Sejenak kita merenungi kembali, apakah iman benar-benar ada dalam hati. Apakah iman itu, bagaimanapun bentuknya senantiasa kita miliki meski tidak selamanya terjaga. Iman adalah perkara pelik yang dengannya mampu dibedakan setiap manusia. Apakah ia seorang mu’min, munafiq, zindiq, ataupun kafir. Iman juga-lah yang membuat seorang ditentukan tempatnya disurga maupun di neraka. Apakah ia pantas menjadi penduduk Firdaus, Surga Na’im atau mungkin di neraka Jahim. Iman menentukan akhir kehidupan seseorang, sehingga adakalanya seorang berakhir dengan akhir yang baik (husnul khotimah), atau ia berakhir dengan akhiran yang buruk (su’ul khotimah). Naudzubillah min dzalik.
Faktanya, Iman pada hakikatnya bertambah dan berkurang. Kadangkala iman bertambah karena seseorang itu melakukan ketaatan dan kadangkala iman itu berkurang karena seorang hamba melakukan perbuatan maksiat.
Iman terbagi menjadi 70 macam jenisnya. Dalam ashabus sittah, Abu Hurairah Ra meriwayatkan bahwasanya Rasulullah Saw bersabda, “Iman itu memiliki tujuh puluh cabang (riwayat lain tujuh puluh tujuh cabang). Yang paling utama ialah Laa ilaaha illallah, dan yang terendah ialah membuang duri dari jalan. Dan malu juga merupakan salah satu cabang iman.””. Untuk mencapai iman tertinggi, kadangkala manusia berpeluh, mengaduh, merelakan diri dan segenap upaya yang ia mampu untuk meraihnya. Benar, iman itu harus selalu di ikuti dengan ‘amal (perbuatan). Tentu pada beberapa kasus apa artinya jika seseorang memiliki iman namun sama sekali tak ia buktikan dengan perbuatan yang nyata. Baik melalui lisan maupun anggota badan.
Bagi seorang muslim, sudah tentu selain memiliki iman tentu juga dituntut untuk memiliki perbuatan nyata sebagai bentuk pembenaran atas pengakuan yang ada dalam hatinya. Apakah itu diwujudkan dalam bentuk peribadatan yang diwajibkan dan nampak, maupun bentuk peribadatan sunnah yang disembunyikan. Bukankah iman yang benar itu adalah iman yang disertai dengan pembenaran hati, pengucapan secara lisan dan pengamalan dengan anggota badan? Jikalau tidak dilahirkan dalam bentuk lahiriah dan tidak pula dibenarkan dalam hati, sudah tentu yang demikian itu ia mau tak mau bisa jadi tergolong ke dalam golongan orang-orang yang ingkar. Sementara itu, jika dia hanya memiliki tindakan lahiriah dan dilain hal hatinya mengingkari apa yang ia lakukan, sudah tentu yang demikian menampakkan posisinya dalam golongan munafik. Demikianlah kedudukan dan ketinggian iman dalam Islam sehingga Dia menempatkan iman sebagai acuan dasar dalam beragama.
Islam adalah agama yang kamil, kesempurnaan yang dihimpun dari hal-hal yang sempurna. Islam mengajarkan segala kebaikan lewat Rasulnya Muhammad Saw dari semua kebaikan yang terkumpul pada masa lalu sampai masa yang akan datang. Hal yang paling besar maupun paling kecil telah dihimpun dalam berbagai sabdanya yang mulia. Inilah Islam, jalan hidup yang mengupayakan kesempurnaan bagi ummatnya, kesempurnaan dalam semua aspek hidup dan sosial. Namun tunggu sejenak, hendak kemana engkau pergi? Lihat, dengar dan amatilah sekali lagi semua cabang-cabang iman yang telah disebutkan Rasulullah sejak 14 abad yang lalu. “cabang iman yang paling rendah adalah menyingkirkan duri atau ranting dari jalan”. Apa yang kamu ketahui tentang pengertian dari kata “terendah” ? Terendah adalah hal yang paling bawah dan tentu tidak ada lagi sesuatu yang lain dibawahnya. Pada kenyataan kita terlalu banyak berteori dan jarang sekali berbuat. Nah seandainya kita menemukan ranting, duri, dan apa hal apapun yang menghalangi jalan sementara kita mendiamkannya dengan penuh kesadaran, tidak terlintas untuk menyingkirkan perintang tersebut meski itu hanya sebongkah batu, apakah kita masih bisa dibilang beriman secara penuh? Bukankah menyingkirkan duri dan semacamnya adalah cabang terendah, yang daripada itu tidak ada lagi cabang setelahnya? Apakah dengan demikian iman kita hilang atau berkurang? Mari kita berpikir lagi, mari kita merenung lagi. Wallahu a’lam bis showwab
Afandi Satya .K