Apa yang tidak dimilki oleh keluarga itu! Rumah besar, kereta mewah berjejer di garasi, jabatan yang tinggi di perusahaan, perabot rumah yang mahal-mahal, dan anak-anak yang sehat. Sebut saja destinasi pelancongan asia dan eropa, hampir semua sudah dikunjungi.
Masih kuingat kira-kira setahun yang lalu ketika musim liburan sekolah, mereka sekeluarga pergi melancong keliling Eropa selama dua minggu. Sungguh merupakan liburan yang sangat menyeronokkan. Tidak sedikit uang yang dikeluarkan untuk mengisi liburan ini, hampir 180 juta rupiah untuk 6 orang anggota keluarga. Cukup untuk ongkos naik haji mereka sekeluarga.
Baru-baru ini mereka melancong ke Bali selama seminggu. Dalam hatiku terdetik, alangkah bahagianya keluarga itu dengan nikmat yang diberikan Allah. Tapi kebahagiaan mereka tidak seiring dengan kebahagiaan rohani yang ada pada diri mereka setelah aku tahu bahwa anak-anak yang sudah mulai menginjak umur baligh tidak dapat menunaikan fardhu shalat yang memang adalah satu kewajiban yang tidak boleh tidak dilakukan dalam keadaan bagaimanapun jua.
Rasanya sudah berbuih mulut ini menasehati mereka untuk tidak meninggalkan ibadah yang satu ini. Kalau diajak shalat, mereka akan shalat dan ketika ditanya apakah sudah shalat atau belum? Jawabnya hanya ‘cengengesan’ saja. Dalam hati ini hanya istighfar yang dapat kuucapkan. Sebegitu miskinkah nilai-nilai Islam dan Iman yang ditanamkan orangtua mereka terhadap mereka.
Beberapa kali aku juga sempat menyelidiki keadaan sebenar keluarga itu dari pembantunya. Maksudku bukan untuk mencari-cari kesalahan dan siapa yang salah. Lebih dari itu untuk mencari penyebabnya dan berusaha mencari solusinya. Ternyata kesibukan orang tua bekerja dan mereka sendiri tidak sempurna menunaikan fardhu shalat ini lima kali sehari.
Seorang ayah yang seharusnya menjadi imam dalam keluarga wajib melindungi keluarganya dari jilatan api neraka, tapi dia sendiri sudah mencampakkan dirinya ke dalam api neraka. Si ibu pula hanya bisa menyuruh anak-anak untuk shalat tapi tidak pernah mengajak dan membiarkan saja anak-anak yang sudah baligh itu terlena dalam dunia keseronokan mereka dengan fasilitas-fasilitas rumah yang mewah. Tidak heran kalau anak-anak membesar tanpa nur Islam dan Iman. Alangkah miskinnya mereka!
Petang itu, seperti biasa aku datang ke rumahnya untuk mengajar ngaji. Setelah menyemak bacaan mereka, Alhamdulillah si adik yang berumur 8 tahun ada perkembangan dari segi panjang-pendeknya bacaan al-Qur’an. Selesai saja mereka mengaji, aku sempatkan bertanya apakah mereka sudah shalat asar atau belum? Tanpa rasa berdosa, sambil senyum-senyum si kakak menjawab “belum”.
Aku hanya dapat mengelus dada memikirkan nasehat apa lagi yang harus aku sampaikan agar hati mereka tergerak untuk menunaikan shalat. Aku pun bertanya “Selama di Bali, ada buat shalat tak”? Jawabnya sama “tak” sambil senyum-senyum lagi. “Kalau mama shalat tak”? Jawab mereka “Mama shalat”. Aku bertanya lagi “Kenapa tak ikut mama shalat sekalian? Awak buat apa ketika mama shalat”? Si kakak menjawab “Mandi di swimming pool”. “Astaghfirullahal azhim”, jawabku.
