Akan Kukejar Engkau Ke Ujung Aspal

Hidup itu seperti hukum ilmu alam yang bernama simbiosis. Kehidupan bersama antara dua makhluk yang berbeda untuk memenuhi kebutuhannya masing-masing.

Sebuah mata pelajaran ilmu alam yang pernah kita pelajari tapi sering dilupakan. Manusia yang satu perlu (bantuan) yang lain. Benar atau tidak tapi real-nya seperti itu. Kalau ada yang mengatakan tidak seperti itu boleh saja kita katakan…Hidup aja di hutan kaliii…

***
Beberapa hari membantu seorang kawan menyebar kartu undangan pernikahan membuat aku semakin tahu dan langsung menyadarkan diri. Ternyata sebanyak apapun uang di kontong, sehebat apapun orang serta terhormatnya orang pula pasti memerlukan bantuan pihak lain untuk meluluskan hajatnya. Tak terkecuali korupsi butuh juga orang lain untuk menggolkannya. Bukan begitu?

Lalu bagaimana dengan orang yang hanya memiliki baju satu kering di badan dan modal dengkul? Wah-wah tidak usah dipertanyakan lagi. Butuh banget orang lain selain dirinya. Kalau tidak seperti itu bisa jadi orang itu makan ati sendiri!

Halnya saat itu kawanku minta bantuan kepada aku untuk menemani dirinya menyebarkan undangan pernikahannya sekaligus diriku dijadikannya peta berjalan sebagai rute penunjuk jalannya. Maklumlah kawanku itu orang rantauan dari negeri seberang. Kawanku itu berasal dari Binjai, Sumutera Utara, Medan. Dan akan menikah pada tanggal 06 Juni 2009 dengan gadis pilihannya.

So, pasti kawanku itu tidak tahu peta Jabotabek (walaupun sudah bawa peta seperti kartun anak-anak yang memiliki poni di depan dengan khas tas ransel di punggungnya, Dora the explore). Dan juga orang baru di kota yang banyak gedung pencakar langit ini. Kota Jakarta.

“Yan, bisa bantui antar undangan pernikahan aku, tidak!” serunya tanpa basa-basi seperti kebanyakan orang Medan yang lainnya. Langsung ketitik persoalan.

Aku yang lebih banyak waktu tentu tidak bisa menolak ajakannya. Maklumlah beginilah nasib pengangguran terselubung seperti aku ini. Yang belum mendapatkan pekerjaan yang pasti. Sekali dapat panggilan kerja tapi harus menunggu panggilan selanjutnya. Seperti menunggu kepastian jawaban dari sang kekasih. Banyak pertimbangan. Saking banyak pertimbangan akhirnya pindah kepelukan orang lain. Kasian dehhh…

Dan juga hal ini dirasakan oleh aku sendiri. Atau, mungkin ini sudah garis hidupku yang Tuhan men-takdir-kan aku jangan mau jadi orang gajian seumur hidup. Sepertia apa kata Valentino Dinsi dalam bukunya itu. Padahal aku lahir di hari Kamis Legi. Shio monyet tanah. Rasio Taurus. Bukankah aku cocok bekerja di tempat yang basah. Di belakang meja. Seperti kata para peramal-peramal yang banyak mengiklankan diri di televisi. Entahlah. Tidak penting kaleee…

“Alamatnya sudah lengkap belum?” Tanyaku lagi agar memastikan bahwa alamat yang akan dituju itu jelas.

Begitulah aku ketika bila ada yang meminta bantuan kepadaku agar memberitahukan alamat seseorang. Karena aku paling bete dan sebel jika menuju suatu alamat seseorang jika kurang lengkap identitasnya. Padahal yang aku inginkan untuk lebih mempermudah dan tidak salahnya bisa mencatat erte-nya, erwe-nya serta nomor rumahnya bahkan sampai blok dan kavling-nya jika tinggal di perumahan. Bisa juga nama Pak erte-nya kalau perlu dicatat. Apalagi ketika sampai ditujuan belum ketemu juga alamat yang dicari bisa juga mampir ke rumah Pak ertenya dulu. Bukan begitu? Kalau nasib mujur siapa tahu bisa ketemu anak perawannya menyuguhi teh sekaligus buat cuci mata lelah seharian di perjalanan. Ngarep mode on…

“Rebes, Yan. Oke ya besok kita berangkatnya. Aku jemput jam sepuluh pagi. Dan sekarang aku pamit dulu ya ada urusan lagi.“

Akhirnya usai kawanku memberitahukan secara detail maksud dan tujuannya bertandang ke rumah ia pun lalu berpamitan. Dan tinggal akulah yang besok mempersiapkan diri. Jaga kesehatan.

***

Keesokannya seusai sepakatan janji bersama aku dan kawanku itu langsung tancap gas. Dengan menggunakan Suzuki Thunder berkapasitas 125 cc dengan lebih dahulu membaca basmallah kami berdua langsung meninggalkan rumahku.

Dan perjalanan jauh pun dimulai…

Beberapa jam kemudian dalam perjalanan menuju tujuan. Tiba-tiba dipertengahan perjalanan kawanku itu gelisah. Ternyata ia khawatir kalau-kalau salah jalan. Rute yang ia susuri keliru. Maklum kawankulah yang memegegang kmudinya.

“Benar tidak sih jalan yang kita lalui ini, Yan,” ujarnya ragu.

Aku yang mendengarnya seperti itu santai saja.

Tapi betapa terkejut ketika kawanku itu memberitahukan sebuah alamat yang masih asing di gendang telingaku.

“Alamatnya memang dimana sih?’ tanyaku memastikan lagi. Kebetulan alamat itu tertera di kartu berwarna hijau muda bergambar sepasang merpati sedang meraut pita. Romantis sekaleee…

“Ujung Aspal, Yan, alamatnya,” kata kawanku itu lagi.

Mulailah otakku berkerja tak pasti. Tujuh keliling dibuatnya. Karena alamat itu tidak pernah aku ketahui selama aku hidup. Kalau pun ada itu pun Ujung Dunia…Ujung yang tanpa ada ujungnya.

Namun dengan tekad untuk berbuat baik mengundang handaitaulan kawanku—dan menjalin silaturahim sesama kerabat saudaranya, kawanku itu mesusuri lagi dengan mengandalkan rambu tanda penunjuk jalan bercat hijau. Tanpa memerlukan aku lagi. Karena aku memang tidak mengetahuinya.

Alhamdulillah, dengan susah payah akhirnya kami berdua sampai juga di tempat tujuan. Itu pun lantaran atas bantuan kerabat saudara kawanku—yang akan dituju itu.

“Ya, sudah nanti dijemput deh pas sampai di alamat itu!” Begitu jawaban dari seberang jalan ketika kawanku menelepon dari ponselnya. Hingga kami berdua benar-benar sampai di tujuan alamat yang kami berdua cari tanpa kesasar lagi. Salah jalan. Keliru arah. Dan alamat itu bernama jalan Ujung Aspal.

Ujung Aspal, sebuah nama jalan di perbatasan Jalan Raya Bogor, Cijantung, Jakarta Timur. (fy)

(FLP Cabang Wilayah Jakarta)

Ulujami—Jakarta, 26 Mei 2009

Untuk kawanku inilah hadiah perkawinan engkau sebuah perjalanan yang aku tulis bersama engkau! Selamat menempuh hidup baru! Amin