Jalan tampak lengang. Sore itu hanya dua atau tiga kendaraan roda empat yang sesekali terlihat lewat. Lama berdiri di persimpangan jalan itu, seharusnya sudah terdengar teriakan-teriakan dengan intonasi aneh dari beberapa lelaki mesir dengan keadaan yang cukup memprihatinkan menarik perhatian para pejalan kaki. “Ba’uts..! Ba’uts..!”. Orang-orang arab disini memang terkadang menggelikan. Asrama bernama Madinah al-Bu’uts Islamiyah yang khusus diperuntukkan bagi pelajar asing yang menuntut ilmu di bumi para nabi ini, seenaknya mereka sebut dengan “Ba’uts”.
Namun sore ini, tak terdengar sama sekali suara-suara cempreng itu. Sepulang dari kawasan kampus al-Azhar dengan perut keroncongan dan cuaca yang panas tak membuatku berfikir panjang menaiki bus yang tiba-tiba saja lewat. Meski bus itu hanya melewati pom bensin yang berada satu kilometer dari kawasan asrama, yang berarti aku harus berjalan lagi sejauh satu kilometer jika ingin segera melepas letih dan lapar yang sudah tak tertahankan.
Berjalan menyisir trotoar, sambil sesekali memperhatikan kendaraan yang lalu lalang. Entah kenapa tiba-tiba terbayang di hati seorang muslimah. Muslimah asal Palembang yang aku sendiri tak pernah tahu wajahnya. Beberapa hari ini menjadi bahan obrolan para mahasiswa Indonesia di sini bahwa muslimah itu tertabrak taksi dan sedang dirawat serius di rumah sakit. Padahal tiket pesawat menuju kampung halaman tercintanya sudah berada dalam genggaman. Namun apa mau dikata. Sehari sebelum jadwal kepulangannya kejadian naas itu terjadi. Sebuah taksi menabraknya. Membuatnya terlempar beberapa meter. Mematahkan tulang kaki.
Sambil menyeka keringat, aku masih saja heran dengan muslimah itu. Apa yang membuatnya begitu bodoh? Bukankah sebuah taksi terlalu cukup besar untuk luput dari pandangan? Kenapa dia tidak melihatnya? Apa yang ada dalam fikirannya sehingga tidak mengindahkan sekelilingnya ketika menyeberang jalan? Kenapa dia tidak berhati-hati? Bukankah sehari-hari dia sudah terbiasa menyeberang jalan raya?
Tiba-tiba.
BRAK..! Aku terlempar ke udara. Sebuah taksi yang meluncur dengan kecepatan tinggi menabrak kaki kiriku sesaat setelah aku dengan santainya menyeberang jalan tepat di depan pintu gerbang asrama. Ternyata langit sangat indah jika kita melihatnya ketika melayang di udara. Sopir taksi langsung mengerem laju mobilnya. Aku limbung, langsung jatuh tepat di bagian depan taksi sebelum menyentuh tanah dalam posisi duduk. Kepala dan kakiku terasa nyeri. Orang-orang yang melihat kejadian itu langsung berkumpul menghampiri. Sopir taksi juga langsung keluar dari mobilnya dengan wajah pucat pasi. Karena hanya merasa sedikit nyeri, aku langsung berdiri. Aku berusaha menenangkan mereka bahwa tidak terjadi apa-apa denganku. Beberapa orang yang berkulit hitam asal benua Afrika menganjurkan untuk segera dibawa ke rumah sakit. Aku menolak, dan meyakinkan mereka bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Beberapa polisi yang merupakan petugas keamanan asrama langsung datang. Aku dan sopir taksi langsung digiring ke kantor mereka. Berulang kali mereka bertanya tentang keadaanku, namun aku selalu saja meyakinkan mereka bahwa aku sehat wal afiyat. Setelah mereka yakin, sang sopir langsung diinterogasi dan dimintai Surat Izin mengemudi dan kartu pengenalnya. Wajah sang sopir semakin terlihat pucat. Komandan polisi memintaku agar meminta ganti rugi kepada sang sopir jika tidak ingin menuntutnya ke pengadilan. Aku enggan, karena kejadian ini murni kesalahanku. Dengan tersenyum komandan polisi itu menganjurkan sang sopir berterima kasih kepadaku, karena tidak menuntutnya.
