Adab Makan di Jepang: Antara Tradisi dan Ritual Keagamaan

Di kebiasaan keluarga Jepang pada umumnya, termasuk keluarga sumiku, menjaga adab makan merupakan suatu keharusan. Dari set peralatan makan yang tetap untuk tiap orang, pengaturan tempat duduk yang sudah jelas (posisi tempat duduk tiap anggota keluarga), sampai dengan ungkapan yang harus diucapkan sebelum dan sesudah makan.

Orang Jepang biasa mengucapkan “itadakimasu” sebelum acara makan disertai dengan menangkupkan kedua tangan seperti orang berdoa. Meskipun kemudian kadang orang hanya mengucapkan “itadakimasu” tanpa menangkupkan kedua tangannya. Pasangan dari itadakimasu adalah “gochisosama”, yang biasa diucapkan segera setelah selesai makan.

Kali pertama dan terakhir saya mengucapkan ungkapan tersebut adalah pada sebuah acara makan pagi keluarga saat kami baru tiba dari Indonesia. Pengucapan saya pun mungkin tidak begitu benar; alasan saya mengucapkan ungkapan tersebut sekedar untuk menghormati mertua baru saya, yang mati-matian mengajari saya. Saya mengucapkannya tanpa memahami makna yang sebenarnya. Saya hanya tahu sepintas bahwa terjemahan dari itadakimasu adalah “I will eat with thanks” dan “gochisosama” adalah “thank you for the delicious meal” dari buku referensi tentang budaya Jepang yang saya miliki.

Belakangan saya baru sadar bahwa terjemahan dalam buku tersebut terlalu singkat dan sederhana tanpa penjelasan yang memadai mengingat begitu besarnya muatan religi yang terkandung didalamnya. Saya pun baru tahu dan sangat menyesal setelah suami memberi tahu tentang makna “gochisosama” segera setelah makan bersama usai. Menurut penuturan suami yang semasa mudanya suka sekali membaca literature agama budha; “gochisosama” mengandung unsur polytheisme karena dalam kepercayaan agama budha, ada banyak sekali dewa bahkan dalam tiap butiran nasi.

Betapa terkejutnya saya mendengar penuturannya. Sejak saat itu saya mulai aktif mengumpulan informasi dan referensi seputar ungkapan yang menjadi salah satu adab makan ala Jepang tersebut. Sebagian diantaranya bisa dilihat disini: Informasi Seputar "itadakimasu" & “gochisosama”.

Menariknya, saat saya mencoba menggali informasi dari rekan-rekan mualaf dan muslim Jepang pun, tanggapannya sungguh beragam. Ada yang beranggapan bahwa itu berakar dari budaya agama budha, tapi tidak sedikit yang menganggapnya sebagai tradisi makan biasa.

Dari keragaman tanggapan yang saya terima, saya berkesimpulan bahwa nampaknya, bagi orang Jepang yang memang tidak mendalami literature agama budha, mereka hanya menganggap bahwa ungkapan “itadakimasu” dan “gochisosama” hanyalan bagian dari tradisi warisan nenek moyang saja. Sebaliknya, orang yang menyatakan bahwa hal tersebut berkaitan dengan tradisi agama, ternyata dia memiliki latar belakang literatur agama budha yang bagus.

Menariknya lagi, sebagian bahkan menganjurkan untuk mengucapkan “itadakimasu” dan “gochisosama” secara bersamaan dengan “bismillah” dan “alhamdulillah”. Sebuah anjuran yang membuat saya pribadi merasa bingung karena saya yakin bahwa Islam itu monotheisme; hanya menyembah kepada satu tuhan, Allah saja. Sementara, kalau saya ikut-ikutan mengucapkan “itadakimasu” dan “gochisosama”; saya takut jangan-jangan saya telah keluar dari Islam tanpa saya sadari karena terjebak pada kepercayaan polytheisme.

Akhirnya, saya pribadi lebih memilih untuk tidak mengucapkan kedua ungkapan tersebut baik sebelum maupun sesudah makan. Sebuah pilihan yang tentu saja tidak mudah diterima oleh keluarga besar suami yang asli orang Jepang dan sangat menjunjung tinggi tata krama leluhurnya.

Pilihan saya tersebut menjadi kelihatan jadi lebih aneh lagi manakala mertua saya sering mendapat kesempatan untuk makan bersama dengan teman-teman muslim saya; dan mereka dengan ringan mengucapkan kedua ungkapan dalam tata krama makan adat Jepang tersebut. Seperti biasa, mertua kemudian bertanya kepada saya sesudah selesai acaranya. Saat ditanya, saya hanya bisa menjelaskan bahwa saya punya doa makan sendiri sebagai muslim, dan saya memilih untuk mengucapkan doa yang diajarkan agama saya tanpa mengurangi rasa hormat saya pada keyakinan dan keluarga beliau.

“Rabbanna laa tuzigh quluubanaa ba’da idz hadaytanaa wahablanaa min ladunka rahmatan innaka antal wahaabu”

“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau palingkan hati kami setelah Engkau tunjuki dan berilah kami dari hadirat-Mu rahmat karena Engkau adalah yang Maha Pemberi”

“Allaahumma tsabbitnii an azilla wahdinii an adhilla”

Ya Allah, kokohkanlah aku dari kemungkinan terpelesetnya iman, dan berilah aku petunjuk dari kemungkinan sesat” Amin, amin Yaa Rabbal ‘Alamiin.

Fukuoka, Awal Musim Dingin 2009