Ada Yang Tak Biasa Dengannya

 Aku punya seorang adik. Seorang adik yang terikat oleh Muslim yang kita sandang. Seorang adik yang baru saja aku berkesempatan mengenalnya selama 3 minggu. Ya, sejak aku berkesempatan secara rutin yaitu tiap Jum’at ke sekolah untuk kajian keputrian.

Adik yang bisa dibilang sangat membanggakan. Adik yang membuatku malu jika mengingat masa SMP dan SMA-ku dulu. Adikku ini special. Dia bahkan sudah mendapatkan tarbiyah sejak SMP. Mengarungi dan terjun langsung dalam aktivitas dakwah sejak SMP. Semangatnya, militansinya, begitu memukau aku di pertemuan pertama kami. Saat berbincang dengannya, kami langsung nyambung. Ngobrol tentang ikhwah, tentang nasyid, pengalaman organisasi.

Adikku yang suka climbing serta rutin latihan taekwondo. Adikku yang energik, aktivitas nahi munkar-nya bahkan sudah tak diragukan. Adikku yang punya banyak kakak, sebelum aku yang mungkin belum dia anggap sebagai kakak. Pengalamannya dengan atmosfer ikhwah, tak usah ditanya. Dia aktif di alumni Rohis SMP-nya. Dan tahukah kalian, saat ini dia bahkan baru duduk di kelas X SMA. Sungguh langka mendapati dia ada di SMAku yang berganti tahun dan semakin menunjukkan kontras degenerasi ADS.

Seperti biasa, Jum’at ini aku berangkat ke SMAku dengan sukacita. Membawa bekal materi untuk aku share ke adik-adik kelasku. Tapi disana, mulai dari aku sampai hingga kajian keputrian selesai, wajahnya murung dan pucat. Dia memang bilang bahwa tidak ada apa-apa. Tapi aku tahu, ini adalah sebuah keanehan. Dia dengan personality-nya yang sanguin, sangat jarang tampak dengan pembawaan duka dan murung. Maka aku hanya berusaha mengamatinya. Menunggunya hingga dia yang bersedia terlebih dahulu mendekatiku dan membuka hatinya.

Benar saja, di ruang audiovisual. Setelah kajian keputrian, tinggal aku dan dia di dalam sana. Dia lalu duduk di sebelahku. Dan dia masih diam. Ku buka tanya, dia hanya menjawab tak apa. 5 menit kedua berlalu. Lalu tiba-tiba dia menunduk, menyembunyikan kepalanya dan bersandar dengan pandangan ke bawah meja. Ternyata dia terisak. Pelan di awalnya, tapi berlanjut hingga tangisan hebat muncul sampai membuat tubuhnya bergetar hebat. Aku hanya memeluknya. Menunggu tangis itu reda. Lama. Lebih dari 15 menit, airmata itu masih terus turun. Hingga, hujan itu mereda. Dia berkata, dia ingin bercerita.

Dia membawaku ke sudut ruangan, mengajakku duduk di lantai yang dilapisi karpet. Disana pun dia masih menangis. Kemudian kepalanya menegak, menatapku dengan matanya yang memerah.

”Ya Allah, ini berat banget.” katanya

……

”karena itu, sini kasih ke aku sedikit beban itu Dek!” tanggapku

………….. (tangisnya kembali)

………………..

……………………….

”Aku pacaran,” singkatnya

”Haa???” itu kalimat spontan yang lantas terucap melalui bibirku. Ku tata lagi rasa kaget itu. Kalimatnya masih menggantung, dan aku tahu pasti bahwa ada muasal yang lebih menyirat dari kalimatnya itu.

”Aku bingung, mulai darimana!”

”Ya udah, coba deh mulai dari hal yang paling menyulitkan kamu. Atau hal yang paling mudah dari masalah kamu. Atau kalau kamu mau, mulailah dari awal. Awal sekali pun tak apa. Aku siap kok dengerin kisahmu dari awal!”