Sang sopir yang dari tadi pucat pasi kini terlihat sudah tenang. Beberapa kali dia menciumiku dan berterima kasih sebesar-besarnya. Kumisnya yang kasar tak pelak membuatku merasa geli sendiri. Namun apa boleh buat, begitulah kebiasaan orang arab. Cipika-cipiki antar lelaki merupakan hal biasa menunjukkan kecintaan dan keakraban mereka terhadap saudara sesama. Setelah sampai di kamar aku langsung rebahan melepas lelah. Kejadian yang aneh, membuatku lupa dengan perut laparku. Aku tertidur.
Tak pelak, kejadian itu benar-benar menyadarkanku untuk berhenti menyombongkan diri di hadapan-Nya. Malamnya aku langsung tercenung, memikirkan betapa dekatnya kematian. Dimanapun dan kapanpun kematian bisa saja terjadi. Dan yang lebih penting lagi, aku tersadar ternyata selama ini aku hanya merasa bahwa kematian hanya milik orang lain. Padahal kematian sewaktu-waktu pasti merenggut kenikmatan hidup di dunia ini.
Tahun demi tahun, bulan berganti bulan, hari-hari terlewati, jam yang terus berputar, semakin mendekatkan kita dengan hari itu. Saat itu lidah yang sering digunakan menyakiti orang lain ini kelu. Tubuh pun terbujur kaku. Hilang semua kesombongan dan keangkuhan, yang tinggal hanya seonggok jasad tak berdaya yang akan berbau busuk jika tidak segera ditanam di tanah kerendahan.
Allah SWT berfirman dalam al-Quran surat al-Anbiya’ ayat 1 :
“Telah dekat kepada manusia hari perhitungan segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya).”
Mengingat kematian memang akan membuat kita tersadar untuk selalu berfikir realistis, terhindar dari angan-angan semu. Karena segala hal yang kita lakukan di dunia ini pasti akan dipertanggungjawabkan.
Allah juga berfirman dalam surat al-Jumu’ah ayat 8 :
“Katakanlah: ‘Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, Maka Sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, Kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu dia beritakan kepadamu tentang apa saja yang Telah kamu kerjakan (dulu)’."
Seorang laki-laki dari golongan Anshar bertanya kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah! siapakah manusia yang paling beruntung dan yang paling mulia?” Rasulullah SAW menjawab, “(orang yang paling beruntung dan paling mulia) adalah mereka yang paling banyak mengingat kematian dan sangat baik mempersiapkan (dirinya dalam menyongsong kematian) itu. Merekalah orang-orang beruntung. Mereka pergi (berjalan) dengan kehormatan dunia dan kemuliaan akhirat.” (HR. Ibnu Majah)
Disebutkan juga bahwa seorang ulama Kuffah yang juga tabi’in terkemuka bernama ar-Rabi’ bin Khaitsam membuat sebuah lubang seperti kuburan di dalam rumahnya. Setiap hari beliau tidur di lubang itu beberapa kali. Dia mengatakan, “Sesaat saja melupakan kematian, hatiku pasti rusak.”
Aku teringat dengan bait-bait lagu yang dulu sering dilantunkan ibuku. Saat menidurkan anak-anaknya, saat ia merasa jenuh sambil menyeka keringat ketika memasak gorengan yang akan dijual ke warung-warung. Dengan suara khas orang melayu yang selalu terlihat melankolis membuat lagu itu semakin menggetarkan para pendengarnya. Lagu yang di populerkan oleh grup nasyid el-Suraya asal Medan di tahun 70-an yang berjudul “Selimut Putih”
Bila Izrail datang memanggil
Jasad terbujur di pembaringan
Seluruh tubuh akan menggigil
Sekujur badan akan kedinginan
Tak ada lagi guna harta
Kawan karib sanak saudara
Jikalah ada amal di dunia
Itulah hanya pembela kita
Janganlah mau disanjung-sanjung
Engkau digelar manusia agung
Sadarlah diri tahu diuntung
Sebelum masa keranda diusung
Datang masanya insyaflah diri
Selimut putih pembalut badan
Tinggal semua yang dikasihi
Berbaktilah hidup sepanjang zaman
Cairo, Rabu 18 Mei 2011
[email protected]