Hatiku galau.
Ragu melihat keadaanku saat ini. Begitu mudahnya hati ini lalai mengingat tuhannya. Tangisan-tangisan di kesunyian malam ketika bermunajat kepada Allah seolah sia-sia disebabkan maksiat yang kembali terulang keesokan harinya. Rasa malas ketika hendak menjalankan ibadah merupakan bukti bahwa di hati ini sedang bersarang penyakit serius.
Shalat, tilawah Qur’an, juga puasa yang aku kerjakan seolah tidak memberi bekas sama sekali. Keadaan hati ini tetap begitu-begitu saja. Sebegitu sulitkah istiqamah?. Aku mulai kehilangan kepercayaan diri. Sepertinya mustahil menjadi hamba Allah yang sejati. Rasanya, semakin jauh saja diri ini dari surga yang dijanjikan Allah.
Meskipun demikian, aku juga tetap sadar untuk tidak boleh berputus asa dari rahmat Allah. Bukankah Allah sudah menyatakan bahwa tidak akan berputus asa dari rahmat-Nya kecuali orang-orang kafir.
Sambil tertunduk, temanku mengakhiri curhatan hatinya. Cerita yang aku terjemahkan dengan bahasaku. Jeritan hati seorang mukmin yang sebenarnya rindu menjadi hamba Allah yang bertakwa. Rindu kepada kedamaian dan ketentraman pengabdian. Juga rindu untuk berhenti menzhalimi diri dan segera melesat meraih kehidupan mulia.
Aku hanya terdiam, bingung. Kegalauan hati yang dirasakan oleh sahabatku itu juga tidak jauh berbeda dengan yang aku rasakan. Dan mungkin, anda juga merasakan hal yang sama.
Mungkinkah ini zaman yang dijanjikan oleh Rasulullah SAW? Ketika seseorang yang memegang agamanya diibaratkan seperti memegang bara api. Bara api yang menyala, panas membakar tangan-tangan orang yang berusaha memegangnya. Kemaksiatan menjadi hal biasa. Agama menjadi sesuatu yang asing. Orang shalih dianggap manusia aneh.
Zaman ketika orang beriman di waktu pagi kemudian kufur di sore harinya. Akan tetapi, bagi orang yang mampu memegang teguh agama di zaman ini sampai akhir hayatnya ganjarannya setara dengan pahala lima puluh orang. Para sahabat bertanya kepada Rasulullah: "Lima puluh orang dari kalangan kami (para sahabat) atau dari kalangan mereka wahai Rasul?" Rasul menjawab: "dari kalangan kalian".
Coba bayangkan!
Setara dengan lima puluh orang sahabat yang hidup di zaman Rasulullah SAW?
Lantas, bagaimana cara menjinakkan bara api yang membakar itu? Sehingga dapat mencapai derajat tinggi yang dijanjikan oleh Rasulullah. Segera aku menuju "warnet" terdekat. Sebuah "email" berisikan pertanyaan ini kukirimkan kepada salah seorang guruku yang sedang belajar di tanah haram Mekah. Dua hari setelahnya jawaban darinya kuterima.
"Semua yang kamu sebutkan itu benar adanya. Sehingga di akhir zaman ini, sangat sedikit orang yang memegang teguh agama. Bukan karena agama itu tidak baik, tapi memang manusia sudah tidak memahami lagi kepentingan hadirnya agama ditengah-tengah kehidupan. Karena agama mengajarkan kekudusan, kesucian, dan keramahan, serta kesetiaan. Sedangkan manusia pada akhir zaman tidak mementingkan hal-hal yang demikian. Manusia mementingkan segala yang bersifat cepat, enak, santai, dan menyenangkan. Abdullah bin Abbas sendiri punenggan tinggal di dekat Masjidil Haram, karena sudah sangat hebatnya maksiat.
Ada lima cara untuk tetap istiqomah: itulah yang disebut obat hati (tombo ati): tahajjud, baca quran, bersahabat dengan orang soleh, puasa, dan zikir di keheningan. Kelimanya ini adalah pesan dari Abdullah al-Antokiyyah, sedangkan Hatim al-Ashom mengajarkan bahwa dia bisa istiqamah karena meyakini rezekinya tidak akan pindah ke orang lain dan rezeki orang lain tidak akan pindah kepadanya.
Tuhan melihatnya sehingga dia malu melawan hukum Tuhan, mati pasti mendatanginya oleh karena itu dia mempersiapkan diri menyongsong kematian. Kalau kedua cara ini bisa kamu terapkan insya Allah godaan dunia yang semakin sangat mengerikan ini dapat kamu hindari dan hindarkan.
Memanglah demikian keadaan akhir zaman.
Ingat Syukri!!! kenikmatan dunia, senikmat apapun itu tetap tiada harganya dibandingkan kenikmatan akhirat. Tapi jangan lari dari kehidupan dunia. Tetaplah berbuat suatu kebaikan untuk seluruh manusia di tengah kesulitan ini. Dari balik tumpukan sampah tidak mustahil tumbuh bunga.
Ingat!!! di dalam lumpur sekalipun mutiara tetaplah mutiara. Siapa saja yang memegang teguh agama di akhir zaman ini kata Rasul, mendapat pahala seakan-akan 100 orang mati syahid.
Saya paham kesulitan yang kamu hadapi. bahkan hingga kini kesulitan itu masih tetap saya hadapi. Hidup adalah pilihan. setiap kita bertanggung jawab atas pilihan yang kita lakukan.
Ok Syukri.
Semoga allah membantu kamu dan saya dalam mengarungi hidup yang semakin panas ini"
Tidak hanya itu. Pertanyaan tersebut juga aku lontarkan kepada seorang mahasiswa yang berasal dari Libanon. Teman satu asrama. Saat ini ia sedang mendalami ilmu hadits di Universitas Al Azhar. Jawabannya membuatku puas.
Ia mengatakan lama kelamaan bara api itu akan padam ketika kita menggenggamnya dengan kuat dan tidak segera melepasnya. Perih memang. Tapi keperihan itu hanya sementara. Saat bara api itu padam semuanya akan mudah. Dan ganjaran yang setara dengan lima puluh orang sahabat tidak mustahil kita raih.
Masalah kita selama ini adalah kebohongan yang kita pelihara dan telah mengakar di sanubari kita. Kebohongan terhadap diri sendirilah yang menyebabkan kita sering gagal. Kejujuranlah kunci utama yang membuat kita melesat meraih kemuliaan di sisi Allah. Jujur bahwa kita hanya hamba yang lemah, hina, tidak mampu berbuat banyak. Hanya petunjuk, bimbingan, anugerah serta kehendak Allah sajalah yang menjadikan kita memperoleh segalanya.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud, Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya kejujuran itu menuntun kepada kebaikan, dan kebaikan menuntun kepada surga. Dan sesungguhnya seseorang benar-benar berkata jujur sehingga dia ditulis di sisi Allah sebagai seorang yang jujur.
Sedangkan kebohongan menuntun kepada keburukan dan keburukan menuntun kepada neraka. Dan sesungguhnya seseorang benar-benar berkata dusta sehingga dia ditulis di sisi Allah sebagai seorang pembohong."
Madinatul Buuts Islamiyah
Kairo, 2 November 2010