Ditariknya napas dalam. Lalu meluncurlah kisahnya.

Tahukah kalian kisah itu bermula dari episode kehidupannya yang mana? Ternyata kepiluannya bermula saat ia renggang dengan halaqah. Saat itu dia baru saja lulus SMP. Ternyata keadaan mengharuskannya transfer MR dan halaqah. Dia harus meninggalkan ’lingkaran’ yang selama di SMP telah sangat kondusif untuknya, dan menyemangati langkah-langkahnya. Dan dia harus menghadapi halaqah, Murabbiyyah, dan lingkungan yang baru, yang sempat kurang kondusif untuknya, ya…dia merasa kurang nyaman!itulah mula muaranya. Setelah itu dia mulai merasa jauh, entah waktu atau kesehatannya selalu menjadi pemakluman hambatan sehingga dia tidak mengoptimalkan ’halaqah’-nya yang sekarang. Lalu, dia mulai merasa sendiri. Ya, walau kesendirian itu pernah juga menghampiri aktivitas dakwahnya saat SMP, tapi sendiri yang dia alami sekarang berbeda. Yang menyebabkan dia semakin jatuh dan merapuh. Dia sadar. Dan dia terus mencoba bertahan. Dia pikir dia sanggup, hingga dia masih menyimpannya. Hingga pernah dia jadi sakit fisiknya, dan letih tentunya. Dan sampai pada suatu masa ketika ia ingin mengungkapkan endapan kesedihan di hatinya. Tapi tak pernah ada yang benar-benar mendengarkan dia. Mencoba mendengar kepiluannya secara seksama. Atau berusaha sedikit mengerti bahwa dia butuh uluran perhatian dan pelukan. Semua terlalu berhusnudzhan dengan pembawaannya yang semangat dan kepribadian sanguinnya. Juga terhadap pengetahuannya yang boleh jadi sudah paham akan banyak hal. Tapi tahukah, orang yang paham pun bisa tergelincir.

Ketiadaan akhwat dan saudari yang mampu mengerti kepiluannya, membuat dia sempat tak percaya dan membenci perlakuan mereka yang seperti itu. Sempat hadir rasa yang mestinya tak singgah: kecewa!

Lantas, Allah buat skenario lain. Dia dipertemukan dengan seorang Adam. Ya, seorang ikhwan yang adalah kakaknya dulu di SMP. Sesama peramai Rohis SMPnya dulu. Dan seperti yang telah tertebak di benak, hubungan mereka dibuahi oleh fitrah itu: rasa suka terhadap lawan jenis. Sang ikhwan kemudian menawarkannya perhatian dan kasih. Sang ikhwan menyatakannya dalam bait syahdu pemadu yang mengicip manis fitrah dari Sang Rabb. Adikku yang labil dengan segala pilu dan kecewanya, kemudian menyambut. Jadilah mereka berpacaran. Seminggu! Itu yang adikku deklarasikan! Tunggu dulu, ternyata ada niatan dari diterimanya pernyataan Sang Ikhwan. Adikku berencana mengadukan kesalahan yang dilakoninya itu kepada kakak-kakaknya. Sebagai pemantik yang menyalakan api kecil, semata untuk membuat kakaknya menyadari bahwa ada dari bagian adiknya yang salah. Salah langkah, atau apalah namanya. Kemudian dia umumkan kepada beberapa kakak yang dipercayainya. ’Kak, aku berpacaran!’. Sebaris kalimat yang dia sebarluaskan lewat sms, ternyata disambut dengan ledekan. Mereka anggap dia bercanda. Tak ada yang benar-benar ingin tabayun terhadap berita itu. Mereka anggap adikku tak mungkin seperti itu. ’Yah, Loe ga usah diceramahin juga pasti udah ngerti!’. Hanya itu yang terucap. Dan ketika dia bilang bahwa dia benar-benar melakoninya. Apa tanggapan yang dia dapatkan? ’Kalo emang loe ampe kayak gitu. Mending sekalian ’keluar’ aja. Jangan ampe loe nodain citra ikhwah yang laen!’. ’Kalo ampe loe kayak gitu, biar sini gw rajam sekalian!’

