Suatu hari di pemondokan haji di Mekkah, terlihat seorang laki-laki berusia 60 tahunan sedang asyik berkirim-kiriman SMS. “Dari siapa tho, Mas? Asyik betul dari tadi SMS-an. Cucu ya?“ tanya teman sepemondokannya sambil tersenyum.
“Ndak, dari si bungsu.” jawabnya masih asyik dengan telepon genggamnya.
“Biasanya anak perempuan itu perhatian ya. Saya lihat Mas tiap malam asyik ber-SMS ria.” Lanjut teman yang lain. Kali ini yang ditanya mengangkat sejenak wajahnya dari telepon genggamnya.
“Anakku lanang kabeh kok.” katanya sambil tersenyum. “Si bungsu ini memang perhatian sekali dengan kami. Walau jauh, tak pernah sedikitpun mengurangi perhatiannya.” Ada nada haru dalam ucapannya sambil membayangkan sang pengirim SMS.
Lain waktu si pengirim SMS ini sedang berada di ruangan kerjanya di salah satu laboratorium universitas. Sedang asyik bekerja tiba-tiba suara seorang laboran memecahkan konsentrasinya. “Telepon dari Ibu, Pak.” katanya sambil melongok dari balik lemari. Inti percakapan telepon itu, ibunda memintanya datang untuk membetulkan kompor! Tak dibantah permintaan ibunda. Tak dipikirkannya juga resiko kemacetan menuju wilayah barat Jakarta ini dari Depok. Tak dimintanya juga ibunda mencari orang lain untuk membetulkan benda itu. “Iya Bu… insya Allah selepas Bowo jaga ujian, langsung ke Kebun Jeruk.” janjinya. “Jangan lupa ya, Dek. Ibu jadi nggak bisa masak nih, kompornya tidak menyala.” katanya menegaskan. Hmmm… dia dipanggil Dek Bowo, itulah panggilan kesayangan di rumah. Panggilan Dek, menunjukkan urutan kelahiran dalam keluarganya.
***
Ada lagi hal menarik yang menujukkan kedekatan hubungan ibu dan anak ini. Saat ia bertugas menjadi pembimbing praktik lapangan mahasiswa. Ayah dan Ibunda mengantarkannya sampai lokasi keberangkatan. Dicium tangan ayahnya, lalu ibunya. Cuup… Cuuup… Muaaaaahh! Ibunda kemudian mendaratkan ciuman di pipi ananda. Tak dipedulikannya tatapan takjub mahasiswanya dari dalam bus melihat pemandangan itu. Lebih baik malu dilihat mahasiswa, daripada membuat sakit hati ibunda. Ini sudah jadi kebiasaan sejak kecil. Apa salahnya menyenangkan hatinya, begitu pikirnya.
Selain pandai menyenangkan hati, si bungsu selalu meminta restu keduanya untuk keputusan penting dalam hidup. Ada anjuran dari instansinya, agar staf pengajar melanjutkan studi ke luar negeri. Dicobanya beberapa aplikasi, namun sayang, tak ada yang berhasil. Dipikirkan apa kekurangannya, rasa-rasanya semua persyaratan sudah dipenuhi dengan baik. Saat wawancara pun tak ada masalah. Didiskusikan hal ini dengan sang istri. “Mas, sudah bilang ibu belum tentang hal ini?”
Ia berpikir keras. ”Sudah.” katanya pasti. “Maksudnya, tanya betul-betul apakah Ibu berkenan jika mas belajar ke luar.” lanjut istrinya.
Plak!! Ditepuk dahi menyadari kekhilafannya. “Iya, betul. Belum tanya ibu berkenan atau tidak. Saya hanya memberitahu, mau melamar beasiswa.” katanya sambil manggut-manggut. “Ibu mungkin keberatan selama ini, karena konsekuensinya kita akan jauh darinya.” katanya dengan suara pelan.
Jawaban ibunda terjawab keesokan hari. Dipandang anak bungsunya dengan seksama. Sebuah episode berat terbayang menggelayut wajah ibunda. “Dek…. Ibu ridho kok kalau Dek Bowo mau sekolah ke luar…” katanya tercekat. Lalu diam. Terlihat buliran air mata menganak sungai di pipinya. “Tapi… tapi… kalau misalnya kesempatan itu didapat…,” kalimatnya terputus. “ Jangan sampai menjauhkan kita ya, Dek.” katanya tak kuasa menahan tangis. Meledaklah tangisnya. “Huuu… Huuu… Dek Bowo itu yang paling tahu kesenangan dan kesusahan Bapak Ibu.” cetusnya dengan berlinang air mata. Demi mendengar itu, diambilnya tangan ibunda. Diciumnya tangan yang sudah penuh guratan ini dengan takzim. “Saya berjanji Bu, insya Allah walaupun jauh akan selalu menghubungi Ibu sama sering ketika Bowo berada di Depok.” janjinya sambil menahan linangan air mata.
Dan… Ajaib! Kali ini berhasil! Ridho Allah berada dalam keridhoan orangtua terbukti. Maka dimulailah babak baru keluarga kecil Bowo di Negeri Matahari Terbit.
***
Ya Allah, Ku berterima kasih telah Engkau berikan seorang suami yang begitu mencintai kedua orang tuanya. Dia telah mengajariku bagaimana menghujani cinta dan perhatian terutama bagi ibunda, dimana di telapak kakinya surga-Mu berada. Semoga kecintaan kami dan kecintaan kedua orang tua kami, mendekatkan kepada cinta-Mu. Amiin.
Okayama, 27 Muharam 1430 H
[email protected]