibungkam oleh tudingan-tudingan yang cenderung dimodali oleh prasangka politis belaka.
Di beberapa ruas jalan, terlihat sejumlah petugas ber-syal biru. Mereka berdiri memegangi kantung kain yang juga berwarna biru. Sejumlah peserta aksi mengangsurkan genggaman tangan mereka ke dalam kantung itu. “One Man, One Dollar, to Save Palestina!” teriak seorang ikhwan berkali-kali sambil melayani sumbangan dari para peserta aksi. Tidak hanya perempuan berkerudung, sejumlah cewek abege tanpa penutup kepala pun ikut bersemangat menggalang sumbangan dengan kantung terbuka di kedua tangan mereka.
Kendati sangat banyak peserta aksi yang masih belum sampai HI, rupanya barisan terdepan peserta long-march sudah berbalik kembali, makin dekat menuju Monas. Mereka tampak bersegera. Di bagian paling depan, ada puluhan bendera merah putih yang berkibar dikirab oleh personil kepanduan berkemeja cokelat tua dan berikat kepala oranye. Kemudian disusul oleh barisan yang membawa bendera merah-hitam-putih-hijau, bendera Palestina. Bersama mereka juga tampak Anggota Dewan Syariah PKS Ustadz Ahzami Samiun Jazuli yang berlari-lari kecil, sehingga lipatan panjang kafiyeh yang terkalung di lehernya pun ikut terayun. Setelah itu, ada miniatur The Dome of The Rock yang dipanggul oleh belasan personil kepanduan. Lalu ada pula bentangan merah putih raksasa.
Batas siang sudah berlalu. Semakin banyak massa yang mendekati Bundaran HI. Dari salah satu bahu jalan, terdengar derap lari dari puluhan ikhwan yang berbaris dan meneriakkan nasyid Khaibar Ya Yahud. Seorang ikhwan berpostur tinggi besar dengan kaus hitam dan kacamata hitam, tampak memimpin rombongan tersebut. “Khaibar, khaibar Ya Yahud! Ja’isyu Muhammad saufa ya’ud!” teriaknya sambil sesekali membalikkan badan dan memberi aba-aba penyemangat dengan ayunan tangan.
Tidak sedikit pihak yang salah paham, lalu menuduh bahwa penolakan atas Zionisme sama dengan kebencian ras. Padahal sebagaimana diyakini, hidayah bisa sampai kepada semua orang yang dikehendaki-Nya, termasuk kepada orang Yahudi sekalipun. Contohnya adalah Maryam Jamilah (Margaret Marcus) dan Muhammad Assad (Leopold Weiss). Keduanya merupakan orang Yahudi yang kemudian kembali ke fitrah, dengan memeluk dienul Islam. Dalam usia 14 tahun, Maryam Jamilah telah menulis novel “Di Tepi Jalur Gaza” yang membela warga Palestina dan mengkritik bangsanya sendiri Yahudi. Dalam perjalanan intelektualnya, ia kemudian terlibat korespondensi dengan Syaikh Abul A’la Al-Maududi, pemimpin gerakan Jama’ah Islamiyah di Pakistan. Adapun Muhammad Asad, telah lebih dulu menjadi muallaf, dan di masa pendirian negara Pakistan, ia yang dekat dengan Muhammad Iqbal itu disebut-sebut turut serta dalam pembuatan draft konstitusinya. Ia pun menulis terjemahan Al-Qur’an dalam bahasa Inggris disertai tafsir singkatnya.
Jika derita bangsa Yahudi karena Naziisme dijadikan alasan sejumlah kalangan untuk bersimpati membela negara Israel, maka simpati dan pembelaan itu lebih tepat disebut sebagai kekonyolan. Kalau memang Eropa merasa ikut menanggung kesalahan Nazi, seharusnyalah negara Israel berdiri di Eropa. Sedangkan jika melihat sejarah, orang Yahudi malah mendapat perlindungan dari kaum muslimin, sebagaimana tercatat dalam berabad-abad kekhalifahan Islam.
Maka perlawanan terhadap kedzaliman Yahudi, dalam hal ini Zionisme, punya landasan kuat untuk disebut sebagai perlawanan dalam rangka memperjuangkan kemanusiaan. Perlu lebih dari sekadar kata “biadab” untuk menggambarkan bagaimana Israel menjajah bumi Palestina. Tidak hanya kebrutalannya dalam merampas tanah dan rumah-rumah, membakar masjid Al-Aqsha puluhan tahun lalu, menggilas seorang pejuang kemanusiaan seperti Rachel Corrie dengan tank panser, membantai para pengungsi, menembaki anak-anak dan perempuan, merudal seorang sepuh seperti Syaikh Ahmad Yasin; tapi juga Israel punya rekam jejak yang teramat buruk terkait berbagai pelanggaran atas perjanjian gencatan senjata dan pelecehannya atas banyak resolusi PBB. Belum lagi, di saat tembok Berlin telah lama dihancurkan, Israel malah membangun benteng tinggi yang dikecam banyak pihak dengan sebutan “tembok Apartheid”.
“Ingatlah, ingatlah perang Khaibar, wahai Yahudi! Pasukan Muhammad pasti kan menang!” begitulah nasyid Khaibar Ya Yahud terus dibawakan oleh rombongan ikhwan tadi sambil berlari dalam formasi barisan.
Tapi dalam aksi kali ini, tidak hanya ada aura perlawanan. Di salah satu bagian rombongan, tampak juga seorang akhwat yang beberapa kali membungkuk, lalu memunguti bungkus makanan minuman dan sampah non-organik lainnya. Sementara akhwat lainnya memegangi kantong plastik hitam, untuk menampung hasil pulungan.
Setibanya di Bundaran HI, peserta long-march mulai berbelok memutar arah. Personil kepanduan dan kepolisian bekerjasama mengatur giliran penyebrangan. Di kejauhan, tampak cukup banyak peserta aksi yang melepas lelah di pinggiran air mancur kolam tugu Selamat Datang.
Jam sudah lama menunjukkan waktu Ashar. Sebagian peserta aksi terlihat mempercepat laju jalannya. Setibanya kembali di lapangan Monas, terdengar pengumuman dari panggung yang menyerukan personil kepanduan agar berkumpul untuk upacara penutupan. Sejumlah personil polisi tampak berjaga dengan tenang. Sebagian besar massa sudah membubarkan diri. Bus-bus yang mengangkut rombongan dari berbagai daerah, diparkir di sekitar Istiqlal. Banyak juga massa yang ke stasiun Gambir. Sebagian lainnya masih berada di lapangan Monas. Ada yang memilih duduk lesehan di rerumputan dan pinggir jalan. Mereka terlihat menikmati perbekalan atau sekadar saling berbagi air minum. Sebagian lagi ada yang sibuk bermain dengan kameranya masing-masing.
Tidak ada yang lebih bersahabat selain hawa kemerdekaan. Senja begitu berani selepas dijejaki jutaan langkah-langkah kaki. Sebelum upacara penutupan, dari kejauhan terdengar suara pengarah acara yang mempersilakan seorang warga untuk berbicara. Di depan barisan kepanduan, lelaki penuh uban itu mengaku sebagai seorang pedagang di sekitar Monas. Usianya 71 tahun. Ia menyatakan dukungan bagi perjuangan pembelaan Al-Aqsha. Di tangannya tergenggam sang saka. Dengan intonasi tinggi ia berkata “Kalau perlu, saya siap ke Palestina!” Lalu takbir pun membahana.