Bagaimana menurut kalian?

Tanggapan keras seperti itu, menghantam hatinya yang rapuh. Bukankah ia akan semakin roboh, melantak luluh? Lagi, dia berusaha tegar dengan getir seperti itu yang dia dapat! Dan dia masih sendiri.

Memang, pacaran yang dia lakoni tak seperti pacaran kaum muda yang dibaluti hedonisme. Sebuah aktivitas yang ditiupi semangat dan berbagi kesedihan, berbagi ceria yang akhirnya membuat dia merasa teramat bersalah namun juga tak mampu menghindar dalam waktu yang bersamaan. Dia bilang dia tidak mampu. Tapi saat itu tak ada yang benar-benar mendengar jeritnya.

Futur yang amat dan menjadi iklim itu semakin menggerogoti amalan ibadah yang harusnya menjadi keunggulannya. Dia tahu bahwa dia semakin jauh. Ruh semangat itu seolah terbang ke tempat jauh yang tak bisa ia jangkau. Dia malu. Teramat malu.

Aku tahu, di sekolah dia pernah habis-habisan memojokkan temannya yang terjangkit pacaran sesama aktivis. Dan aku tangkap (setelah mendengar ceritanya ini), bahwa itu adalah luapan kemarahan dan ketidakberdayaannya. Dia tahu dia harus tetap nahi munkar karena dia tidak ingin orang lain mengalami kesulitan yang dia alami. Dia bagai lilin yang berusaha menerangi namun membakar habis dirinya.

Dan Jum’at ini, mungkin klimaks kegundahannya kesekian kali. Kesekian kali karena dia tak pernah mau biarkan tangisnya terurai.

Aku bersyukur, karena dia mau bercerita padaku. Setidaknya aku mendapat cerita berharga. Yang mungkin suatu saat bisa menjadi refleksi untukku. Koreksi untukku.

Di raut wajahnya yang menggantung kesedihan tak terbendung, aku melihat kelembutan dan kerapuhan.

Ya. Pribadi sepertinya bisa rapuh jauh melebihi kerapuhan yang aku miliki sebagai seorang melankolis. Dan ku tahu, bahwa aku harus memeluknya. Bahwa aku harus ada untuk menemaninya. Jangan sampai dia ’keluar’ dari barisan ini. Dari kenikmatan perjuangan ini, hanya karena kealpaan manusia yang memang tak pernah sempurna.

Aku tak bisa menjanjikannya saran-saran yang mendewasakan atau solusi-solusi nyata untuk mengobati kerapuhannya. Aku hanya mampu menjanjikan kebersamaan. Berjanji untuk berusaha membersamainya untuk kembali mereguk kenikmatan perjuangan. Untuk kembali mengusung cita kebenaran. Untuk kembali membangun cinta. Agar menjadi fungsi kerja yang menyejahterakan hati dan ruhiy.

Itu doaku dalam hati. Doa yang tulus terbersit seketika saat melihat dia yang sedang terluka.

Ya Rabbiy, izinkan kami kembali. Hikmah ini, hidayah ini, kami tahu bahwasanya wujud hikmah dan hidayah akan sangat beragam sekehendakmu terhadap kami. Jika memang melalui kesulitan ini mampu membuka pintu hidayahmu yang lain dan semakin menguatkan pijakan kami di bumiMu. Maka kami ikhlas ya Rabb. Asal Kau masih ada. Cukup bagiku Allah. Bantulah kami mengimplementasikan kalimat itu. Kalimat tawakkal terbaik. Kami mohon dengan sangat.