Akhirnya aku ceritakan awal sejarah perintah shalat yang asalnya adalah 50 kali sehari semalam sehingga dikurangkan sampai 5 kali sehari semalam. Bagaimana seandainya Nabi Muhammad tidak bertemu dengan Nabi Musa agar perintah shalat ini dikurangi? Tiap setengah jam kita akan shalat.
Bahkan untuk shalat 5 kali sehari semalam itupun masih minta dikurangi oleh Nabi Musa. Tapi karena Nabi Muhammad merasa malu kepada Allah akhirnya dia tidak minta dikurangi bilangan shalat ini. Mereka diam saja mendengar penjelasanku ini.
Kemudian aku tanyakan lagi kepada mereka “Bagaimana kalau mama meninggal sedangkan kalian tidak tahu lagi bagaimana mengerjakan shalat? Siapa yang akan menyembahkan jenazah mama? Siapa yang akan mendoakan mama di kubur?” Butiran-butiran jernih mulai keluar dari mata si adik. “Seandainya kalian tidak tahu bagaimana mendoakan mama di kubur nanti, tiap hari mama akan menangis menunggu doa dari anaknya”.
Aku ceritakan juga pada mereka kisah pada zaman Rasulullah s.a.w tentang sepasang suami isteri yang begitu teringin untuk mendapatkan seorang anak. Bertahun-tahun dinanti dan berbagai usaha dilakukan namun hasrat mereka masih gagal.
Sehinggalah pada suatu hari, si isteri bernazar, “Jika aku mengandung, aku akan minum air kencing anjing hitam.” Tanpa diduga permintaannya itu dikabulkan Allah s.w.t. Pasangan ini sangat gembira dan bersyukur pada Allah.
Mengingat kembali nazar itu, isteri tersebut menceritakan nazarnya pada suaminya. Karena terlalu sayangkan isteri dan anak yang dikandungnya, pergilah si suami mencari anjing hitam tersebut. Sesuatu yang bukan mudah untuk diperolehi. Berhempas pulaslah si suami mencari dari kampung ke kampung. Ada yang menertawakannya dan tidak kurang juga yang mengejeknya “Orang gila! Orang gila!”.
Lelaki itu tidak peduli apa kata orang. Akhirnya bertemulah dia dengan seekor anjing hitam yang sedang kencing. Air kencing itu segera ditadah dan dibawanya pulang dengan hati yang gembira. Namun sampai di rumah dia menghadapi masalah lain pula. Melihat rupa dan bau yang sangat menjijikkan itu, isterinya tidak sanggup untuk menelannya biarpun sudah berkali-kali dicoba. Sedangkan si isteri sudah bernazar sedemikian.
Akhirnya mereka pergi bertemu Rasulullah s.a.w dan menceritakan hal yang sebenar. Rasulullah s.a.w dengan tenang memberitahu bahwa di ujung kampung ada sebuah keluarga yang tidak menunaikan shalat. “Apabila hujan turun di atas atap rumah tersebut kamu tadahlah airnya dan minum. Air hujan itu samalah seperti air kencing anjing hitam itu,” sabda Nabi Shallahu Alaihi Wa Sallam.
Dari kisah perjalanan keluarga ini, aku mulai berfikir bahwa kemewahan dan kasih sayang tidak hanya dapat dinilai dari segi materi saja. Kasih sayang yang tidak tepat bagai racun yang bakal membunuh rohaniah dan insaniah anak-anak kita.
Kalau betul sayangkan anak, kita tentunya tidak mau anak kita dirusakkan selepas sekian lama kita menjaga melindunginya. Menjaga anak bukan hanya menjaga makan minum, sakit demamnya saja. Tapi yang lebih penting adalah jaga pendidikannya, akhlaknya, ibadahnya dan sikapnya.
Oleh sebab itu, tugas orang tua adalah tugas yang professional. Maksudnya Ia memerlukan ilmu, kemahiran, sikap yang betul dan kasih sayang, bukan hanya mengandalkan tulang empat kerat saja.
