Hari itu aku sedang berada di bus menuju kampus Pasca Sarjana yang berjarak 32 km dari kampusku untuk menemui dosen pembimbing Tugas Akhir. Tiba-tiba ponselku berdering. Dari ayah. Aku mulai cemas. “Nenek telah pergi, Rin”, kalimat ayah membenarkan firasatku. Meski kudengar ada banyak isak tangis di seberang sana, tapi suara ayah begitu tegar menggambarkan keikhlasan. Dan aku, hanya kata “Kapan?” yang kuucapkan. Amat datar. Tanpa ekspresi. Dan ayah pun mengakhiri pembicaraan.
Seketika aku seperti mencium wangi khas nenekku. Mungkin hanya perasaan saja, tapi baunya yang tercium semakin jelas membuatku tak kuasa membendung desakan air mata yang sedari tadi kutahan. Menyisakan perih yang teramat dalam.
Seminggu yang lalu ayah mengabarkan bahwa nenek sakit keras. Tiga hari nenek terbaring tak sadarkan diri. Dua hari selanjutnya aku selalu menelpon menanyakan keadaannya. ”Ya Allah, sembuhkan nenek. Nenek harus hadir di wisuda-ku nanti,” begitu doaku setiap kali ayah mengatakan bahwa nenek tetap belum membaik. Tapi kesibukan menyusun skripsi terlalu menyita perhatianku, hingga aku pun tak pernah lagi menanyakan keadaan nenek sampai ayah mengabarkan kepergiannya.
Aku sungguh menyesal. Sejak kecil aku memang jarang bertemu nenek. Terakhir aku menjenguknya tiga tahun lalu. Waktu yang teramat lama untuk jarak empat jam perjalanan dari rumah orang tuaku, padahal setiap libur aku selalu pulang, tapi tak pernah sempat menjenguknya. Sejak kecil aku selalu berusaha melepaskan diri jika nenek memelukku. Aku selalu memalingkan wajah setiap kali dia hendak menciumku. Aku bahkan tak pernah betah berlama-lama duduk dan berbincang bersamanya.
Entahlah, aku tak pernah menyukai keluarga dari sebelah ayah. Mungkin karena dulu mereka tak pernah menyukai ibu, termasuk nenek. Tapi seiring usia aku semakin menyadari betapa sikapku telah salah. Sangat salah. Aku ingin memperbaiki semuanya. Aku ingin nenek hadir dalam setiap momen penting hidupku. Ketika nenek sedang koma aku pun berjanji di dalam hati akan sering menjenguk dan menanyakan kabarnya bila nanti ia sembuh.
Tapi semuanya terlambat. Aku bahkan tak sempat menjenguknya di saat kritis. Dan kini nenek telah pergi. Sebelum aku sempat meminta maaf padanya, sebelum aku sempat memeluknya, sebelum aku sempat menciumnya, sebelum aku sempat mengatakan bahwa aku pun bisa menyayanginya. Dan lagi-lagi aku tak sempat menghadiri pemakamannya karena aku yang kuliah di Palembang membutuhkan waktu 11 Jam untuk bisa sampai ke kediaman nenek. Hanya doa yang dapat kupanjatkan untuknya semoga Allah mengampuni dosa-dosanya dan memberikan tempat terindah di sisi-Nya. Amin.
Usai tahlilan, kusempatkan diri menjunjungi saudara tertua ayah yang telah dua bulan menderita osteoporosis dan asam urat. Dua bulan ia tak mampu berjalan dan sebulan terakhir bahkan tak mampu duduk lagi. ”Ya Allah, betapa aku tak kuasa menyaksikan penderitaannya,” isakku ketika ia merintih menahan sakit yang tak tertahan. Ia tampak begitu lemah dan tak berdaya.
”Ya Allah, betapa berdosanya aku yang telah hampir memutus silaturahmi dengan mereka yang adalah keluargaku.” Saat itu aku merasa begitu berdosa. Selama ini aku tahu peringatan Allah ”Seandainya kamu berkuasa, apakah kamu akan membuat kerusakan di bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan (kasih sayang)? Mereka itulah orang-orang yang dikutuk Allah dan ditulikanNya telinga mereka dan dibutakanNya penglihatan mereka. Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran? Atau hati mereka telah terkunci?” (QS Muhammad:22-24). ”Nauzubillah Ya Allah, sungguh aku tak ingin menjadi hamba yang Engkau murkai.”
Rasa tak suka dan bahkan mungkin benci yang dulu kurasakan seketika luruh berganti iba dan cinta. Kupeluk ia dengan erat dan kubiarkan ia menciumku berkali-kali. Malam itu kuhabiskan waktu untuk menemaninya. Mengusap kakinya dengan penuh cinta setiap kali ia merintih kesakitan. Aku tak ingin lagi kehilangan kesempatan menyatakan cinta untuk kedua kalinya. Karena siapa tahu, esok aku tak lagi punya waktu. Dan benarlah, 1 minggu yang lalu ia menghembuskan nafas terakhir, tepat di hari Idul Fitri setelah 3 bulan menahan sakit yang tak tertahan.
Kulepas kepergiannya dengan ikhlas. Dalam hati pun aku bertekad untuk memperbaiki tali silaturahmi dengan keluarga yang selama ini terasa begitu jauh. Aku ingin membagi cinta dengan adil, seperti cinta yang kurasakan pada keluarga ibu, agar tak akan pernah ada lagi cinta yang terlambat. Fawasiqillahumma roobithotahaa Wa adim wuddahaa (Teguhkanlah, Ya Allah, ikatannya. Kuatkanlah cinta kasihnya)