Dalam mendidik anak, anak-anak hendaklah lebih banyak ‘diajak’ daripada ‘disuruh’ untuk melakukan suatu kebaikan atau meninggalkan suatu kejahatan. Diajak artinya ibu bapa mesti turut serta dalam aktifitas yang dianjurkan kepada anaknya.
Misalnya, jika anak ‘diajak’ shalat oleh orang tuanya, maka orang tua harus ikut bersama-sama anaknya menunaikan shalat sebab pada saat inilah proses pendidikan bisa dilakukan secara lebih natural, harmonis dan berkesan.
Oleh karena itulah Rasulullah s.a.w sendiri hampir setiap masa bersama-sama sahabat-sahabatnya agar mereka dapat melihat sikap ‘Al-Qur’an Hidup’ dalam kehidupan mereka sehari-hari. Baginda tidak bercakap sepanjang masa untuk mendidik, sebaliknya sikap yang dilahirkannya secara spontan itulah yang lebih banyak ‘bercakap’.
Bayangkan, bagaimana setiap diam dan gerak Nabi turut dicatatkan sebagai hadits yang bias dijadikan panduan bukan saja oleh mereka yang sezaman dengannya tetapi oleh umat manusia sepanjang zaman. Ini menunjukkan, jika hendak sukses mendidik, pertama kita harus banyak meluangkan masa duduk bersama dengan anak-anak. Kedua, mendidik mereka melalui sikap harian, yakni menjadi model hidup kepada anak-anak dengan merealisasikan sikap mukmin sejati dalam kehidupan.
Jangan disalahkan anak bila suatu hari nanti dia tidak menjadi apa yang kita harapkan kalau kita sebagai orang tua tidak ‘menjadi’. Kajian pakar psikologi dan pakar sejarah telah membuktikan bahwa air najis tidak akan dapat membersihkan najis, ketam tidak akan dapat mengajar anaknya berjalan betul, ‘like father like son’, bapa borek anak rintik, kemana tumpahnya kuah kalau tidak ke nasi jua, kayu bengkok tidak mungkin menghasilkan bayang-bayang lurus – dan berbagai lagi ungkapan yang semaksud dengannya.
Semua ini menunjukkan bahwa sikap orang tua sangat berpengaruh menentukan akhlak anak. Jika orang tua menunaikan shalat dengan baik, maka dengan mudah anak-anak dapat diasuh untuk menunaikan shalat dengan baik. Sebaliknya sikap orang tua yang tidak mengindahkan perintah shalat akan turut ‘ menjangkiti’ ana-anaknya.
Bahkan dalam mengajarkan shalat ini Rasulullah s.a.w telah memberikan pedoman dalam mendidik anak untuk menunaikan shalat. Bermula dari usia tujuh tahun hingga sepuluh tahun adalah tempo mula mendidik anak menunaikan shalat. Jika setiap hari sebanyak lima kali kita mengingatkan anak untuk mengerjakan shalat, bermakna selama setahun (365 hari) sebanyak 1825 kali si anak mendengar ungkapan yang sama.
Coba bayangkan selama tiga tahun diulang-ulang peringatan yang sama, ini bermakna hampir 5475 kali si anak menerima seruan baik daripada ibu dan ayahnya untuk mengerjakan shalat. Dan sewajarnyalah si anak setelah ia mencapai usia 10 tahun boleh dirotan jika seruan sebanyak itu diabaikan.
Yang menjadi masalah besar sekarang ini adalah orang tuanya sendiri tidak menyeru dirinya sendiri untuk menunaikan shalat. Apakah hukuman rotan ini juga berlaku bagi mereka? Apa yang jelas adalah mereka sudah tau jawabannya bahwa azab Allah sangatlah pedih. Apakah air hujan yang turun di atas rumah kita sama dengan air kencing anjing hitam itu?